Denpasar (ANTARA) - Guru Besar Universitas Udayana yang menjabat sebagai Ketua Tim Kajian Penarikan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana Prof. Ni Luh Putu Wiagustini mengaku tidak mengetahui dasar hukum penarikan uang pangkal.

Hal tersebut diungkapkan Prof. Wiagustini dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar, Jumat, yang hadir sebagai saksi tiga terdakwa Dr. Nyoman Putra Sastra (berkas perkara terpisah) serta I Ketut Budiartawan dan I Made Yusnantara.

Di hadapan Hakim Ketua Putu Ayu Sudariasih serta hakim anggota Gede Putra Astawa dan Nelson, Prof. Wiagustini yang saat itu menjabat sebagai Wakil Dekan II Bidang Keuangan dan Biro Umum pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unud pada tahun 2018—2019 mengaku mengetahui pengenaan SPI di Unud hanya berdasarkan benchmarking dengan universitas lain.

Padahal, ketentuan mengenai sumbangan pengembangan institusi termuat dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah RI Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2012.

Di muka persidangan, Prof. Wiagustini bersaksi bahwa dia ditetapkan sebagai Ketua Tim Kajian Penarikan SPI dengan melakukan benchmarking studi analisis melalui website terhadap penarikan SPI pada tiga universitas, yakni Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, dan Universitas Andalas.

Tiga universitas itu dijadikan rujukan karena memiliki grade di atas Universitas Udayana.

Baca juga: JPU: Mobil Alphard hasil deposito SPI Unud dipakai keluarga rektor
Baca juga: JPU sebut dana SPI Unud Rp335 miliar diendapkan di beberapa bank


Ketika dicecar oleh jaksa Nengah Astawa terkait dengan dasar penerapan SPI, Prof. Widiagustini mengaku tidak mengetahui secara pasti regulasi yang mendasari penarikan SPI itu, baik di Unud maupun di tiga universitas yang menjadi rujukan itu.

"Hanya lihat tarifnya saja, tidak melihat dari sisi regulasi. Tidak ingat pungutan SPI itu peraturan rektor atau SK rektor," kata dia.

Jaksa pun balik bertanya kepada saksi Wiagustini.

"Ketika saudara melakukan benchmarking hanya melalui nominal dan tidak melihat filosofinya, kenapa di Universitas Udayana menetapkan Rp32 juta untuk Level 1, tahu enggak?" kata JPU.

"Enggak tahu," kata Wiagustini.

Widiagustini mengatakan bahwa keputusan untuk menggunakan website saja tanpa melakukan studi banding di tiga universitas rujukan SPI itu merupakan hasil keputusan bersama dengan Wakil Dekan II, Wakil Rektor II, dan Rektor yang saat itu dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K).

Selanjutnya kajian yang tertuang dalam naskah akademik dari hasil benchmarking itu lalu diberikan kepada Kepala Biro Perencanaan Keuangan pada tahun 2018. Tim kajian tersebut pun tidak lagi dilibatkan dalam penentuan tarif dan tingkatan SPI karena itu ranah para pimpinan di Universitas Udayana.

"Setelah menyetor naskah akademik, kami tidak pernah dilibatkan lagi untuk penyusunan lanjutannya. Itu kewenangan pimpinan," kata dia menjawab pertanyaan jaksa terkait dengan keterlibatannya dalam penentuan besaran tarif SPI di Universitas Udayana.

Pewarta: Rolandus Nampu
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2023