Untuk mencegah militer tak lagi campur tangan, maka konstitusi 2017 mesti diubah.
Jakarta (ANTARA) - Tragis nian nasib Partai Move Forward. Menjadi pemenang pemilu 14 Mei 2023 dengan menangguk suara terbanyak 38,01 persen, tapi gagal berkuasa di Thailand.

Dua kali partai yang diketuai politisi muda Pita Limjaroenrat itu berusaha membentuk pemerintahan, dua kali itu pula gagal.

Akhirnya mereka menyerahkan prakarsa membentuk pemerintahan kepada peraih suara terbanyak kedua dalam Pemilu 14 Mei, Partai Pheu Thai.

Move Forward tak berkutik menghadapi majelis tinggi atau Senat yang seluruhnya dipilih oleh militer. Move Forward dan Pheu Thai awalnya berkoalisi, dan sama-sama dimusuhi militer.

Agenda progresif Move Forward yang ingin mengamputasi keistimewaan monarki dan sikap politiknya yang anti kemapanan, membuat musuh-musuhnya bersatu menghalangi mereka.

Namun, partai-partai pemerintah itu tak mungkin mengambil inisiatif membentuk pemerintahan baru karena salah secara moral dan politik, mengingat mereka sudah kalah dalam Pemilu 14 Mei.

Pheu Thai maju menggantikan Move Forward dalam mengajukan calon perdana menteri baru Thailand.

Dalam dua kali pemungutan suara terdahulu, di mana Pita Limjaroenrat menjadi calonnya, koalisi Move Forward, Pheu Thai, dan beberapa partai kecil gagal melewati adangan kubu konservatif, loyalis militer, dan kaum kemapanan di Senat. Mereka tak bisa mendapatkan dukungan suara 50 persen plus 1.

Begitu mengambil alih prakarsa membentuk pemerintahan baru, Pheu Thai tak mau mengulang kesalahan Move Forward.

Mereka pun bergerilya membentuk koalisi yang menyertakan partai-partai pro-militer, sesuatu yang haram dilakukan oleh Move Forward.

Pheu Thai pun berhasil mendapatkan dukungan dari 14 parpol, termasuk United Thai Nation dan Palang Pracharat. Kedua parpol dukungan militer itu adalah aktor utama di balik kegagalan Move Forward dan Pita Limjaroenrat berkuasa di Thailand.

Move Forward sendiri menolak bergabung dalam koalisi Pheu Thai karena, menurut mereka, adalah tak bermoral partai pemenang pemilu tak bisa membentuk pemerintahan baru.

Akan tetapi dukungan 14 partai mitra koalisi, sudah lebih dari cukup bagi Pheu Thai. Bergabungnya United Thai Nation dan Palang Pracharat yang pro-militer membuat koalisi ini terjamin mendapatkan dukungan Senat yang seluruh anggotanya dipilih militer.


Lebih kompromistis

Akhirnya, pada Selasa 22 Agustus 2023, parlemen meloloskan upaya koalisi Pheui Thai menjadi penguasa baru Thailand. Kandidat mereka, Srettha Thavisin, terpilih menjadi perdana menteri.

Pengusaha properti yang baru beberapa bulan lalu masuk dunia politik itu mendapatkan dukungan 482 anggota legislatif, atau tujuh suara lebih banyak dari keharusan minimal 376 anggota legislatif, untuk mengantarkan Thavisin menjadi perdana menteri.

Total anggota legislatif Thailand adalah 750 kursi. Itu terdiri dari 250 anggota majelis tinggi (Senat) yang ditunjuk militer, dan 500 anggota majelis rendah yang semuanya masuk legislatif dari jalur demokratis lewat pemilihan umum.

Dari 500 anggota majelis rendah hasil Pemilu 14 Mei 2023, 151 anggota di antaranya berasal dari Move Forward, 141 kursi milik Partai Pheui Thai, sedangkan partai-partai lain menguasai 208 kursi, termasuk United Thai Nation dan Palang Pracharat yang total memiliki 76 kursi.

Thavisin melenggang menjadi perdana menteri, tetapi dia dan Partai Pheu Thai masih harus menghadapi ujian berat, yakni membentuk kabinet yang wajib melibatkan mitra-mitra koalisinya yang spektrum dan orientasi politiknya saling berseberangan itu.

Keadaan itu pula yang membuat banyak kalangan menilai koalisi Pheu Thai sebagai rapuh sehingga sewaktu-waktu bisa ambruk.

Kemenangan Thavisin dan Pheu Thai itu sendiri terjadi bersamaan dengan kembalinya tokoh besar Partai Pheu Thai yang juga mantan perdana menteri, Thaksin Shinawatra, setelah 15 tahun mengasingkan diri di luar negeri.

Thaksin terpaksa mengasingkan diri setelah digulingkan oleh kudeta militer dan lalu divonis penjara secara in absentia karena dakwaan penyalahgunaan kekuasaan. Adiknya, Yingluck Shinawatra, juga dikudeta militer tapi tak berujung menjadi narapidana politik.

Kini, Pheui Thai yang menjadi lengan politik keluarga Shinawatra, bersekutu dengan partai-partai pro-militer.

Kemenangan Thavisin dan kedatangan Thaksin yang terjadi pada hari yang sama itu mengembuskan desas desus bahwa Thaksin dan militer Thailand melakukan transaksi politik untuk saling memberikan konsesi.

Pheui Thai mungkin menjadi jalan keluar yang bisa menyelamatkan militer dari citra buruk sebagai penghalang terbentuknya pemerintahan baru, selain membuat mereka tetap memerintah sehingga menyelamatkan nasib politik dan jaringan bisnis mereka.

Sebaliknya, Pheu Thai mungkin telah meminta jaminan keselamatan untuk Thaksin Shinawatra, yang begitu kembali ke Thailand langsung dijebloskan ke penjara. Tapi ada dugaan bahwa Thaksin bakal dibebaskan begitu pemerintahan baru terbentuk.

Intinya, kedua kubu sama-sama mencari jalan aman.

Akan tetapi, tak tertutup kemungkinan Pheui Thai akhirnya berkoalisi kembali dengan Move Forward, guna mengamandemen konstitusi Thailand demi menutup peluang militer intervensi dalam politik Thailand.


Konstitusi 2017

Setelah melancarkan kudeta pada 2006 dan 2014, melalui jalan referendum pada 2016, militer mengubah konstitusi Thailand pada 2017, yang salah satunya menyatakan Senat sebagai lembaga negara nonpartisan sehingga tak boleh lagi dipilih dari mekanisme pemilihan umum.

Untuk itu, tak seperti terjadi di negara-negara demokrasi umumnya termasuk Indonesia yang memilih seluruh anggota DPD dari proses pemilu, 250 anggota Senat Thailand dihasilkan dari mekanisme penunjukan oleh militer.

Masa bakti anggota Senat pun dipersingkat dari 6 tahun menjadi 5 tahun, yang tetap lebih lama dibandingkan dengan anggota majelis rendah atau dewan perwakilan rakyat yang dipilih setiap 4 tahun.

Amendemen konstitusi mungkin menjadi proyek diam-diam dan jangka panjang Pheui Thai. Pilihan ini tak bisa dikesampingkan, mengingat sudah dua kali militer mencampakkan mereka. Pertama, kudeta 2006 yang menggulingkan Thaksin, dan kedua, kudeta 2014 yang menggulingkan Yingluck.

Untuk mencegah militer tak lagi campur tangan, maka konstitusi 2017 mesti diubah.

Namun demikian, sudah pasti kubu konservatif, militer, dan kelompok kemapanan tak akan tinggal diam. Mereka bakal menempuh segala cara untuk menghalangi upaya itu.

Senat Thailand awalnya dipilih oleh keluarga kerajaan, tetapi pada 1997 dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.

Namun, 3 tahun setelah kudeta 2014, militer mengubah konstitusi Thailand pada 2017. Sepanjang sejarah Thailand, militer sudah 14 kali melakukan kudeta.

Konstitusi Thailand 2017 menyatakan bahwa seluruh 250 anggota Senat dipilih oleh militer.

Para senator yang tengah menjabat saat ini adalah Senat periode 2019-2024. Artinya, jika Pheu Thai ingin mengamandemen konstitusi dengan mendorong referendum maka mereka harus menunggu sampai tahun depan.

Akan tetapi itu baru satu kemungkinan, dan masih terlalu jauh. Yang pasti, realitas saat in, Pheu Thai dan Srettha Thavisin menghadapi tugas berat menyatukan koalisi, terutama dalam bagaimana meyakinkan militer dan partai-partai dukungan militer, agar tetap satu barisan.

Pheu Thai mungkin tak mau Thavisin berakhir seperti Thaksin dan Yingluck. Untuk itu, mereka akan kompromistis dan akomodatif, apalagi dalam pidato kemenangannya, Thavisin sudah berikrar bahwa "saya akan bekerja tanpa lelah dalam memajukan kehidupan seluruh rakyat Thai".

Ini petunjuk bahwa Thavisin dan Pheui Thai akan berusaha menciptakan pemerintahan inklusif dengan semakin merangkul semua kekuatan, termasuk militer, demi janji melayani semua lapisan masyarakat.

Apakah upaya mewujudkan pemerintahan inklusif ini akan berjalan mulus? Masih terlalu sulit untuk disimpulkan.

Tapi untuk sementara, Srettha Thavisin dan Pheui Thai layak diselamati karena berhasil mengakhiri kebuntuan dan ketidakpastian politik untuk membuka jalan bagi terbentuknya pemerintahan baru di Thailand.







 

Copyright © ANTARA 2023