Jakarta (ANTARA News) - Stereotipe kutu buku melekat pada profesi peneliti, dan hal itu ingin diubah oleh Wakil Direktur penelitian Lembaga Eijkman Prof. Herawati Sudoyo Md, Phd dengan menghadirkan kesan dinamis dan menarik di tempat kerjanya.

"Kalau ke tempat saya, orang komentar 'kok beda?'," ujar analis DNA forensik Lembaga Biologi Molekul Eijkman di L'Oreal Science Projects di Jakarta, Rabu.

Dia bercerita, orang-orang yang berkecimpung di bidang sains di kantornya jauh dari kesan "tidak gaul" dan "nerd" yang biasa melekat. "Seperti kantor biasa, banyak orang muda dan mereka juga berdandan," kata perempuan peneliti yang berhasil mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia.

Memperlihatkan sains itu menarik menjadi salah satu cara meningkatkan regenerasi perempuan peneliti di Indonesia, imbuh Hera.  Menurut ibu dari dua anak ini, urusan gender tidak mempengaruhi persaingannya di dunia peneliti karena yang penting adalah kepercayaan diri dari penguasaan bidang yang didalami.

Namun, dia menegaskan perempuan peneliti harus diberi kesempatan dan fasilitas agar bisa mengejar karir yang tersendat akibat hal yang tak bisa dihindari, seperti berkeluarga. "Misalnya sediakan daycare yang dekat dengan tempat kerja," ujar analis DNA forensik Lembaga Biologi Molekul Eijkman itu.

Dengan demikian, perempuan peneliti punya keleluasaan waktu yang sama untuk bekerja dibandingkan kaum Adam.

Herawati yang mendapat gelar doktor bidang Biokimia dari Universitas Monash, Melbourne mengakui tantangan perempuan peneliti yang telah berkeluarga adalah menjaga agar anak-anak tidak merasa ditinggalkan.

Dia mengenang masa sekolah di Australia di mana waktunya tersita untuk keluarga dan pekerjaan di laboratorium. "Bidang saya sangat kompetitif jadi saya diharuskan siap bekerja 24 jam sehari," kata pengajar Fakultas Biologi Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin dan Universitas Diponegoro.

Dalam sehari, dia bolak-balik dari rumah, sekolah anak dan laboratorium. Meski sibuk meneliti, dia tidak melepaskan tanggung jawab sebagai ibu. "Lima tahun saya tidak punya kehidupan sosial, hidup saya hanya di laboratorium dan anak," kenang juri L'Oreal-UNESCO For Women in Science itu.

Perjuangannya kala itu berbuah manis karena anak-anaknya tidak merasa terlantar akibat kesibukan sang ibu. Kedua anaknya juga bersemangat menempuh pendidikan meski tak ada yang mengikuti jejaknya sebagai peneliti.

"Anak-anak lihat ibunya bekerja, mereka jadi memotivasi juga karena mereka lihat mereka tidak jadi beban," ujar dia.

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016