Stockholm (ANTARA) - Uni Eropa (EU) harus siap menghadapi kemungkinan memburuknya hubungan dengan China jika konflik terkait Taiwan meletus, kata Menteri Luar Negeri Lithuania Gabrielius Landsbergis pada Jumat.

Dia mengatakan dirinya tidak menganjurkan EU "berpisah" dengan China, tetapi mengingatkan bahwa putusnya hubungan dengan Moskow akibat invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 sebagai risiko yang harus dihadapi blok ekonomi tersebut.

Ketika itu tak ada yang menyerukan pemisahan dengan Rusia, tetapi saat ini kondisinya demikian, katanya.

"Harus ada yang memikirkan kemungkinan bahwa pemisahan dapat terjadi - bukan karena kami mengharapkannya, seperti halnya dengan Rusia, bukan juga karena kami menghendakinya, tetapi karena situasi yang terjadi, contohnya di Selat Taiwan, telah berubah secara paksa," katanya.

Eropa akan bereaksi dengan perkembangan seperti itu "dan reaksi tersebut akan mengarah pada semacam bentuk pemisahan", kata Landsbergis.

EU sedang berjuang untuk memperhitungkan kembali hubungannya dengan China, yang tampaknya jauh lebih tegas dibanding dulu. Blok itu mengambil pelajaran dari gagalnya kebijakan terhadap Moskow karena sangat bergantung pada impor energi dari Rusia.

Para pemimpin seperti Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan Kanselir Jerman Olaf Scholz telah menyerukan "pencegahan risiko", tetapi bukan "berpisah" dengan China.

Namun, Presiden Prancis Emmanuel Macron baru-baru ini menerima reaksi keras ketika menyatakan bahwa EU harus mengurangi ketergantungan pada AS. Dia juga memperingatkan adanya risiko terseret ke dalam krisis Taiwan yang dipicu oleh "irama Amerika dan reaksi berlebihan China".

Sumber: Reuters

Baca juga: FT: EU akan beri sanksi pada perusahaan China yang bantu perang Rusia
Baca juga: Menlu Jerman: Kesatuan Eropa kunci turunkan risiko China

Penerjemah: M Razi Rahman
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2023