Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyebutkan bahwa Tim Pendamping Keluarga (TPK) berperan mengubah tiga pola pikir masyarakat untuk mewujudkan keluarga sehat.

"TPK pada prinsipnya memiliki tiga tantangan, pertama mengubah pola pikir keluarga dan tetangga-tetangga dalam hal lingkungan yang bersih dan sehat, jamban yang baik," kata Hasto dalam kelas TPK Hebat yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.

Ia berharap, TPK handal, berempati, dan bersahabat (Hebat) yang terdiri dari bidan, tim pendamping PKK, dan para kader bisa memiliki pengetahuan yang praktis tentang membiasakan diri dan tetangga sekitar untuk hidup sehat.

"Pengetahuan praktis itu diperlukan agar TPK bisa memberikan sentilan kepada tetangganya, bisa kredit motor tapi jambannya belum bagus, airnya belum dibangun, dapurnya belum dipasang keramik, anaknya stunting tetapi,  bapaknya merokok sampai Rp600 ribu per bulan," ucapnya.

Baca juga: Kepala BKKBN sebut perubahan perilaku kunci turunkan stunting

Baca juga: Kepala BKKBN minta penganggaran stunting daerah berdaya ungkit tinggi


Perubahan pola pikir yang kedua yakni masalah nutrisi, bagaimana agar keluarga bisa mengkonsumsi makanan yang sehat tetapi murah dan mudah didapatkan di lingkungan sekitar.

"Kalau nutrisi itu harapan saya jangan boros-boros, tidak harus ikan tuna, salmon, daging sapi yang mahal, telur dan lele sudah cukup. Lele sudah mengandung minyak ikan, DHA, dan omega 3 yang cukup untuk ibu hamil dan balita," katanya.

Ia juga menekankan pentingnya TPK mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memanfaatkan produk pangan lokal.

"Kalau daging sapi mahal Rp100 ribu per kg, tetapi lele harganya hanya Rp18 ribu per kg, pilih saja lele. Kalau bisa menanam dan buat sendiri, mengapa harus beli, lebih disosialisasikan agar pangan lokal kita berdaya, sehat, dan proporsional," tuturnya.

Terkait nutrisi, ia juga menekankan pentingnya pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif minimal selama enam bulan.

"Kemudian, pola pikir yang ketiga yakni kesehatan reproduksi. TPK perlu menyosialisasikan untuk tidak kawin pada usia dini (kurang dari 20 tahun) dan usia tua. Perempuan kalau hamil di atas umur 35 tahun itu sudah tua dan berisiko tinggi," paparnya.

"Selain itu, jangan terlalu sering hamil, jaraknya minimal tiga tahun, dan jangan terlalu banyak, supaya anak lebih sehat, dan jangan lupa prinsip dua anak lebih sehat," imbuhnya.

Ia juga mengutarakan pentingnya TPK mendapatkan pelajaran tentang pre-konsepsi sebelum pernikahan, ilmu tentang kehamilan, dan pentingnya 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

"Keterampilan TPK Hebat ini harus betul-betul terbentuk, dan bagi saya kalau tiga hal tadi bisa ditanamkan itu sudah bisa luar biasa," ucap dia.

Ia juga berpesan agar para pelatih atau mentor dapat memberikan kurikulum yang praktis dan sederhana kepada para TPK, dengan capaian ekspektasi yang jelas dan keterampilan seperti apa yang diharapkan, sehingga tingkat kompetensi TPK bisa dihitung secara tepat.

"Saya berharap pelatihan ini tidak hanya menghasilkan TPK Hebat, tetapi harus ada standar kompetensi yang dibentuk, dan bisa dipakai untuk uji kompetensi juga, itu perlu menjadi standar dalam pembinaan TPK dari waktu ke waktu," ujarnya.

Menurutnya, pembinaan TPK sangat penting mengingat mereka-lah yang memaknai program pembangunan keluarga, khususnya dalam hal percepatan penurunan stunting.

"Jika TPK semakin solid, maka akan lebih memaknai semua kegiatan dalam percepatan penurunan stunting, karena keberadaan TPK itu memegang peran sentral dalam melihat, mengamati, dan mengawal penanganan yang diberikan kepada keluarga," demikian Hasto Wardoyo.*

Baca juga: Hasto: Stunting harus dihadang dari hulu

Baca juga: Hasto sebut cegah stunting dimulai dari 1.000 hari pertama kehidupan

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023