Bangkok (ANTARA) - Dalam 60 hari sejak mencatat kemenangan menakjubkan dalam pemilu Thailand pada 14 Mei, pemimpin Partai Move Forward berhasil membangun koalisi, memperdaya kelompok kemapanan militer royalis dan memimpin barisan politiknya dalam mencapai tujuan tunggal, menjadi perdana menteri.

Namun pada Kamis, pemimpin politik berusia 42 tahun bernama Pita Limjaroenrat itu gagal dalam upaya perdananya memenangkan kursi perdana menteri karena tidak memperoleh cukup suara dalam sidang pleno parlemen Thailand yang total beranggotakan 750 orang.

Pemungutan suara berikutnya untuk memilih Pita diperkirakan diadakan pekan depan, jika dia kembali dicalonkan menjadi perdana menteri Thailand. Kemunduran ini terjadi meskipun Move Forward menjadi pemenang pemilihan umum Mei silam.

Dalam pemilu itu, partai tersebut menyeruak menjadi satu-satunya partai terbesar setelah menjalankan strategi kampanye yang apik yang didukung media sosial, dengan menjanjikan hadirnya sebuah pemerintahan progresif dan transparan kepada para pemilih Thailand.

Namun, agenda Pita dan Move Forward, khususnya proposal yang dulunya tak terpikirkan, yakni mengamandemen pasal "lese majeste" dalam undang-undang Thailand, membuat mereka berhadapan dengan kaum kemapanan konservatif yang kuat mencengkeram negara itu, yang mengendalikan 250 anggota Senat yang tak dipilih dari jalur pemilu, melainkan karena ditunjuk.

"Beri kesempatan kepada Thailand untuk dipimpin pemerintahan mayoritas berdasarkan keinginan rakyat," kata Pita dalam pesan videonya Selasa kemarin.

Dia menyeru para anggota parlemen terpilih dan tak terpilih agar mendukungnya pada pemungutan suara dalam parlemen dua kamar itu.

"Saya bisa menjadi perdana menteri yang menjalankan negara yang merangkul beragam impian semua orang," kata dia.
Baca juga: Kalah suara di parlemen, Pita Limjaroenrat gagal jadi PM Thailand

Namun, pada Rabu atau kurang dari sehari sebelum pemungutan suara, upaya Pita untuk berkuasa menghadapi dua hantaman sekaligus.

Pertama, Komisi Pemilu Thailand yang merekomendasikan Mahkamah Konstitusi agar mendiskualifikasi Pita sebagai anggota parlemen karena dia memiliki saham dalam sebuah perusahaan media yang merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pemilu di Thailand.

Kedua, Mahkamah Konstitusi menyatakan telah menerima sebuah gugatan terhadap Pita dan partainya atas rencana mereka mengamandemen undang-undang lese majeste, pada Pasal 112 KUHP yang memberikan ancaman hukuman 15 tahun penjara kepada siapa pun yang menghina monarki.

Kedua langkah hukum itu menyerupai kejadian serupa pada 2020 ketika pengadilan memerintahkan partai pendahulu Move Forward dibubarkan dan sejumlah pemimpinnya dilarang berpolitik selama sepuluh tahun karena melanggar aturan pemilu.

Berangkat dari pelanggaran itu, Pita melangkah, untuk kemudian menjadi pemimpin Partai Move Forward yang saat itu baru dibentuk.

Pita pernah menjadi anggota parlemen satu masa jabatan. Dia berasal dari sebuah keluarga yang berpengaruh secara politik dan memiliki pengalaman bekerja dalam sektor teknologi.

Posisi ketua Move Forward itu mendorong lulusan Universitas Harvard tersebut masuk gelanggang utama politik Thailand, yang saat itu tengah diguncang oleh gerakan reformis pimpinan kaum muda yang membuat ribuan orang turun ke jalan dan kadangkala memicu bentrokan keras di jantung kota Bangkok.

Pengunjuk rasa dari kaum muda itu menantang penguasa yang didukung secara langsung oleh militer. Mereka menyerukan reformasi menyeluruh, amandemen konstitusi dan mempertanyakan pengaruh kaum monarki dalam politik dan masyarakat Thailand.

Beberapa dari demonstran itu dan juga di antara tuntutan itu, menjadi bagian dari inti kekuatan elektoral Move Forward, termasuk seruan mengamandemen hukum lese majeste.

Lese majeste adalah pasal yang melindungi anggota keluarga kerajaan Thailand dari hinaan atau ancaman.
Baca juga: Thailand kembali diintai krisis politik

Mampu berkompromi

Di negara di mana banyak orang menganggap monarki setengah dewa, para analis meragukan apakah Move Forward pimpinan Pita mampu menyingkirkan partai-partai konservatif pro kemapanan yang selama lebih dari satu dekade terakhir ini mendominasi politik Thailand.

Dalam berbagai pidatonya, Pita berhasil memikat massa yang kebanyakan pemilih muda. Logo oranye khas partai itu dan pesannya yang gamblang, membanjiri media sosial. Pada akhir masa kampanye, popularitas calon perdana menteri itu melonjak.

"Pilihlah Move Forward agar bersama-sama mengubah negara ini," kata Pita dalam pesan video kampanye yang apik, sembari melepas kacamata hitam dan kemudian mengedipkan mata.

Kepada jutaan warga Thailand yang sudah bosan melihat pemerintahan dukungan militer yang berkuasa selama hampir sepuluh tahun, Pita menawarkan serangkaian perubahan, termasuk kenaikan upah minimum, menghapus monopoli bisnis, merampingkan angkatan bersenjata dan melegalkan pernikahan sesama jenis.

Manakala angka-angka bergulir sampai tengah malam 14 Mei itu, Move Forward tidak hanya menumbangkan koalisi partai berkuasa tetapi juga menyisihkan Partai Pheu Thai yang populis yang merupakan kelompok oposisi dukungan taipan Thaksin Shinawatra yang mengasingkan diri dan juga mantan perdana menteri.

Hasil pemilu itu mendorong Pita untuk ganti gigi dari semula calon wakil rakyat menjadi pembangun koalisi, ketika kelompok yang terdiri dari tujuh partai, termasuk Pheu Thai, menyatu bersama Move Forward untuk berkuasa.

"Pita adalah wakil rakyat demokratis yang dapat melontarkan Thailand ke panggung global dengan cara yang bermartabat," kata Kannawee Suebsang, anggota parlemen dari Fair Party, yang merupakan satu dari delapan anggota koalisi pimpinan Pita.

"Dia pemimpin yang tangguh dan berkarisma yang juga mampu berkompromi," lanjut Kannawee Suebsang.

Baca juga: Digugat di MK, Pita Limjaroenrat terancam tidak bisa jadi PM Thailand
Baca juga: Calon PM Thailand janji loloskan UU pernikahan sesama jenis

Sumber: Reuters

Penerjemah: Jafar M Sidik
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2023