Bangkok (ANTARA) - Calon perdana menteri Thailand Pita Limjaroenrat pada Rabu mengalami kemunduran besar dalam upaya politiknya setelah dua gugatan hukum terhadapnya mendapatkan momentum sehingga berpeluang menggagalkan upayanya menjadi perdana menteri dalam pemungutan suara guna memilih perdana menteri dalam parlemen Thailand.

Para pendukung Pita yang kebanyakan pemilih muda yang menentang keterlibatan militer pendukung monarki dalam politik, menyerukan unjuk rasa Rabu malam.

Perkembangan ini meningkatkan kemungkinan gejolak politik baru dalam dunia politik Thailand yang selama dua puluh tahun terakhir sudah terpecah belah.

Mahkamah Konstitusi menyatakan telah menerima gugatan yang diajukan seorang pengacara terhadap Pita dan partainya yang memenangi  pemilu Thailand beberapa waktu lalu, Partai Move Forward.

Penggugat menilai rencana Pita dan partainya dalam mereformasi undang-undang yang melarang penghinaan terhadap kerajaan, sebagai upaya "menggulingkan rezim pemerintahan demokratis, dengan raja sebagai kepala negaranya."

Pengakuan Mahkamah Konstitusi telah menerima gugatan itu terjadi hanya beberapa jam setelah komisi pemilihan umum Thailand merekomendasikan agar mahkamah yang sama mendiskualifikasi Pita sebagai anggota parlemen.

Gugatan itu menyimpulkan Pita tidak memenuhi syarat mencalonkan diri dalam pemilihan umum 14 Mei silam karena dia memiliki saham dalam sebuah perusahaan media yang di Thailand merupakan melanggar aturan pemilu.

Namun demikian, tak ada petunjuk bahwa perkembangan hukum terbaru ini bakal menghalangi Pita (42) dalam mengikuti pemungutan suara untuk pemilihan perdana menteri Kamis esok.

Dalam pemungutan suara itu, Pita menghadapi tantangan untuk memenangi dukungan dari lebih dari separuh jumlah anggota dewan legislatif.

Agar bisa mengumpulkan cukup dukungan dalam parlemen guna menjadi perdana menteri, Pita mesti mendapatkan dukungan dari para anggota Senat yang menentang agenda anti-kemapanan yang diusung partainya.

Agenda itu adalah mengamandemen pasal 112 KUHP yang menghukum siapa pun yang dianggap menghina raja dengan ancaman hukuman maksimum 15 tahun penjara.

Pita mengatakan rekomendasi komisi pemilihan umum agar dirinya didiskualifikasi adalah tidak adil. Pita juga mempertanyakan waktu pengajuan rekomendasi itu.

"Ini agak terburu-buru, satu hari sebelum pemilihan perdana menteri, seharusnya ini tak boleh terjadi," kata dia kepada wartawan.

Dalam sebuah wawancara televisi saat Mahkamah Konstitusi mengumumkan kasus baru tersebut, Pita menegaskan bahwa usul partainya dalam mengamandemen pasal 112 bukanlah upaya melemahkan monarki.

Mendapatkan dukungan besar-besaran oleh pemilih muda untuk rencana reformasinya yang berani itu, Move Forward dan partai oposisi lainnya mengalahkan pesaing-pesaingnya yang bersekutu dengan tentara pendukung monarki dalam pemilihan umum Mei silam.

Kemenangan Move Forward dan oposisi lainnya itu luas dianggap sebagai penolakan besar rakyat Thailand terhadap sembilan tahun pemerintahan yang dipimpin atau didukung oleh militer.

Move Forward mengalahkan partai populis Pheu Thai yang tadinya diperkirakan bakal memenangi pemilu itu, dengan selisih 10 kursi. Kedua partai ini kemudian berharap bisa bersama-sama membentuk pemerintahan koalisi setelah pemilihan perdana menteri Kamis esok.

Pertarungan sudah dimulai

Gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi itu menjadi rangkaian baru dalam perebutan kekuasaan penuh gejolak di Thailand selama dua puluh tahun terakhir.

Gejolak ini membuat kubu konservatif yang bersekutu dengan militer royalis dan keluarga-keluarga kaya lama yang berpengaruh, bertarung menghadapi partai-partai yang dipilih karena platformnya yang populis atau progresif.

Para pemimpin gerakan unjuk rasa pimpinan para mahasiswa yang menyerukan reformasi pasal 112 dan pernah menggelar unjuk rasa besar-besaran menentang pemerintah dukungan militer beberapa waktu lalu, mendesak para pendukungnya agar turun ke jalan Rabu malam ini, paling tidak di lima kota, termasuk Bangkok.

"Harus ada pembalasan terhadap upaya yang menghancurkan demokrasi," kata pemimpin unjuk rasa Anon Nampa dalam catatan tulisan tangan yang diposting lewat Twitter.

"Apapun kesimpulannya, biarkan semua orang tahu bahwa pertarungan sudah dimulai," sambung Nampa.

Pita yang mantan eksekutif aplikasi transportasi online Grab dan jebolan Amerika Serikat, didukung oleh aliansi delapan partai yang menguasai 312 kursi dalam majelis rendah pada parlemen Thailand.

Dia diperkirakan maju tanpa lawan pada pemilihan perdana menteri Kamis tetapi masih membutuhkan 64 suara lagi, baik dari partai-partai yang berlawanan dalam majelis rendah maupun dari anggota Senat yang ditunjuk junta. Ini menjadi tantangan yang lebih sulit lagi bagi dia.

Pita dan partainya juga menghadapi pukulan dari politisi Partai Demokrat Chaichana Dechdecho yang mengatakan kepada Reuters bahwa ke-25 anggota parlemen dari partainya tidak akan mendukung Pita dalam pemilihan perdana menteri Kamis nanti, karena partai pimpinan Pita itu berusaha mengamandemen Pasal 112.

Senator Jetn Sirathranon menyebut rekomendasi dari komisi pemilihan umum Thailand agar Pita didiskualifikasi, bakal melemahkan dukungan untuk politisi berusia 42 tahun itu.

"Seorang perdana menteri Thailand harus bermartabat dan tidak ternoda," kata dia kepada Reuters.

Baca juga: Komisi pemilihan Thailand akan selidiki calon PM Pita
Baca juga: Calon PM Thailand janji loloskan UU pernikahan sesama jenis
Baca juga: Partai Move Forward Thailand percaya diri dapat bentuk pemerintahan

Penerjemah: Jafar M Sidik
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2023