Jakarta (ANTARA) -
Pemilihan Abang dan None DKI Jakarta hakikatnya bukan sekadar berbicara tentang Jakarta, apalagi hanya masalah tampilan fisik. Pemilihan Abang dan None juga mengandung nilai-nilai penguatan mental sesuai tugas yang akan diemban oleh peserta terpilih untuk ikut menjaga pluralitas bangsa lewat Jakarta, sebagai miniatur Indonesia.

Pemilihan Abang dan None menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Pasalnya, dari ratusan peserta, sudah terpilih 15 pasang finalis untuk masing-masing wilayah di Provinsi DKI Jakarta. 
 
Satu hal yang kemudian menyita perhatian publik adalah salah satu finalis None Jakarta Barat yang merupakan perempuan keturunan Afrika.
 
Finalis itu adalah Diana (24), seorang mahasiswa komunikasi semester akhir yang kini bergelut di bidang modelling. Ayahnya merupakan warga asli Liberia, Afrika, dan ibunya merupakan warga Sunda, Bogor. Diana lahir dan besar di Bogor.
 
Awalnya tidak terpikirkan olehnya bahwa ia akan menjadi salah satu finalis Abang None Jakarta Barat. Sebelumnya ia tidak melihat sosok atau gambaran seorang None dalam dirinya. Dalam pengamatannya, keberagaman yang terjadi dalam pemilihan finalis Abang None hanya sebatas keturunan tertentu dan tidak ada yang berkulit gelap seperti dirinya.
 
Pada pemilihan Abang None 2022 sempat mencoba juga, namun ia hanya sampai pada tahap semi finalis. Hal tersebut sempat membuatnya semakin minder.
 
Namun kegagalan itu tidak menghalanginya untuk mencoba lagi. Alhasil, pada pemilihan Abang None Jakarta Barat tahun ini, ia berhasil lolos sebagai finalis. Itulah titik balik yang membuatnya berpikir bahwa pemilihan Abang None Jakarta Barat adalah sebuah ruang yang memeluk keberagaman atau segala jenis latar belakang, dan lintas ras.
 
Menjalani dinamika sebagai seorang finalis None Jakarta Barat memberinya banyak hal positif baru. Sebelumnya, karena sempat ikut menjadi Putra Putri Bahari di Kepulauan Seribu, ia mendapat secuil gambaran mengenai Abang None dan ternyata setelah berdinamika di dalamnya ada banyak hal baru yang ia pelajari.
 
Awalnya ia berpikir menjadi Abang None hanya sebatas duta wisata, ternyata ia belajar juga tentang kebudayaan dan paham perdamaian. Jadi ada tiga predikat yang kemudian melekat padanya saat menjadi Abang None Jakarta Barat, yakni duta wisata, duta kebudayaan Betawi dan duta perdamaian. Jakarta yang merupakan pertemuan beragam latar belakang selalu menjadi patron bagi daerah lainnya dalam berbagai aspek, khususnya menjaga persatuan dan perdamaian.
 
Untuk sampai pada tahap itu, tentunya ia melewati proses pembekalan yang panjang dengan materi-materi yang tidak hanya berorientasi pada penampilan, tetapi juga utamanya pada kualitas intelektual dan perilaku. Diana dan teman-teman yang lainnya sedang berproses untuk menjalani dinamika pembekalan tersebut.
 
Ia berharap tetap bisa berkontribusi bagi Abang None dan Jakarta ke depannya. Ia ingin mengenal lebih banyak orang lagi, bisa belajar lebih banyak lagi, dan memberi sumbangsih bagi Jakarta dengan segala kompleksitasnya.
 
Berbicara soal karir dan mimpi, Diana melihat dirinya di masa depan berkiprah di dunia entertaining, acting, hosting, dan bentuk-bentuk hiburan lainnya. Menurutnya, menjadi finalis Abang None adalah sebuah baru loncatan sekaligus bekal yang bisa memberinya sayap untuk sampai ke sana.
 
Ia percaya bahwa platform Abang None ini memberinya peluang jaringan dan pemahaman memadai pada banyak bidang yang dapat membantunya untuk menggapai mimpi.
 
Melalui mimpinya, tumbuh secercah optimisme yang diharapkan dapat menghalau segala jenis klaim diskriminatif dan boleh dibilang salah kaprah mengenai standar kecantikan yang berlaku di luar sana dan lagi-lagi, ia tidak main-main dengan mimpinya.
 
Diana hanyalah salah satu contoh yang kemudian mengantar pada sebuah tesis bahwa pemilihan Abang None Jakarta Barat telah berhasil meruntuhkan tembok mengenai standar kecantikan yang hanya memegang teguh warna kulit putih dan rambut yang lurus.
 
Secara lebih jauh, seleksi finalis Abang None Jakarta Barat ini telah menjadi ruang diversitas atau keberagaman yang juga mengedepankan aspek intelektual dan perilaku para finalis.
 
Pada saat bersamaan, Abang None Jakarta Barat sudah mendefinisikan cantik secara lebih baru dan lintas ras, melalui instrumen penilaian yang diterapkan, yakni cantik atau ganteng dalam konteks pemilihan Abang None itu merupakan kesimpulan integral antara kadar intelektual, perilaku, dan juga penampilan. Jadi yang jelas bukan pada warna kulit, apalagi terbatas pada ras tertentu.
 
Sekilas, kesimpulan-kesimpulan tersebut cenderung menjadi klaim, namun seorang finalis None Jakarta Barat keturunan Afrika berhasil membutikannya dengan segala kualitas yang ia tawarkan pada dunia.
 
 
Ruang keberagaman 

Dengan terpilihnya 15 pasang finalis Abang dan None di setiap wilayah tersebut, pemenang Abang dan None untuk tingkat Provinsi DKI Jakarta juga semakin dekat. Dari 15 pasang Abang dan None yang ada, masing-masing wilayah akan mengutus tiga pasang Abang dan None terbaiknya untuk bersaing di level Provinsi DKI.
 
Kini, 15 pasang finalis Abang dan None tersebut sedang menjalani masa pembekalan dan seleksi yang difasilitasi oleh masing-masing Suku Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) dari masing-masing wilayah.
 
Dalam dinamika pembekalan dan seleksi finalis Abang None yang sedang berlangsung, Sudin Parekraf Jakarta Barat memunculkan berbagai keunikan, yakni keberagaman dalam ke-15 pasang finalis Abang dan Nonenya.
 
Keberagaman yang dimaksud dalam hal ini adalah asal dan latar belakang 15 pasang Abang dan None Jakarta Barat. Diketahui, 80 persen finalis Abang dan None Jakarta Barat bukan merupakan keturunan asli Betawi.
 
Sebetulnya, indikator utama dalam pemilihan finalis Abang dan None adalah pemahaman tentang budaya Betawi dan sejarah Jakarta.
 
Hal tersebut secara administratif memang wajar. Pasalnya, syarat untuk mendaftar sebagai Abang None itu ber-KTP Indonesia. Jadi, kesempatan terbuka sangat lebar bagi orang-orang yang ingin mendaftar, bukan hanya warga DKI Jakarta, terlepas dari masih banyak syarat-syarat teknis lainnya yang ditetapkan.
 
Kemudian, untuk memilih finalisnya, ada tahap-tahap spesifik lainnya yang sudah dijalani oleh para finalis.
 
 
Cara baru melihat Betawi
 
Edwin (25), alumni Abang None Jakarta Barat 2022, sekaligus pembina finalis Abang None Jakarta Barat 2023 menggarisbawahi satu poin penting dalam pemilihan Abang None Jakarta Barat 2023 maupun Abang None sebelumnya, yakni keberagaman.
 
Pada akhirnya mereka yang menang adalah mereka yang berani memeluk latar belakang mereka yang menjadi identitasnya masing-masing.
 
Anggota tim pembina boleh saja mengajari para Abang None tentang cara berbicara, cara menjawab pertanyaan, dan sebagainya, tetapi jangan sampai membunuh karakter mereka.
 
Menurutnya, belajar budaya Betawi bukan berarti harus melupakan latar belakang sendiri, tetapi bagaimana tetap spesial dengan identitas yang spesial juga. Dalam konteks itulah poin keragaman Abang None mesti dipahami.
 
Uniknya, ada lebih dari 80 persen finalis Abang None Jakarta Barat yang bukan orang asli Betawi. Mereka berasal dari berbagai latar belakang budaya dan daerah. Beberapa dari mereka memang berdomisili di wilayah Jabodetabek.
 
Terlepas dari itu, syarat untuk mendaftar sebagai Abang None intinya harus ber-KTP Indonesia, bukan harus ber-KTP DKI Jakarta. Dari syarat itu sudah kelihatan bagaimana platform Abang None ini secara administratif sudah mengindahkan adanya perbedaan latar belakang.
 
Kendati demikian, muncul pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana bisa budaya Betawi dipromosikan oleh orang yang bukan Betawi? Bukannya hanya orang Betawi yang layak melakukannya? Tidakkah itu memudarkan aspek keasliannya?
 
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Imron Hasbullah memberi sebuah pemahaman baru mengenai budaya Betawi yang sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menginang pada publik Betawi di atas.
 
Menjadi Abang dan None itu tidal wajib orang Betawi, tetapi orang yang ingin berkontribusi bagi keberadaan budaya Betawi, berikut Jakarta secara umum, sebagai sebuah titik besar pertemuan unsur-unsur bangsa.
 
Betawi sebagai sebuah kesatuan sosial dan budaya adalah titik temu, sebagai ruang berbagai ras dan latar budaya bertemu. 
 
Jadi, keragaman latar belakang dalam Abang None itu bukanlah sebuah "bencana" budaya yang perlu ditakuti, tetapi lebih dari itu merupakan sesuatu kekayaan yang dapat diolah dan disyukuri, tentunya dalam konteks pemilihan Abang None. Itu juga menunjukkan universalitas dari budaya Betawi yang terus menemukan relevansinya dari waktu ke waktu dan dalam berbagai kondisi masyarakat.
 
 
Instrumen penilaian
 
Kepala Suku Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Jakarta Barat Dedi Sumardi menegaskan bahwa pemilihan Abang None ini adalah sebuah wadah universal yang melampaui segala batas latar belakang di Indonesia.
 
Karena itu perlu diluruskan apa yang dimaksudkan dengan "penampilan" dalam pemilihan Abang dan None.
 
Memang penampilan adalah satu indikator penilaian utama dalam pemilihan Abang None, namun tidak ada pembicaraan mengenai ras atau warna kulit tertentu dalam indikator (penampilan) tersebut.
 
Berkaitan dengan None Diana yang lolos jadi finalis, itu berarti dia memenuhi segala kualifikasi yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 30 tahun 2010 tentang penyelenggaraan Abang None Jakarta.
 
15 pasang finalis Abang dan None terpilih dari 143 peserta yang mendaftar sudah melewati berbagai macam tes, mulai dari tes lisan, tes peragaan (teknik penampilan), tes psikologi, dan tes perilaku.
 
Tes-tes tersebut juga memiliki item turunannya masing-masing. Misalnya pada tes lisan, mereka diuji pemahaman ilmu pemerintah, ilmu umum, budaya Betawi, sejarah Jakarta, pariwisata, pemasaran, kepribadian, tata busana dan teknis penampilan, bahasa asing (khususnya Inggris) dan lainnya.
 
Jika berbicara soal tata busana dan teknis penampilan, itu bukan soal warna kulit. Abang None tidak sesempit itu, Abang None itu memeluk erat-erat apa yang namanya perbedaan. Jadi penampilan itu soal bagaimana peserta belajar menggunakan busana yang tepat, atau soal kombinasi warna yang tepat, atau tentang cara dia melakukan peragaan fesyen (catwalks).
 
Penampilan itu semuanya tentang apa yang bisa dipelajari, bukan tentang apa sudah terberi dari atas (ras atau warna kulit). Kalau tentang itu sudah seharusnya masing-masing mensyukuri.
 
Lebih dari itu, indikator penilaian utama juga adalah kadar intelektual dan juga perilaku. Dengan demikian, setelah semua indikator itu sudah diterapkan, maka diharapkan pemenangnya nanti benar-benar merupakan utusan terbaik Jakarta Barat.
 
Ke-15 pasang Abang None ini secara teknis tahap seleksi sudah melewati banyak pembekalan. Karena ketika mereka terpilih, materi-materi tes yang diberikan kemudian diperdalam lagi dengan menghadirkan pemateri yang ahli di bidang terkait.
 
Selain itu, yang akan mewakili Abang dan None Jakarta Barat nanti bukan maju untuk dirinya sendiri, tetapi mewakili wilayah Jakarta Barat secara menyeluruh.
 
Tentunya, untuk sampai ke sana, publik tidak boleh berkutat pada masalah ras dalam Abang None dan eksklusifitas budaya Betawi. Lebih dari itu, harus ada optimisme pada para finalis yang sudah diseleksi dari ratusan pendaftar agar bisa memberikan yang terbaik untuk Jakarta Barat.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023