.... dunia politik Thailand kembali di ambang terjerumus krisis, setelah politisi muda Pita Limjaroenrat terancam tidak bisa menjadi perdana menteri.
Jakarta (ANTARA) - Thailand kerap disebut negara yang paling sering mengalami kudeta.

Menurut Profesor Paul Chambers dari Universitas Chiang Mai, sekitar 30 kudeta, baik  yang berhasil maupun yang tidak, pernah melanda Thailand sejak 1912.

Kudeta terakhir terjadi pada 22 Mei 2014 ketika Jenderal Prayut Chan-o-cha memimpin militer menggusur Niwatthamrong Boonsongpaisan dari kekuasaannya.

Boonsongpaisan adalah perdana menteri sementara setelah Yingluck Shinawatra dipaksa mundur akibat krisis politik berkepanjangan.

Militer Thailand menyangkal bahwa peristiwa 22 Mei 2014 itu sebagai kudeta, tapi faktanya saat itu memang ada suksesi kekuasaan yang dilakukan secara paksa tanpa mekanisme yang demokratis.

Sembilan tahun sejak kudeta terakhir itu, dunia politik Thailand kembali di ambang terjerumus krisis, setelah politisi muda Pita Limjaroenrat terancam tidak bisa menjadi perdana menteri.

Dalam logika politik normal, Pita semestinya mulus menjadi perdana menteri berikutnya Thailand karena partai yang dia pimpin, Move Forward, memenangi pemilu 14 Mei 2023.

Tidak saja menyisihkan partai-partai pemerintah, Move Forward juga secara mengejutkan mengalahkan partai oposisi utama, Pheu Thai, dengan selisih 10 kursi.

Namun kemudian, kedua partai oposisi itu sepakat berkoalisi dengan sejumlah partai kecil lainnya untuk membentuk pemerintahan baru.

Baca juga: Digugat di MK, Pita Limjaroenrat terancam tidak bisa jadi PM Thailand

Mengingat Move Forward yang memenangi pemilu 14 Mei,  Pita yang memimpin partai itu otomatis menjadi orang yang berhak memimpin calon pemerintahan baru Thailand.

Namun, ketentuan politik Thailand mengharuskan Pita mendapatkan dukungan dari mayoritas anggota parlemen yang terdiri dari dua kamar; majelis rendah yang memiliki 500 kursi dan mejelis tinggi atau Senat yang memiliki 250 kursi.

Move Forward dan Pheu Thai, serta enam partai oposisi lainnya yang berkoalisi, total memiliki 312 kursi. Ini artinya, koalisi Move Forward membutuhkan paling sedikit 64 suara lagi agar bisa membentuk pemerintahan.

Suara sebanyak itu harus didapatkan dari partai-partai pro pemerintah, dan juga Senat yang hampir seluruhnya pilihan militer. Kenyataan ini sudah merepotkan Pita dan koalisi Move Forward.

Itu semakin repot setelah muncul manuver hukum dari sejumlah kalangan yang memasalahkan legalitas Pita sebagai peserta pemilu 14 Mei.


Menjegal Pita

Pihak pertama yang menggugat Pita adalah justru komisi pemilihan umum Thailand sendiri, yang meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan status Pita sebagai anggota parlemen pemenang pemilu 14 Mei .

Pita dinilai tidak memenuhi syarat mencalonkan diri pada pemilu 14 Mei karena memiliki saham perusahaan media yang di Thailand adalah pelanggaran terhadap hukum pemilu.

Pihak kedua yang menggugat Pita adalah seorang pengacara yang menilai rencana Pita dan Move Forward dalam mengamandemen undang-undang yang melarang warga negara menghina raja, sebagai langkah menggulingkan rezim pemerintahan demokratis di mana raja menjadi kepala negaranya.

Tetapi memang, Move Forward mendapatkan dukungan luas dari rakyat, karena menjanjikan agenda-agenda progresif seperti mengubah hukum yang terlalu melindungi monarki. Janji ini memikat sebagian besar rakyat. Sebaliknya, janji ini mengancam kelompok kemapanan, khususnya monarki, militer, dan kroni-kroni mereka.

Gugatan kedua mungkin bisa dimentahkan oleh Pita, tapi rekomendasi komisi pemilihan umum menjadi ancaman paling nyata bagi dia dan Move Forward.

Rekomendasi komisi pemilihan umum agar Pita didiskualifikasi, dianggap bakal melemahkan dukungan untuk politisi berusia 42 tahun itu karena, mengutip pernyataan Senator Jetn Sirathranon kepada Reuters belum lama ini, "Perdana menteri Thailand harus bermartabat dan tidak ternoda."

Baca juga: Calon PM Thailand janji loloskan UU pernikahan sesama jenis

Bagi pendukung Pita dan Move Forward, manuver-manuver politik berbungkus hukum semacam itu lebih merupakan upaya menjegal mereka, apalagi Move Forward membawa agenda-agenda yang mengusik kelompok kemapanan.

Tentu saja para pendukung Pita, Move Forward, dan koalisi mereka tidak akan diam. Faktanya, mereka sudah berikrar untuk turun ke jalan melancarkan unjuk rasa.

Apa yang bakal terjadi saat ini seolah mengulangi krisis-krisis politik di Thailand sebelumnya, terutama dalam masa 28 tahun terakhir ini ketika kaum populis berhasil memikat perhatian bagian terbesar rakyat Thailand, sejak Thaksin Shinawatra yang bukan royalis memenangi pemilu 2005.

Namun, sejak tahun itu pula, krisis politik yang kadang merenggut nyawa yang tidak sedikit itu, senantiasa mendekorasi panggung politik Thailand.

Sebut saja krisis politik 2005–2006 yang akhirnya mendorong militer mengkudeta Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang kemudian mengasingkan diri ke luar negeri.

Dua tahun kemudian pada 2008, krisis politik kembali meruncing ketika Perdana Menteri Samak Sundaravej yang masih berasal dari akar yang sama dengan Thaksin Shinawatra, berseteru dengan Aliansi Rakyat untuk Demokrasi yang promonarki dan militer.

Setahun kemudian pada 2009 dan 2010, pecah lagi krisis yang kali ini menimpa pemerintahan dukungan monarki dan militer, Abhisit Vejjajiva.

Pada 2013–2014, giliran pemerintahan Yingluck Shinawatra diamuk krisis, akibat gerakan protes yang dilancarkan kelompok promonarki dan militer. Yingluck mundur untuk memberi jalan kepada Niwatthamrong Boonsongpaisan menjadi perdana menteri caretaker yang akhirnya tumbang oleh campur tangan militer pimpinan Prayut Chan-o-cha.

Prayut sendiri tak lepas dari krisis, terutama pada 2020–2021, yang akibat lebih jauhnya adalah mendepopularasi partai-partai pemerintah, sampai kemudian Move Forward memenangi pemilu 14 Mei 2023.

Bayang-bayang krisis

Masih menjadi pertanyaan apakah Move Forward bakal selamat dari bayang-bayang krisis saat ini. Namun demikian, Pita yakin bakal didukung luas oleh parlemen untuk menjadi perdana menteri baru Thailand.

Kamis, 13 Juli, dia mesti membuktikan keyakinannya itu, terutama apakah agenda reformasi hukumnya menyangkut hak monarki, bisa memuluskan jalannya di parlemen.

Inti perubahan yang ditawarkan Move Forward adalah amandemen Pasal 112 yang membuat siapa pun yang mengkritik atau menghina raja bakal dijebloskan ke dalam penjara selama maksimum 15 tahun.

Baca juga: Menlu Thailand temui Aung San Suu Kyi

Di luar gedung parlemen, prakarsa progresif Move Forward itu memang didukung luas oleh rakyat. Tetapi tidak di dalam parlemen, khususnya Senat.

Kekhawatiran anggota-anggota Senat dan wakil rakyat dari partai-partai pro pemerintah, tidak semata tertuju kepada reformasi hukum yang melindungi hak monarki itu.

Mereka juga mengkhawatirkan janji Move Forward yang akan memangkas anggaran pertahanan, desentralisasi kekuasaan, dan menghentikan praktik monopoli oleh segelintir orang sehingga perekonomian Thailand didistribusikan merata ke segala lapisan masyarakat.

Prakarsa yang reformatif ini meresahkan militer dan kelompok kemapanan yang tengah mengendalikan kanal-kanal ekonomi Thailand. Wajar jika ada anggapan Pita dan Move Forward hendak dijegal.

Namun, jika akhirnya Pita gagal,  pemilihan perdana menteri baru Thailand bakal dikocok ulang.

Di sini, mitra koalisi mereka dari Pheu Thai akan mengambil inisiatif, baik tetap dalam kerangka koalisi pimpinan Move Forward, maupun berkoalisi dengan kelompok-kelompok lain, termasuk partai-partai konservatif yang berseberangan dengan Move Forward.

Jika ini terjadi, krisis politik di Thailand menjadi tak terhindarkan karena pendukung Move Forward, yang berasal dari semua kalangan masyarakat, bisa turun melawan.

Kalau sudah begini, Thailand bisa kembali masuk jurang krisis politik.

Dan walaupun krisis itu akhirnya diredakan, akar krisis mungkin akan sulit dimatikan, sehingga siklus krisis menjadi kian sulit dipangkas, bahkan sewaktu-waktu dapat meletup kembali.

Semoga saja Thailand bisa melalui semua dinamika ini dengan proses dan mekanisme yang demokratis.

Copyright © ANTARA 2023