Kami anak baru, semuanya diteriaki, dicaci, dan banyak sekali umpatan. Memang benar-benar gila pada waktu itu, mungkin rasanya seperti mau diculik.
Jakarta (ANTARA) - Kamis siang di kawasan Kalibata Utara Pancoran, Jakarta Selatan. Tiga kendaraan roda empat terparkir di bagian halaman terbuka fasad sederhana. Beberapa pekerja proyek terlihat keluar masuk gedung tersebut dengan membawa sejumlah perkakas dan alat-alat berat, menandakan bahwa ada satu atau dua pekerjaan terkait konstruksi bangunan yang belum rampung alias masih dalam proses penyelesaian.

Bangunan kantor yang tengah berbenah tersebut adalah milik Massive Music Entertainment (MME): sebuah perusahaan penerbitan lagu yang digagas oleh gitaris dan komposer band Samsons, Irfan Aulia, yang didukung oleh rekan band-nya. Sejak tahun 2006, Irfan mendirikan MME dan mengembangkannya menjadi professional publisher pada tahun 2013. Dalam menjalankan bisnis, MME mengeksploitasi, memproteksi, dan mengelola hak cipta lagu.

MME menaungi sejumlah divisi yaitu Licensing dan Marketing; Membership, Documentation and Distribution (MDD), HR, Finance, dan Legal. Pada divisi Membership perusahaan tersebut, seorang Franki Indrasmoro atau sosok yang akrab disapa Pepeng, kini tengah berkiprah.

Nama Pepeng berkibar ketika dia memperkuat formasi band jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yaitu NAIF selama 24 tahun. Selain menjadi penggebuk drum di band tersebut, Pepeng sempat membentuk dua unit musik yaitu RAKSASA yang beraliran rock alternatif dan The Time Travellers bernuansa indorock. Selain piawai menciptakan lagu dan menabuh drum, Pepeng juga dikenal andal mengguratkan karya dalam bentuk komik. Dia sempat membuat proyek komik dengan tajuk “Setan Jalanan”.
Pepeng bermain drum bersama band NAIF tahun 2014. ANTARA/HO/Istimewa

Dalam sebuah kesempatan pada awal tahun 2024, Pepeng menyempatkan diri untuk bercakap-cakap dengan ANTARA mengenai berbagai hal: kehidupan masa kecil, berpindah sekolah dasar atas ajakan kepala sekolah, terpaksa berpacaran karena mendapatkan intimidasi, berlabuh di IKJ karena melewatkan momentum mengikuti ujian masuk Institut Teknologi Bandung (ITB), hingga menikmati popularitas bersama band NAIF.

Berikut petikan bagian pertama wawancara khusus dengan Franki “Pepeng” Indrasmoro:

Kita awali percakapan kali ini dengan cek fakta singkat. Nama lengkap: Franki Indrasmoro Sumbodo. Lahir di Kudus, 15 Januari 1976. Sumbodo itu nama keluarga?

Bukan. Nggak ada nama keluarga, Sumbodo itu hanya sebuah nama. Menurut cerita Ibu, orang yang memberi nama Indrasmoro Sumbodo adalah Bapak. Indrasmoro itu indera asmara, sedangkan Sumbodo semacam karismatik. Nama Franki dari Ibu karena beliau senang film-film Hollywood, jadi ingin punya nama anak yang agak-agak bule. Tetapi pemilihannya kenapa Franki, ya? Jadul (tersenyum).

Berapa bersaudara?

Nah, ini harus agak detail. Jadi, Ibu dan Bapak menjalani pernikahan kedua. Sebelum sama Bapak, Ibu saya sudah menikah dan punya lima anak, sedangkan dengan Bapak saya, Ibu mempunyai lima anak lagi. Menurut saya, lima orang yang sebelumnya bukan saudara tiri ya, karena satu kandungan, hanya beda bapak. Jadi, kalau ditanya berapa bersaudara, saya bisa bilang 10 bersaudara.

Saya anak bungsu. Kakak tertua mungkin sekarang sudah masuk usia 60-an tahun. Lima saudara pertama: perempuan, laki-laki, perempuan, perempuan, dan laki-laki. Empat saudara selanjutnya perempuan, saya terakhir. Setelah bercerai dengan Ibu, Bapak menikah lagi dan punya dua orang anak: perempuan dan laki-laki.

Usia berapa ke Jakarta?

Usia 3 tahun sudah di Jakarta bersama semua saudara kandung. Bapak dinas berpindah-pindah karena dia bekerja di Bea Cukai. Rata-rata saudara saya lahir di Magelang, hanya saya yang di Kudus. Jadi, Bapak waktu itu memang sedang menumpang lewat saja di kota itu, namun sempat-sempatnya punya anak (tertawa).
Franki Indrasmoro Sumbodo atau akrab disapa Pepeng saat berada di kantor MME, Jakarta Selatan. ANTARA/Ahmad Faishal

Masih ingat nama-nama dan lokasi sekolah sejak TK hingga SMA?

Masih. Saya bersekolah di TK Ratih daerah Rawasari, Jakarta Pusat. Lalu saya lanjut ke sekolah di sebelahnya yaitu SD Cempaka Putih Barat 07 Pagi. Gedung sekolah masih ada sampai sekarang. Di situ saya bersekolah sampai kelas tiga. Setelah itu, saya pindah sekolah yang lokasinya lebih dekat dengan rumah di Komplek BRI Percetakan Negara. Nama sekolahnya SD Rawasari 07 Pagi.

Kenapa pindah? Berkelahi?

Bukan. Saya anak teladan, kok. Saking teladan, ketika kepala sekolah saya pindah ke sekolah baru, maka saya juga diajak serta dan saya mengiyakan ajakan tersebut.

Loh, apa hubungannya? Alasannya?

Nggak ngerti, deh (tersenyum). Kalau diingat-ingat konyol juga, sih. Pada akhirnya, kepala sekolah lama saya juga membawa serta beberapa guru ke sekolah penempatan yang baru. Saya nggak ingat bagaimana prosesnya karena masih kecil. Seingat saya, kelas 4 saya sudah ada di sekolah baru. Sempat terpikir: “Ngapain saya ada di sini, ya?”

Memang seberapa teladan saat dulu SD?

Saya selalu menjadi ketua kelas dan mendapatkan peringkat teratas -- pernah satu kali menjadi peringkat kedua. Pelajaran favorit dan saya sangat kuat pada masa itu adalah Ilmu Pengetahuan Sosial. Matematika lumayan lah walau tidak terlalu suka, namun entah kenapa nilainya selalu bagus.

Ketika SMP mulai mencari jati diri?

Betul, kenakalan ala bocah laki-laki seperti mencoba merokok. Pada usia itu, saya belum nakal ikut berkelahi atau tawuran. Saya bersekolah di SMP 216 Salemba yang terhitung sekolah bagus. Di situ, saya mulai kembali merasa menemukan kenyamanan: teman- teman cewek cakep-cakep dan mereka diantar ke sekolah dengan mobil (terkekeh).

Saya kali pertama naksir cewek juga saat SMP -- oh, nggak, saat SD pun saya sudah naksir cewek yang nama panggilannya Ima. Dia cakep sekali, anak Betawi. Lalu saat kelas dua SMP, saya naksir perempuan berinisial “S” yang duduk bersebelahan di kelas.
Pepeng saat berlibur bersama teman-teman sekolahnya di Anyer tahun 1991. ANTARA/HO/Istimewa)l

Di SMP masih jadi siswa teladan?

Nggak, peringkatnya sudah mulai menurun dan keluar dari 10 besar akibat pergaulan (tertawa). Saya terlalu sering bermain dan mulai malas mengerjakan PR. Pakai seragam pun mulai ikut-ikutan nggak dimasukkan ke celana. Meski begitu, saya nggak pernah diskors, hanya pernah dihukum berdiri di depan kelas. Hal itu standar karena nggak mengerjakan PR.

Walau tidak pernah ikut tawuran, saya pernah terlibat perkelahian. Saya menjadi korban pemukulan yang kemudian menyebabkan perseteruan. Awalnya saya dikompas (dipalak), kemudian teman-teman saya mengejar sang pengompas dan saya jadi ikutan berkelahi. Saya tidak pernah berkelahi dengan cara berkelompok melawan sekolah lain. Saya tidak senekat itu.

Sejak kapan menyadari punya bakat seni?

Sudah dari TK. Pada dasarnya semua kakak saya bisa menggambar, namun hanya saya yang menekuni secara serius. Bapak mengajari saya menggambar, memfasilitasi dengan papan tulis putih, dan membelikan spidol. Dulu, kami sering berduet menggambar dan saya menirukan apa yang beliau gambar.

Saat SD, saya sudah mencoba membuat komik sebisanya anak usia saat itu, hanya untuk dibaca-baca oleh teman-teman. Ketika kelas 2 atau 3 SMP, mulai banyak teman yang minta dibuatkan gambar dan saya paling lemah untuk menolak permintaan perempuan (tertawa).

Apa komik yang Franki baca sewaktu kecil?

Saya baca Asterix dan yang paling menginspirasi adalah Tintin karena menggambarkan petualangan ke belahan dunia, sehingga saya belajar banyak hal dari situ. Pada era itu, favorit saya adalah ekspedisi Tintin ke bulan karena visioner sekali ketika belum ada manusia sesungguhnya yang pergi ke bulan. Di komik itu diceritakan bahwa Tintin adalah manusia pertama yang ke bulan. Komik Tintin lucu dan bagus-bagus gambarnya.

Kapan kali pertama bertualang dalam dunia musik?

Saya kali pertama ngeband kelas 3 SMP. Sebelumnya, saya punya band fiktif bernama Mekanika yang beranggotakan 3 orang teman. Dari namanya sudah ketahuan bahwa band itu sangat menggemari Metallica, pada waktu itu era “…And Justice for All”.

Uniknya, kami sudah terbayang ngeband dengan format empat pemusik, padahal nggak ada satu pun yang bisa bermain alat musik. Hanya berandai-andai. Saya tadinya mau jadi gitaris, namun posisi itu sudah terisi. Akhirnya saya ditunjuk menjadi drummer. Saya juga menggambar visual band tersebut.

Saat kelas 3 SMP, barulah orang-orang di dalam band itu punya kesempatan tampil pada acara perpisahan sekolah. Namanya sudah bukan Mekanika tetapi TRUCK. Pada acara itu selain bersama TRUCK, saya juga tergabung dengan band speed metal yang saya lupa namanya.
Pepeng cilik saat mulai bermain drum pada awal era '90-an. ANTARA/HO/Istimewa

Bersama band metal itu, saya tampil membawakan “Dr.Stein” Helloween. Sedihnya, band TRUCK malah tidak jadi main. Sepertinya karena acara itu molor dan ada satu bintang tamu yang harus main, maka TRUCK dicoret dan batal naik pentas. Sampai sekarang, personel band itu tidak pernah manggung (tertawa).

Saya masih ingat kali pertama masuk studio musik di daerah Cipinang Kebembem -- oh bukan, justru di studio Big Guns, mungkin di daerah Cempaka Putih. Studio itu tempat nongkrong anak-anak metal top pada masanya. Teman-teman satu band saya selalu starstruck kalau ketemu personel band tertentu, sedangkan saya malah tidak tahu (terbahak).

Saya ‘diceburkan’ untuk mengenal musik rock, metal, lokal, dan sebagainya dalam arti sebenarnya oleh teman-teman saya itu. Sedangkan di rumah, saya hanya sebatas menjadi pendengar musik.

Apa musik yang didengarkan saat di rumah pada masa itu?

Banyak, sangat bermacam-macam. Dari Indonesia seperti Chrisye, sedangkan dari luar, saya jatuh cinta pada The Beatles sejak SD karena pengaruh kakak. Saat itu, The Beatles masih “White Album”. Lalu, saya mulai suka Duran Duran, Rush, Genesis, dan Pink Floyd dari kakak kandung tertua yang mendengarkan banyak musik rock eksperimental.

Salah satu musisi kesukaan saya adalah Daryl Hall and John Oates yang di Indonesia kurang begitu terkenal. Saya tahu mereka dari calon kakak ipar saat saya masih SMP. Pada usia itu, saya sudah mulai mengonsumsi rock dan heavy metal. Lagu pertama yang saya mainkan dengan drum adalah “When The Smoke Is Going Down” milik Scorpions. Lagunya slow dan enak untuk dipelajari. Lalu setelah mulai agak mahir, saya beralih ke lagu “Never Say Goodbye”-nya Bon Jovi, kemudian “Seek and Destroy” milik Metallica, dan banyak lagi.

Kemudian naik tingkat ke SMA 68 Salemba yang menjadi favorit pada masanya. Seperti apa Franki Indrasmoro kala itu?

Saya saat SMA mulai berpacaran. Saat berada di kelas satu, saya pernah ‘ditembak’ seorang perempuan. Saya sampai ketakutan karena dia agresif sekali. Waktu itu salah seorang teman di kelas bilang, “Franki, si itu naksir kamu, tuh. Ciyee ciyee!” Saat itu saya masih dipanggil Franki karena baru pada akhir kelas satu SMA, saya mendapatkan nama panggilan Pepeng dari teman-teman perempuan di kelas.

Balik lagi ke perempuan agresif tadi. Saya benar-benar takut karena belum pernah berpacaran.

Balik lagi ke dunia musik. Saat SMA, tentu makin banyak kesempatan untuk tampil di atas panggung?

Betul. Saat kelas 1 SMA, sempat ada pentas seni di sekolah dan saya tampil bersama senior-senior yang sangat jago bermain musik. Saya mendapatkan tantangan baru karena harus bermain drum dengan twin pedal. Saat bermain twin pedal, saya ingat memainkan lagu-lagu Megadeth dan Metallica yang dirilis tahun ’90-an dengan penuh tekanan karena dilihat langsung oleh senior-senior. Mereka mencermati dan menghitung setiap entak kaki saya. Stres sekali berlatih dengan cara seperti itu.

Ketika saya dan teman-teman bermain metal yang super-cepat, banyak teman saya yang sudah beralih ke musik alternatif seperti Red Hot Chili Peppers (RHCP), Nirvana, Pearl Jam dan band ‘Seattle Sound’ lainnya. Musik semacam itu sangat akrab bagi pendengar kaum perempuan, sedangkan musik yang saya mainkan lebih banyak menghadirkan penonton laki-laki.
Pepeng berpose dengan salah seorang teman ketika acara perpisahan kelas 3 SMA di Puncak, Bogor, 1994. ANTARA/HO/Istimewa
Maka, ketika melihat band-band senior yang membawakan lagu “Give It Away” RHCP dengan penonton kaum hawa yang berlompatan, saya lantas berpikir, “Seharusnya saya berada di lingkaran musik seperti itu. Tetapi, kenapa saya ada di sini?” (tersenyum).

Pada masa itu, saya mulai mengenal beberapa teman yang bergaul di skena musik, ikut nonton banyak panggung musik -- termasuk jadi pemain gitar additional untuk band Arvana, mantan band teman saya bernama Nyoman yang kemudian tergabung dalam band Planetbumi. Saat itu, saya merasa seperti Pat Smear yang menjadi gitaris additional tetap di band Nirvana.

Saat awal ngeband dulu, panggung mana yang paling memiliki kesan?

Satu yang cukup berkesan ketika bermain sama Arvana di perpisahan SMA 68. Vibe saat itu benar-benar seperti manggung pada acara grunge. Semua berawal dari Nyoman yang kala itu menjadi vokalis. Ketika manggung, dia melakukan stage diving, melempar-lemparkan gitar, sedangkan saya sebagai second line tetap bermain gitar dan back-up bernyanyi. Penampilan kami terpaksa dihentikan oleh pihak keamanan karena dianggap memicu kerusuhan. Keren sekali waktu itu (terkekeh).

Pada era itu, saya dan Nyoman juga memiliki band lain bernama Deanaholics. Kami menjadikan James Dean (aktor asal Amerika) sebagai idola. Saat itulah cikal bakal lagu “Mobil Balap” NAIF lahir dari notasi, chord, dan sebagainya. Saya kelas 3 SMA saat itu dan lagu itu kami bawakan ketika berlatih saja karena memang Deanaholics tidak sempat manggung.
Pepeng bermain gitar bersama band Rumahsakit tahun 1995. ANTARA/HO/Istimewa

Kami sempat merekam demo lagu tersebut di studio dalam bentuk kaset. Sampai saat ini, saya terpikir untuk merekam ulang cikal bakal lagu “Mobil Balap” yang dulu berjudul “Near Death Experience (NDE)”. Liriknya berbahasa Inggris dengan tema menggambarkan momentum seseorang dalam keadaan koma dan hendak bertemu Tuhan. Konsep awal lagunya sangat kental karakter grunge, bam... bam... (mempraktikkan cara bermain gitar dan drum). Lalu vokalnya naaa... naan aa naa.. naaa (menyanyikan bagian verse lagu “Mobil Balap”).

Selain lagu “Mobil Balap”, lagu apa lagi yang embrionya tercipta saat masih SMA?

Ada satu lagu lagi, kalau saya tidak salah intro lagu “Penari Langit”. Dua lagu itu saja seingat saya. Sejak bersama Deanaholics itulah saya memulai proses kreatif membuat lagu.

Selepas SMA, apa yang membuat Franki memutuskan untuk melanjutkan kuliah di IKJ?

Saya terinspirasi dari teman satu band saat SMP bernama Ari Kurniawan yang kini menjadi seorang bankir. Awalnya, dia mau masuk ke Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) dan saya ikut-ikutan. Saat itu, saya berpikir layer kedua kalau tidak diterima ITB adalah IKJ.

Saya tidak diterima di ITB karena melewatkan masa gelombang penerimaan mahasiswa baru. Karena sudah tertutup kesempatan, akhirnya mau tidak mau saya memilih IKJ. Saya sempat ikut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan memilih Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada pilihan pertama dan tidak berhasil lulus.

Dari awal sudah merasa nyaman kuliah di IKJ?

Awalnya sempat gegar budaya atau culture shock, namun kemudian nyaman. Di situlah saya menemukan institusi ketika orang-orang sangat santai menggunakan kata-kata makian sebagai bahasa percakapan.

Saat masa orientasi, semua mahasiswa baru dikumpulkan di Teater Luwes. Begitu semua mahasiswa sudah berkumpul, kemudian pintu dan jendela ditutup. Senior-senior yang berambut gondrong masuk ke ruangan, berdiri di podium, lalu berteriak, “Penataran P4 dinyatakan sudah selesai dan sekarang kita masuk ospek. Booom! Booom!” (seraya memukuli meja). Wah, itu mengerikan sekali. Kami anak baru, semuanya diteriaki, dicaci, dan banyak sekali umpatan. Memang benar-benar gila pada waktu itu, mungkin rasanya seperti mau diculik.

Berapa lama menghabiskan masa akademis di IKJ?

Lumayan lama ya, D-3 doang tetapi 5 tahun. Parah, sih. Waktu saya banyak habis untuk nongkrong, pacaran, dan manggung. Saat itu, sudah era NAIF bermain di Poster Café Jakarta. Saya Angkatan ’94, sedangkan NAIF berdiri ’95. Tahun ’96, NAIF sudah mulai rutin manggung keluar kampus. Lalu tahun ’97 kami buat rekaman, dan tahun ’98 membuat album. Kuliah nggak jalan-jalan dan akhirnya saya baru lulus tahun ’99.

**Akhir bagian 1**

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024