Kampala (ANTARA) - Presiden Uganda Yoweri Museveni telah menandatangani salah satu undang-undang anti LGBTQ paling keras di dunia, termasuk hukuman mati bagi pelaku hubungan homoseksual, sebuah langkah yang dikecam Barat dan berisiko mendatangkan sanksi dari negara-negara pendonor.

Hubungan sesama jenis adalah perbuatan terlarang di Uganda, seperti halnya di lebih dari 30 negara Afrika lainnya, tetapi UU baru itu adalah yang paling tegas.

UU tersebut memberlakukan hukuman mati bagi perilaku yang bisa menularkan penyakit seperti HIV/AIDS melalui hubungan sesama jenis, dan menerapkan hukuman 20 tahun penjara bagi mereka yang mempromosikan hubungan sejenis.

"Presiden Uganda hari ini telah melegalkan homofobia dan transfobia yang disponsori oleh negara," kata Clare Byarugaba, aktivitas HAM Uganda.

"Ini adalah hari yang sangat menyedihkan dan kelam bagi komunitas LGBTQ, rekan-rekan kami dan seluruh Uganda," kata Byarugaba.

Dia dan aktivis lain bertekad untuk melawan UU tersebut, yang telah ditandatangani oleh Museveni di mejanya dengan pena berwarna emas, seperti terlihat pada foto yang disiarkan kantor kepresidenan Uganda.

Pemimpin Uganda berusia 78 tahun itu menyebut homoseksual sebagai perilaku menyimpang dan mendesak anggota parlemen untuk melawan tekanan negara imperialis.

UU anti LGBTQ 2014 yang lebih lunak sempat dicabut oleh pengadilan karena alasan prosedural, setelah pemerintah Barat menangguhkan berbagai bantuan, memberlakukan pembatasan visa dan dan mengurangi kerja sama keamanan.

Uganda menerima bantuan senilai miliaran dolar dari luar negeri setiap tahun, tetapi pemberlakuan UU baru itu bisa membuat Uganda menghadapi sanksi yang lebih berat.

Dampak terbaru dari UU tersebut adalah ditolaknya permohonan visa ke AS bagi Ketua DPR Uganda, Anita Among. Namun, Among dan Kedutaan Besar AS di Uganda belum berkomentar.

Gedung Putih mengecam rancangan UU tersebut saat pertama kali diajukan pada Maret lalu. Pemerintah AS bulan lalu menyatakan akan meninjau kembali implikasinya terhadap kegiatan PEPFAR, sebuah program HIV/AIDS di Uganda.

Lewat pernyataan bersama pada Senin, PEPFAR, Dana Global Untuk Memerangi AIDS, Tuberkulosis, Malaria serta Program Bersama PBB untuk HIV/AIDS mengatakan UU tersebut membuat program anti HIV di Uganda menjadi kacau balau.

Dominic Arnall, bos Open For Business, yang merupakan koalisi berbagai perusahaan termasuk Google dan Microsoft, menyatakan kekecewaan yang sangat mendalam.

"Berdasarkan data kami, undang-undang tersebut berlawanan dengan kepentingan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan seluruh rakyat Uganda," katanya.

Sementara itu, Uni Eropa mengulangi kecaman yang pernah mereka sampaikan pada Maret lalu. Badan hak asasi manusia PBB juga mengatakan bahwa UU tersebut bisa dipakai sebagai alat untuk melanggar hak rakyat Uganda secara sistematis.

"Kami sangat terkejut karena rancangan undang-undang anti gay yang kejam dan diskriminatif tersebut sudah menjadi undang-undang," kata Uni Eropa di Twitter.

Langkah keras Uganda tersebut bisa mendorong anggota parlemen di negara-negara tetangganya, Kenya dan Tanzania, untuk mengikuti langkah serupa.

"Dengan penuh kerendahan hati, saya berterima kasih kepada rekan-rekan saya anggota parlemen yang berusaha bertahan dari segala tekanan dan teori konspirasi hari kiamat demi kepentingan rakyat kita," kata Among dalam sebuah pernyataan.

Menurut Among, komunitas LGBTQ di Uganda hidup dalam ketakutan, menutup akun media sosial mereka dan meninggalkan rumah untuk mencari perlindungan, bahkan ada yang berencana melarikan diri ke luar negeri.

Museveni telah mengirimkan kembali salinan asli RUU tersebut kepada parlemen dan meminta mereka untuk melakukan berbagai perbaikan.

Versi yang diamandemen adalah pasal yang menyatakan bahwa mengaku sebagai LGBTQ bukanlah kejahatan, dan merevisi tindakan yang mewajibkan orang melaporkan aktivitas homoseksual hanya jika melibatkan anak-anak.

Sumber: Reuters

Baca juga: Parlemen Uganda sahkan undang-undang pelarangan LGBTQ
Baca juga: Pemerintah India tolak akui pernikahan sesama jenis

 

Penerjemah: Atman Ahdiat
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2023