Pemulangan anak-anak WNI itu bermula dari temuan KDEI Taipei, KBRI Abu Dhabi, serta KJRI Dubai mengenai banyaknya anak pekerja migran Indonesia yang telantar di panti-panti asuhan
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait, pada 2023 telah memulangkan 169 anak telantar yang dilahirkan oleh pekerja migran Indonesia di Taiwan dan Uni Emirat Arab (UAE).

Pemulangan anak-anak WNI itu bermula dari temuan KDEI Taipei, KBRI Abu Dhabi, serta KJRI Dubai mengenai banyaknya anak pekerja migran Indonesia yang telantar di panti-panti asuhan.

“Dalam konteks perlindungan terhadap anak-anak Indonesia yang termasuk kelompok rentan, maka kami pulangkan anak-anak itu ke Indonesia kemudian kami bekerja sama dengan Kementerian Sosial untuk pengelolaan lebih lanjut,” kata Direktur Perlindungan WNI dan BHI Judha Nugraha dalam silaturahmi dan buka bersama wartawan di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Pekerja migran Indonesia yang disiksa di Oman telah dipulangkan

Judha mengungkapkan pada umumnya anak-anak tersebut lahir di luar ikatan pernikahan resmi dari pekerja migran yang menjalin hubungan dengan warga negara setempat.

“Kita pahami bahwa para pekerja migran ini berangkat (ke luar negeri) pada periode sexually-active, sementara mereka jauh dari suami atau istri. Jadi kami mencatat ada beberapa kasus yang menikah secara resmi atau siri, ada yang bahkan tidak menikah, tetapi kemudian melahirkan anak dan anaknya ditelantarkan,” kata dia.

Oleh karena itu, berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Kemlu membantu pemulangan anak-anak WNI tersebut.

“Menurut UU tersebut kalau salah satu orang tuanya adalah WNI maka anaknya berhak mendapat kewarganegaraan Indonesia, walaupun ayahnya adalah WNA,” tutur Judha.

Setelah sampai di Indonesia, Kemlu bekerja sama dengan Kemensos berupaya melacak keberadaan keluarga para ibu anak-anak tersebut dan mempertemukan mereka dengan keluarga ibunya.

“Ada yang sudah ketemu, sudah jelas (siapa keluarganya), itu yang kami prioritaskan,” kata Judha.

Di luar jumlah tersebut, Kemlu memperkirakan masih banyak anak-anak Indonesia yang tak terdokumentasi (undocumented) dan ditelantarkan di luar negeri.

Baca juga: KDEI Taipei koordinasi dengan Taiwan untuk memantau WNI pasca gempa


Pikir matang

Merespons kasus ini, Judha mengimbau para pekerja migran Indonesia untuk mematuhi hukum yang berlaku di negara penempatan, termasuk aturan soal anak.

“Tentu (memiliki anak) adalah hak setiap warga negara, tetapi perlu dipikirkan kesejahteraan si anak. Karena kan mereka bekerja di luar negeri lalu bagaimana dengan status si anak? Apakah anak itu akan memiliki izin tinggal atau malah tak terdokumentasi?” kata Judha.

Setiap orang tua, dia menegaskan, bertanggung jawab untuk memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak-anak yang mereka lahirkan.

“Jangan memaksakan diri. Boleh saja punya anak tetapi dipikirkan dahulu konsekuensinya,” kata dia.

Dari sisi pemerintah, Kemlu berkoordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan kementerian/lembaga lainnya terus berupaya mengelola pola migrasi yang aman bagi para pekerja migran Indonesia.

Hal ini sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 2017 yang mengatur perlindungan bagi pekerja migran Indonesia dan anggota keluarganya.

Namun, Judha pun memahami perlunya pekerja migran Indonesia patuh pada peraturan dan hukum negara penempatan.

Di Malaysia misalnya, ketentuan imigrasi Malaysia melarang pekerja migran membawa serta anggota keluarga mereka, termasuk tidak membolehkan pekerja migran menikah dan memiliki anak.

“Itulah kenapa WNI yang bekerja di Malaysia kemudian punya anak, anaknya tidak bisa mengakses sekolah formal yang ada di Malaysia, dan status anak itu pun akhirnya undocumented,” kata Judha.

“Seharusnya hal seperti ini kan dipahami (oleh para pekerja migran) sebelum mereka berangkat. Karena kalau dipaksakan nanti kasihan anaknya,” ujar dia, menambahkan.

Baca juga: Imigrasi: "Autogate" bisa digunakan WNI dan WNA dengan sejumlah syarat

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Sambas
Copyright © ANTARA 2024