Liverpool (ANTARA) - Tak terbayangkan sebelumnya bagi Mykola Lyubomyr akan merasakan pengalaman yang begitu intim dengan rumah masa kecil para pahlawan musiknya yaitu The Beatles. Bagi dia, sosok John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr adalah jagoan bermusik yang mendapatkan tempat istimewa di hati sejak sang ayah memperdengarkan album "With The Beatles" ketika Mykola berusia 3 tahun.

Dari album “With The Beatles” itulah, Mykola cilik mulai mempelajari kunci gitar lagu versi cover “Devil in Her Heart” dan “Till There Was You”, serta gemar mengentakkan kaki mengikuti dansa “Roll Over Beethoven”.

Selepas tamat mendengarkan album tersebut pada usia 7 tahun, Mykola makin gemar mendengarkan karya-karya The Fab Four. Dia lantas melumat habis lagu-lagu dari album “Please Please Me” hingga “Let It Be” lewat koleksi cakram padat milik sang ayah hingga milidetik ini.

Dan siang ini di tepian jalan Kota Liverpool yang sederhana, Mykola tengah mewujudkan salah satu impian yaitu menapaki jejak demi jejak para personel The Beatles lewat sebuah perjalanan istimewa menembus masa bersama “Mesin Waktu Misteri Magis”.

Usai menjejakkan kaki di Penny Lane, Mykola dan puluhan orang di dalam “Mesin Waktu Misteri Magis” bersiap untuk melanjutkan petualangan ke rumah masa kecil pemetik gitar flamboyan George Harrison di kawasan Arnold Grove, Wavertree.

Begitu melompat dari dalam kapsul waktu, Mykola segera berlari kecil untuk menyusuri gang-gang sempit yang dipenuhi berbagai mobil minibus yang terparkir secara berantakan. Ujung jalanan yang dia susuri rupanya memiliki dinding pembatas alias buntu.
Para peserta "Magical Mystery Tour Bus" mengabadikan momentum dengan berfoto di depan rumah masa kecil pemain gitar The Beatles, George Harrison. (ANTARA/Ahmad Faishal)
Dia mencermati fasad bangunan tingkat bersambung dengan susunan batu bata merah di hadapannya. Terdapat sebuah pintu berwarna putih berjendela kecil dengan angka 12 pada bagian atas, lengkap dengan jendela ventilasi. Di sebelah pintu putih tersebut, terdapat sebuah jendela dengan tingkap empat yang tertutup kerai putih bersih. Di atas jendela tersebut, terdapat sebuah jendela lain model dua tingkap yang berukuran lebih kecil. Itulah rumah kelahiran si bungsu George Harrison dari empat bersaudara keluarga pasangan Harold dan Louise.

“George tumbuh di rumah ini hingga usia 7 tahun. Hanya ada dua kamar di bawah dan di atas yang berukuran sangat kecil. George bercerita bahwa dia pernah membayangkan tahun-tahun awal kehidupannya yang sarat dengan aroma peperangan di kawasan ini,” ungkap Gene dengan suara tertahan seolah ‘peperangan’ adalah kata yang sangat tabu untuk terucapkan.

Gene, Mykola, dan rombongan “Mesin Waktu Misteri Magis” hanya menghabiskan waktu tak lebih dari 5 menit di lingkungan Arnold Grove karena rintik hujan mulai turun. Maka, rombongan para petualang waktu itu pun segera bertolak menuju kapsul istimewa mereka yang masih menderu di tepian jalanan.

Personel kelima

Baru saja Mykola melangkah masuk ke kapsul waktu dan mengambil posisi duduk dengan nyaman, sebuah lagu berkumandang memenuhi seisi kabin dengan iringan kalimat pembuka dari Gene.

Mykola memperhatikan bahwa suasana di dalam kabin mulai terasa lebih hangat karena orang-orang yang sebelumnya tidak saling mengenal, kini asyik berbincang satu sama lain sembari menggerakkan bentuk bibir yang sama ketika melantunkan larik demi larik lagu.

Begitu pula dengan Mykola yang sangat hapal dengan dua lagu yang diputar tersebut, utamanya “Eight Days A Week”.

Ain't got nothin' but love babe,
Eight days a week.
Love you ev'ry day girl,
Always on my mind.
One thing I can say girl


“Kita akan melewati sebuah rumah. Coba alihkan pandangan kalian ke rumah berwarna putih di sebelah kiri. Itu adalah rumah Brian Epstein yang tinggal bersama ayah, ibu, dan adiknya Clive. Dia tinggal di sana hingga berusia 21 tahun, “ potong Gene di sela-sela lagu.

Brian Epstein lahir dari keluarga terpandang pasangan Harry dan Malka Epstein yang memiliki bisnis furnitur di Liverpool. Belakangan, bisnis keluarga itu melesat hingga mampu mengakuisisi sebuah toko rekaman musik bernama North End Road Music Store yang populer dengan akronim NEMS. Pada usia ke-21 tahun, Brian didapuk menjadi manajer toko rekaman musik tersebut yang telah melebarkan sayap usaha hingga ke kawasan Whitechapel 12-14, Liverpool.

Pada sebuah Sabtu siang tanggal 28 Oktober 1961, seorang pemuda berjaket kulit dan bercelana jins membuka pintu toko Whitechapel lalu melangkah masuk. Dengan penuh percaya diri, pemuda berusia 18 tahun bernama Raymond Jones itu menghampiri meja gerai tempat Brian Epstein bekerja.

Baca juga: Petualangan Mykola dan Mesin Waktu Misteri Magis (bagian kesatu)

Baca juga: Menyelisik koleksi musik lintas zaman di kota pelabuhan Inggris
Permakaman St. Peter yang memiliki sebuah batu nisan bertuliskan nama Eleanor Rigby, salah satu judul lagu The Beatles dari album "Revolver". (ANTARA/Ahmad Faishal)
Kemudian terjadilah obrolan singkat:

Raymond: “Hei, saya lagi cari sebuah rekaman, nih. Judulnya ‘My Bonnie’, rekaman produksi Jerman. Kamu punya, nggak?”
Brian: “Rekaman dari siapa, tuh?”
Raymond: “Kamu pasti belum tahu band ini. Namanya The Beatles!”

Maka dua pekan berselang, Brian ngotot mencari tahu dengan menyaksikan langsung penampilan The Beatles di Cavern Club yang ada di Mathew Street, tak seberapa jauh dari Whitecapel. Pada awal tahun berikutnya, Brian resmi menjadi manajer The Beatles dan memberikan pengaruh kuat dalam gaya berpakaian, serta aksi panggung band.

Di sebuah laman website, Mykola mendapatkan sebuah kutipan dari Paul McCartney yang menyatakan bahwa jika ada personel kelima The Beatles, maka sosok itu adalah Brian Epstein. Dia tetap dianggap menjadi kunci kesuksesan The Beatles hingga akhirnya ajal menjemput pada 27 Agustus 1967. Brian wafat akibat penggunaan obat-obatan dan alkohol secara berlebihan.

Mykola mengunci layar ponsel kemudian kembali melepaskan pandangan ke deret rumah mewah Rodney Street di sisi kirinya dengan jarak antar rumah sekitar 5 meter. Sementara itu, latar lagu “Eight Days A Week” masih berdendang di dalam kabin mesin waktu.

Pertemuan bersejarah

Lagu beralih ke “Drive My Car” ketika kapsul waktu melewati Hope University. Semua orang di dalam kabin masih asyik berbincang sembari sesekali bernyanyi, saat Gene kembali berbicara mengenai lokasi petualangan selanjutnya.

“Seperti yang bisa kalian lihat dan rasakan, kita bergerak semakin menjauh dari pusat kota. Sekarang kita akan menuju kawasan permukiman Woolton. Di sana ada gereja St. Peter yang sangat penting tempat John bertemu dengan Paul pada 6 Juli 1957,” terang Gene.

Berbekal penjelasan Gene, Mykola membayangkan momentum pertemuan perdana antara John Lennon dan Paul McCartney di aula gereja St. Peter yang bisa saja gagal terjadi tanpa peran sesosok bernama Ivan Vaughan.

Pada masa itu, Ivan adalah teman dekat Paul di Liverpool Institute, sekaligus kawan akrab John. Suatu hari, Ivan mengajak Paul untuk datang ke gereja St. Peter pada hari Sabtu untuk menyaksikan penampilan band Quarrymen bentukan John Lennon.

Mengetahui hal itu, Paul lantas agak tertarik. Rasa ketertarikan berubah menjadi jatuh hati kala dia mendengarkan permainan Quarrymen pada penampilan pertama mereka Sabtu siang. Ketika band Quarrymen tampil, Paul langsung merasa terkesima dengan sosok John yang tengah menyanyikan lagu “Come Go with Me" milik The Del-Vikings dengan improvisasi lirik lagu yang tergolong cerdik.

Bersama Ivan, Paul yang baru menginjak usia 15 tahun sekitar dua pekan sebelumnya, memutuskan untuk kembali menonton penampilan band pada malam hari. Dia lantas menyempatkan diri untuk pulang, mengenakan jaket putih bermotif keperakan serta celana panjang hitam, kemudian melarikan sepeda sembari membawa gitar kesayangannya menuju gereja St.Peter.
Papan pengumuman yang terdapat pada bagian dalam taman dekat pagar ikonik Strawberry Field, Liverpool. (ANTARA/Ahmad Faishal)

Sesampai di St.Peter beratap warna merah dan berjendela oval, Paul bertemu langsung dengan anggota band Quarrymen, termasuk John Lennon di sebuah ruangan kecil. Dia berbincang-bincang selama beberapa menit bersama John yang tengah bersiap dengan perangkat gitarnya.

Secara berani dan bisa saja bermaksud unjuk kebolehan, Paul sempat mengajari John cara untuk mengatur setelan senar gitar secara cepat dan akurat, serta memainkan lagu medley “Twenty Flight Rock” milik Eddie Cochran dan “Be-Bop-A-Lula”-nya Gene Vincent secara impromptu.

Malam itu, Paul menyaksikan penampilan band hingga selesai. Beberapa pekan kemudian, dia bertemu dengan pemain washboard Quarrymen yaitu Pete Shotto yang mendapatkan mandat untuk beroleh kepastian mengenai keikutsertaan Paul di dalam band, kata Gene menceritakan.

“Kita sudah memasuki bagian kawasan permukiman Woolton dan berputar sejenak dekat jalanan gereja. Di bagian kiri, kalian bisa melihat gereja tempat kali pertama John bertemu dengan Paul. Sekarang saya akan memutarkan sesuatu untuk kalian yaitu sebuah rekaman yang berasal dari 66 tahun lalu. Sebentar, di mana, ya? Ah, ini dia!” kata Gene sambil tersenyum.

Sebuah rekaman amatir segera mengudara: diawali gemeresik tak karu-karuan diiringi dengung di sana sini, menyusul kemudian suara seseorang berteriak-teriak seperti sedang menyenandungkan sebuah lagu, hingga rekaman itu berakhir pada durasi 22 detik.

Gene menjelaskan bahwa rekaman tadi berisi suara John Lennon yang bernyanyi di gereja St. Peter. Rekaman itu dilakukan pada penampilan band sore hari, sesaat setelah John Lennon bertemu dengan Paul McCartney.

Baca juga: El Rumi meriahkan panggung penutup G-Pluck di Beatleweek Festival

Baca juga: G-Pluck siapkan penampilan istimewa di festival budaya tahunan Belanda
Para peserta "Magical Mystery Tour Bus" mengabadikan momentum dengan berfoto di pagar ikonik Strawberry Field, Liverpool. (ANTARA/Ahmad Faishal)


Kenangan Strawberry Field

Let me take you down
'Cause I'm going to strawberry fields
Nothing is real
And nothing to get hung about
Strawberry fields forever


Lagu bertajuk “Strawbery Fields Forever" mengudara dan mengundang karaoke massal seluruh penghuni kabin kapsul waktu. Mykola tidak ikut bernyanyi. Dia tengah asyik memperhatikan jalur perjalanan mesin waktu yang semakin melambat ketika hendak mendarat di dekat sebuah taman berpagar merah.

Pagar merah itu adalah simbol abadi bagi taman Strawberry Field -- meski yang ada saat ini merupakan pagar replika. Dan taman itu sangat identik dengan masa kecil John Lennon yang tinggal hanya beberapa blok dari Strawberry Field.

Saat masih remaja, John yang menumpang tinggal di rumah Paman George dan Bibi Mimi, kerap memanjat pagar rumah, berlari, dan mengayun dari satu pohon ke pohon lain menuju taman. Di Strawberry Field, dia sangat gemar bermain dengan anak-anak dan relawan gereja dari Salvation Army.

“John selalu berlari ke taman bila ada perayaan ulang tahun atau keramaian di Strawberry Field. Itu artinya akan banyak teman bermain dan kue di taman. Sekarang di kawasan taman terdapat proyek seni ‘Step to Work’ yang berusaha untuk melatih anak-anak muda agar memiliki kemampuan bekerja,” papar Gene.

Usai memberi paparan panjang, Gene lantas mengajak Mykola dan semua penghuni kabin untuk turun dari mesin waktu dan mendaratkan kaki ke Strawberry Field.

“Hati-hati ya, karena area pagar dengan jalanan sangat dekat. Satu hal lagi, tolong jangan masuk ke area taman, karena akan sulit bagiku untuk mencari salah satu dari kalian apabila ada yang tertinggal,” pesan Gene sebelum keluar dari kapsul waktu.
Pagar ikonik Strawberry Field, Liverpool. (ANTARA/Ahmad Faishal)

Melangkahkan kaki keluar, Mykola lantas mencermati wilayah di sekelilingnya. Dia melihat sebuah tembok panjang berbatu bata cokelat kusam di sebelah kanan yang lebih tinggi sekitar dua jengkal dari kepalanya.

Beberapa meter di hadapannya, sejumlah orang tengah asyik mengabadikan momentum di depan pagar merah berlatarkan rerumputan di bagian dalam taman. Sebuah tulisan berhuruf kapital “Strawberry Field” berwarna putih berlatar merah terpampang jelas di salah satu bagian fasad tembok taman.

Mykola dikagetkan dengan sebuah sentuhan halus di pundaknya. Rupanya itu Gene yang meminta ponsel berkamera milik Mykola dan menawarkan kebaikan untuk memotret si remaja di dekat tulisan Strawberry Field.

Menguarkan senyuman, Mykola lantas menyodorkan ponsel kamera kepada Gene, setengah berlari ke tembok taman, dan bergaya dengan mengacungkan dua jari tengah dan telunjuk secara bersamaan ke dekat bagian pelipis wajah.

Bibi Mimi nan baik hati

“Mesin Waktu Misteri Magis” kembali melesat, namun tak terlalu jauh. Hanya beberapa detik dari Strawberry Field, mesin kuning raksasa itu mendarat di kawasan Mendips, tepatnya di muka sebuah rumah dengan pagar berwarna hitam dan putih dengan dinding bernuansa biru.

Pada era ’30-an, rumah tersebut didiami oleh pasangan George Smith dan Mimi yang tak lain adalah paman dan bibi John Lennon. George dan Mimi tidak memiliki anak, sehingga John yang tinggal di rumah tersebut sejak berusia 5 tahun, sudah dianggap anak kandung mereka sendiri.

Banyak harmoni lagu yang tercipta di rumah tersebut. Bibi Mimi sangat mengagumi John, meski sebetulnya dia kurang setuju dengan cita-cita sang keponakan menjadi musisi. Dia menginginkan John menjadi pengacara, dokter gigi, atau profesi bergengsi lain.

Imajinasi Mykola kembali mengembara ke bagian dapur rumah di Mendips, kala Bibi Mimi merapikan perangkat makan jelang petang hari. Mengacu sumber-sumber suara dari kamar atas, dia tahu bahwa John tengah asyik memainkan gitar dan melafalkan sejumlah lirik dengan asal-asalan.

Baca juga: G-Pluck sukses tebar pesona dan hangatkan malam Tong Tong Fair 2023

Baca juga: G-Pluck sambangi dua legenda musik Indorock di Belanda
Rumah tinggal George dan Mimi Smith yang tak lain adalah paman dan bibi dari John Lennon di Mendips. (ANTARA/Ahmad Faishal)

Tak berapa lama, terdengar ketukan halus dan sopan di pintu depan rumah. Bibi Mimi mencuci kedua tangan, melepaskan celemek, merapikan rambut, kemudian melangkah ke muka rumah. Saat membuka pintu, ia menemukan sesosok remaja bertubuh agak gemuk dengan wajah manis tanpa dosa.

“Selamat malam Bibi Mimi yang baik hati. Apakah John ada di rumah? Bolehkah aku bermain dengannya?” tanya remaja dengan pipi memerah itu.

Bibi Mimi mengangguk tersenyum, kemudian menolehkan kepalanya ke belakang seraya berteriak, “John, ada teman kecil kamu, nih!”

Beberapa jam kemudian, kebisingan suara gitar bercampur teriakan anak-anak remaja tanggung bersilang sengkarut di kamar atas. Hal demikian terjadi selama beberapa waktu di rumah Mendips.

“Bibi Mimi memutuskan pindah dari Mendips karena terlalu banyak pencinta The Beatles yang menyerbu ke dalam dapur rumah, memanjat pagar, bahkan hingga tidur di halaman,” imbuh Gene.

Mimi mangkat pada tahun 1991, sedangkan George menyusul empat tahun kemudian. George adalah sosok ayah ideal yang mengajarkan John cilik kemampuan membaca dan menulis. Begitu pula dengan Mimi yang mencurahkan seluruh kasih sayang keibuan kepada John.

Sebuah lagu lalu terdengar di dalam kabin kapsul waktu.

There are places I remember
All my life though some have changed
Some forever, not for better
Some have gone and some remain

All these places have their moments
With lovers and friends I still can recall
Some are dead and some are living
In my life I've loved them all


Mykola memperhatikan beberapa orang di belakangnya menggerakkan jemari secara berbarengan, seolah mereka tengah memainkan sebuah tuts piano tak kasat mata pada bagian solo piano lagu “In My Life” tersebut.

Usai lagu “In My Life”, giliran lagu “Julia” berkumandang secara amat sopan dan memberikan nuansa relaksasi yang menyenangkan bagi Mykola.
 
Pelancong memperhatikan rumah peninggalan George dan Mimi Smith yang tak lain adalah paman dan bibi John Lennon di kawasan Mendips. (ANTARA/Ahmad Faishal)


Kesedihan McCartney

“Baiklah. Pemberhentian selanjutnya akan menjadi titik terakhir kita turun untuk mengendurkan kaki. Kita akan segera bertandang ke rumah masa kecil keluarga Paul McCartney sebelum keluarga tersebut pergi meninggalkan Liverpool,” kata Gene.

Mykola melompat penuh semangat dari pintu mesin waktu dan menjejakkan kaki di aspal bebatuan kecil kawasan Forthlin Road. Setelah berbelok ke kanan, dia mendapati sederet rumah asri setinggi dua tingkat di sisi kanan dengan dinding berbatu bata cokelat muda, cerobong dapur yang menyeruak pada beratap segi tiga, serta rimbunan pohon setinggi satu meter sebagai pagar hidup.

Beberapa orang sudah berkumpul di dekat pagar hidup seraya mendengarkan kisah yang diutarakan oleh Gene. Dia berkata bahwa dahulu keluarga besar McCartney mesti berpindah-pindah rumah karena ibu Paul yaitu Mary Patricia Mohin bekerja sebagai seorang perawat sekaligus bidan yang mesti mengikuti aturan penempatan kerja.

Baca juga: G-Pluck gagas pertemuan "The Beatles" dan Indorock di Tong Tong Fair

Baca juga: G-Pluck gencar promosikan batik kala tampil di Tong Tong Fair 2023
Gene tengah mengisahkan perjalanan hidup Paul McCartney dan keluarganya yang tinggal di Forthlin Road 20. (ANTARA/Ahmad Faishal)

“Mary sangat menyukai rumah sederhana di Forthlin Road 20 dan menilai rumah itulah yang terbaik dari yang pernah mereka tempati. Sayang, dia tidak bisa merasakan kehangatan lebih lama bersama keluarganya di rumah tersebut. Mary berpulang akibat kanker payudara pada Oktober 1956 ketika sang anak Paul berusia 14 tahun dan Mike berusia 12 tahun,” terang Gene.

Gene bercerita bahwa Paul dan Mike menangis berhari-hari sejak mangkatnya sang ibu. Berbulan-bulan kemudian, mereka masih berharap bahwa Tuhan mengubah rencanaNya dan mengembalikan Mary ke dunia.

Perlahan, Paul mulai menjalani kehidupan dengan batin yang tergores luka kesedihan dan menumpahkan hal itu bersama teman-teman yang dia undang ke ruang tamu rumahnya. Paul, John Lennon, dan belakangan bergabung pula George Harrison, bahu-membahu menuangkan setiap helai ide kreatif mereka dalam menuliskan lirik serta mengaransemen musik.

Maka, anthem klasik semacam “She Loves You”, “I Saw Her Standing There”, dan “Love Me Do” adalah buah kolaborasi mereka dari ruang tamu yang hangat di Forthlin Road 20.

“Faktanya,” buka Gene ketika Mykola dan rombongan sudah kembali duduk di dalam kabin mesin waktu, “Banyak sekali lagu hit The Beatles yang ditulis di Forthlin Road dan Mendips. Aku akan memutarkan salah satu lagu yang diciptakan di rumah tadi. Aku harap kalian semua bernyanyi bersama!”

Well, she looked at me, and I, I could see
That before too long, I'd fall in love with her
She wouldn't dance with another (Woah)
When I saw her standing there


Semua orang di dalam kabin bertepuk tangan kecil mengikuti cabikan melodi gitar George Harrison di lagu “I Saw Her Standing There”. Seolah tak ingin kehangatan suasana memudar, Gene langsung menyambar dua lagu berikutnya yaitu “Hey Bulldog” dan “All You Need Is Love”.

Dia lantas berujar keras, “Semuanya berteriak bersama!”

Love, love, love
Love, love, love
Love, love, love

(Love) Nothing you can make that can't be made
(Love) No one you can save that can't be saved
(Love) Nothing you can do, but you can learn how to be you in time
It's easy

All you need is love
All you need is love
All you need is love, love
Love is all you need


Mykola yang turut melepaskan suara lapis ketiga pada nada G mayor masih merasa berapi-api selama beberapa menit selanjutnya, kala deret lagu yang dimainkan Gene di dalam kabin bergeser ke lagu dengan tipikal melankolis bertajuk “And I Love Her” dan “You Won’t See Me”.

Akhir petualangan

Berbekal raut wajah sendu, Gene menjelaskan dengan perlahan kepada semua orang bahwa petualangan menembus sekat ruang dan waktu pada hari itu akan segera menuju garis akhir. Selama beberapa detik, terdengar gumaman kekecewaan yang dibuat-buat berbalut senyuman dari para penghuni kapsul waktu.

Meski turut kecewa, namun Mykola juga berbesar hati dengan berjuta kesenangan yang membuncah di dalam dada. Dia masih menyimak beberapa penjelasan pamungkas dari Gene yang menyebutkan lokasi Art College tempat John Lennon menimba ilmu seni lantas bertemu istri pertama yaitu Cynthia Powell, serta lokasi Liverpool Institute yang merupakan sekolah Paul McCartney.
Pemandu tur wisata "Magical Mystery Tour Bus" Gene tengah berpose usai menjalankan tugasnya. (ANTARA/Ahmad Faishal)


“Sebelum mengakhiri petualangan kali ini, aku ingin bertanya apakah semua orang di sini merasa senang?” tanya Gene.
Yeahhh, tentu!” jawab seluruh penghuni kabin “Mesin Waktu Misteri Magis”.

Maka, lagu romantis berbalut gitar akustik sederhana berjudul “I Will” dengan latar suara Paul McCartney pun membahana dan membuat suasana di dalam kabin semakin menghangat. Jentik jemari Mykola saling memagut dan dia bersiul riang pada setiap bagian chorus lagu tersebut.

Di sebelah kanan, Mykola lalu melihat papan besar bertuliskan University of Liverpool yang memantulkan sinar mentari senja dari arah kiri. Sambil tetap menikmati bait demi bait lagu, Mykola berjanji di dalam hati bahwa dia akan membawa dan membagikan perasaan bahagia itu kepada kedua orang tua tersayang sesampai di hotel nanti.

Lalu ketika lagu "Love Me Do" mengalun menuju akhir perjalanan, Mykola tengah berpikir bahwa kota pelabuhan itu sesungguhnya masih menyimpan berjuta cerita dan kenangan mengenai masa lalu keempat sekawan The Beatles yang dia idolakan. Dia pun berharap suatu hari nanti akan kembali ke Liverpool dan menikmati setiap jengkal sudut kota, kemudian pulang untuk menebarkan sejuta pesan perdamaian ke orang-orang di Kharkiv.
Pengemudi bus tur wisata "Magical Mystery Tour Bus" Allan tengah berpose dari balik kemudi usai menjalankan tugasnya. (ANTARA/Ahmad Faishal)

“Mesin Waktu Misteri Magis” mendesis dan membenamkan roda-roda besarnya di tepian Lord Street. Usai melontarkan ribuan kata terima kasih kepada Gene dan Allan, Mykola berjalan perlahan menjauhi keramaian.

Tiba-tiba saja kedua bola matanya melihat sebuah papan penunjuk jalan bertuliskan Mathew Street. Di bawah papan tersebut, tertempel sebuah poster berwarna putih berukuran setengah meter dengan tulisan kapital warna hitam:

Mathew Street 10, Cavern Club. Tempat The Beatles memulai karier brilian mereka sebelum menjelma menjadi super grup dunia.

Mykola Lyubomyr berdehem, menaikkan ritsleting jaket olahraga kesayangannya, lantas mulai menyusuri tepian jalanan menuju Mathew Street 10.

*Catatan: Sosok Mykola Lyubomyr dan keluarganya adalah karakter rekaan. Sedangkan pemandu tur Gene dan pengemudi Allan bekerja untuk paket wisata “Magical Mystery Tour Bus” di Liverpool, Inggris Raya. Tulisan dibuat berdasarkan pengalaman penulis kala mengikuti tur tersebut pada Sabtu, 26 Agustus 2023.

Baca juga: Kisah manis dua pendekar gitar terakhir Indorock di Negeri Belanda

Baca juga: Susuri Reeperbahn, G-Pluck manggung di klub awal karier The Beatles

Baca juga: Tebar misi budaya, G-Pluck meriahkan "Pasar Senggol" di Jerman

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2023