Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia Dr. Rina Yulianti, S.H., M.H. memandang perlu hukum adat menjadi pertimbangan kurikulum pendidikan dan pelatihan calon hakim dan hakim Mahkamah Agung (MA).

"Jauh sebelum KUHP baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023), hakim sudah mempunyai kewajiban untuk melakukan judicial activism," kata Dr. Rina Yulianti, S.H., M.H. usai pertemuan pengurus APHA dengan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Sunarto di Gedung MA, Jakarta, Kamis.

Judicial activism yang diamanahkan oleh Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ini, kata Dr. Rina, dengan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Maka dari itu, kata pakar hukum adat dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) ini, paradigma pluralisme hukum menjadi bagian penting dari kemampuan hakim untuk membuat putusan yang berkeadilan dan berkualitas dalam konteks Indonesia.

Dijelaskan pula bahwa penerapan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman tidak lepas dari kebutuhan judicial activism hakim sebagai bentuk teknik yurisdiksi yang dihasilkan oleh kombinasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman profesional hakim (knowledge and experience) yang bersifat logis, rasional, dan ilmiah.

Pada kombinasi ilmu pengetahuan (knowledge) hakim, lanjut Rina, memerlukan peran APHA sebagai kumpulan akademikus untuk ikut serta mengembangkan kemampuan rasional ilmiah (intelektual). Di samping itu, juga kemampuan logis intelektual hakim di lingkungan MA.

Bahkan, kata dia, akademikus hukum adat bisa mendorong menstimulus aspek intuitif irasional hakim ketika menghadapi kasus berat menyangkut hukum adat.

"Banyak lesson learned dari pendampingan oleh akademikus pengajar hukum adat dalam menyelesaikan kasus-kasus masyarakat hukum adat," kata Rina.

Pada kesempatan itu, Rina menambahkan bahwa para akademikus dalam APHA adalah taman mini/miniatur Indonesia yang dapat memberikan kontribusi yang solutif kolaboratif melalui tridarma perguruan tinggi, kemampuan melakukan penelitian dan pengabdian sangat adaptif terhadap isu penting masyarakat hukum adat.

Menurut Rina, pentingnya pengembangan pembelajaran hukum adat di tingkat pendidikan tinggi yang selanjutnya dapat mengintegrasikan/mengolaborasikan dengan pembelajaran profesional hakim.

"Melalui pendekatan teaching legal skill pada mata kuliah hukum adat dapat diadopsi dan dikembangkan untuk metode pembelajaran pada Pusdiklat MA yang dikerjasamakan dengan APHA Indonesia," ujarnya.

Menguatkan paradigma pluralisme hukum ini, kata dia, agar ke depan hakim-hakim di Indonesia tidak hanya menghadapi hukum adat yang telah bertransformasi menjadi teks-teks yang mati dan kaku. Hal ini mengingat ada kewajiban untuk dituangkan dalam sebuah peraturan daerah, padahal sejatinya esensi corak hukum adat Indonesia adalah tidak tertulis (unwritten law) atau non statutair yang sangat dinamis.

Pembahasan pada diskusi antara MA dan APHA yang dipimpin oleh Wakil Ketua MA Dr. Sunarto, S.H., M.H. bersama Ketua Umum APHA Indonesia Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., antara lain, delik adat pasca-KUHP baru, eksistensi peradilan adat, dan pentingnya hukum adat sebagai materi dalam diklat para calon hakim dan hakim secara berkelanjutan.
Baca juga: APHA: Perlu ada aturan jelas penyelesaian kasus delik adat
Baca juga: APHA: Perlu bahas bersama MA terkait hukum adat pasca-KUHP baru
Baca juga: APHA temui Wantimpres minta dukungan pengesahan RUU Masyarakat Adat
Baca juga: APHA: Sahkan RUU Masyarakat Hukum Adat demi pelestarian lingkungan

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024