Masa-masa mengangkat senjata bersama Fretilin merupakan masa penuh kegetiran, tekanan, sekaligus ketegangan bagi Fransisco Guterrres "Lu-Olo". Namun, setelah merdeka, keadaan itu berbalik 180 derajat. Menemui Lu-Olo (dibaca lu-olu) saat ini, berarti menghadapi birokrasi Partai Fretilin, partai mayoritas di Parlemen Timor Leste. Partai politik itulah yang sejak jauh-jauh hari mengusung Lu-Olo sebagai kandidat tunggal Presiden. Fretilin adalah kekuatan politik satu-satunya yang pada masa pemerintahan Indonesia tidak mau mengakui eksistensi Indonesia. Lo-Olo, lelaki kelahiran Ossu Distrik Viqueque, pada 7 September 1955, menjadi sosok besar di bawah panji Partai Fretilin. Ia semakin mendapat legitimasi, ketika penghitungan final nasional oleh CNE telah berkekuatan hukum dari Pengadilan Banding Timor Timur. Pada Pemilu Presiden putaran pertama, kandidat bernomor urut satu itu mendapat 27,89 persen suara, disusul pesaingnya Jose Ramos Horta, peraih Nobel Perdamaian itu. Horta yang bernomor urut enam, menempel ketat dengan meraih 21,81 persen, diikuti kandidat dari Partai Demokrat, Fernando "La Samma" de Araujo, 19,18 persen. Namun, dalam beberapa kali konferensi pers Partai Fretilin --yang biasanya digelar dalam empat bahasa di kantor pusatnya di Comorro, Dili --, Lu-Olo tidak pernah menampakkan diri. Konferensi pers "hanya" dihadiri Sekretaris Jenderal Partai Fretilin Mari Alkatiri dan Menteri Energi Timor Timur Jose Texeira, dan beberapa juru bicara dan petinggi partai. Berada di Kantor Pusat DPP Fretilin, seperti berada di satu hall of fame yang didedikasikan bagi Lu-Olo. Di mana mata memandang, terpampang poster wajah lelaki berkacamata berkumis tebal rapi itu. Poster-poster berukuran sangat besar itu, tinggi melebihi manusia dewasa dan dengan warna sangat mencolok, merah menyala. Di berbagai titiknya terdapat pula bendera kebanggaan Fretilin, yang corak dan filofosinya mirip bendera resmi Timor Timur. Di kantor mesin politik utama Timor Timur itu, pengunjung langsung disambut pendukung fanatik Lu-Olo dan Alkatiri. Mereka akan menyodorkan selebaran berisi profil kedua tokoh dan program kerja partai politik. Saat ini, kantor itu menjadi sangat terkenal karena eksistensi Alkatiri dan Lu-Olo. Orang Timor Leste --atau disebut pers Barat dan PBB, East Timor-- sangat menyukai sosok militan, tangguh, dan pemberani. Itu pula yang turut membuat Presiden Xanana Gusmao sangat populer, hingga masyarakat mendudukannya sebagai bapak bangsa. Totalitas, militansi, dan konsistensi Xanana sejak masa berjuang di hutan hingga di panggung politik, menyebabkan rakyat menjulukinya "pemersatu bangsa". Xanana menjadi perekat bangsa saat Timor Leste memasuki fase penting kehidupan demokrasi. Tentang ini, Lu-Olo berujar, "Xanana Gusmao selalu menjadi teman baikku. Saya sangat menghormati dia. (Tapi) dia tidak pernah tergabung dalam partai politik seperti saya." Lu-Olo tidak pernah punya keinginan untuk berkonflik dengan tokoh sentral Timor Timur ini. Tak berdansa "Satu hari seorang wanita muda mengajak saya berdansa. Saya menjawab bahwa kaki saya terlalu kaku dan perlu waktu lama untuk membuatnya luwes untuk berdansa... atau dia tidak akan berdansa dengan saya," kata Lu-Olo pada Wartawan televisi ABC Australia, dalam satu kesempatan wawancara pada awal 2007. Itu terjadi setelah dia turun gunung, selepas Timor Leste merdeka. Wanita muda itu meminta dia berdansa sebagai tanda perayaan keberhasilan Fretilin memperjuangkan kemerdekaannya, tapi ia tak bisa memenuhinya. Padahal, di Timor Timur banyak hal yang pantas dirayakan dengan berdansa dan makan-minum bersama. Setelah sekian lama berada di gunung, Lu-Olo mengaku tidak tahu banyak bagaimana memimpin sekelompok perempuan. Bagi anak pasangan Falix Cuterres dan Elda da Costa Guterres ini, hal itu adalah masalah serius. Pernah sekali waktu, Lu-Olo mengenang, perang telah berakhir dan tiba lah saatnya istirahat. Dia pun tidur di dalam rumah beralaskan kasur empuk dan pintu tertutup. Yang terjadi keesokan harinya, dia terkaget-kaget mendapati dirinya berada dalam kamar yang bagus, di atas kasur empuk dan harum. "Saya sungguh malu, tetapi untung tidak ada orang yang melihat wajah saya," katanya. Kepahitan dan kegetiran nyaris selalu menyertainya selama 24 tahun bergerilya, selepas menyelesaikan pendidikan menengahnya. Satu momen yang tidak akan dilupakan adalah saat dia menyaksikan pembukaan pekuburan di Desa (kini disebut "suku") Bikale. Kepada ABC, dia menyatakan, "Sebelum referendum, semua anak lelaki lari karena milisi akan membunuh mereka. Anak lelaki saya tidak tersangkut politik, dia belajar di Indonesia selama lima tahun." Sewaktu dia kembali, milisi menculik mereka dan tidak pernah ada kabar-beritanya sampai tiga bulan. "Hingga akhirnya saya tahu dia telah dibunuh," katanya. Tujuh anak lelaki dan tiga anak perempuan Lu-Olo semua mati dibunuh milisi. "Ini adalah kehilangan sangat besar bagi saya. Sangat besar," katanya. Dengan kegetiran dan kepahitan itu, membuat Lu-Olo memilih jalan untuk terus berjuang memerdekakan Timor Timur. Alhasil, dia pernah menjadi pesakitan di Jakarta sebagai tahanan politik. Lu-Olo kecil juga tidak banyak memiliki cerita gembira, karena dia bukan berasal dari keluarga kaya sebagaimana banyak tokoh politik Timor Timur saat ini. Perang dan perang menjadi sangat akrab dengan Lu-Olo, hingga setelah masa damai tiba, dia berujar, "Saya tidak lagi menginginkan perang. Saya capek dan benci itu. Bahkan melihat orang berseragam tentara saja, bisa membuat saya mulas. Fretilin kini menginginkan damai dan stabilitas, membangun kasih dan kemajuan." Lu-Olo boleh saja mencoba menghindar dari panggung politik, namun keadaan mengharuskan dia untuk terjun langsung ke panggung politik; sesuatu yang sebetulnya tidak benar-benar dia akrabi. Boleh dibilang, dia menjadi politisi secara learning by doing dengan tutor dari kalangan sejawat dia. Tentu saja, Alkatiri menjadi salah satu promotor yang baik baginya. Satu demi satu anak tangga politik diinjak dalam waktu tidak terlalu lama, hingga menjadi Presiden Parlemen Nasional dan Partai Fretilin. Sedikit surut ke belakang, pada 1987 dia tercatat menjadi Deputi Sekretaris Komisi Pengarah Fretilin dan menjadi Sekretaris Komisi Pengarah setelah seniornya, Konis Santana, meninggal pada 1997. Semua posisi itu bukan main-main, karena sebagai sayap militer, Falintil memainkan peran domestik dan internasional yang tidak sedikit. Sebelum meraih kemerdekaannya, Fretilin dipercaya orang sebagai salah satu faksi paling solid di Timor Timur. Putaran kedua Kini Lu-Olo akan melaju menuju putaran kedua Pemilu Presiden Timor Timur. Bersaing dengan Horta dan de Araujo, untuk menggantikan Xanana Gusmao. Xanana sendiri sejak lama telah mengetahui tidak akan menguntungkan bagi dirinya jika dia "hanya" menjadi presiden, posisi yang menurut Konstitusi Timor Timur, sebagai pengesah dan simbol negara belaka. Pilihan Xanana, menurut banyak analis politik, hanya dua. Pertama sebagai bapak bangsa yang bisa memberikan fatwa (yang belum tentu dipatuhi ekskutif atau komponen politik lain). Kedua, sebagai pucuk pimpinan ekskutif, yang bisa memainkan banyak sekali peran. Di sinilah sebetulnya akses kekuasaan berada, sekalipun seorang perdana menteri harus rela berbagi kekuasaan dengan parlemen. Jurnalis Barat pernah menyatakan bagi Xanana yang diperlukan saat ini adalah sederetan politisi tangguh yang seide dan berani mempertahankannya dari "serangan" pihak luar. Jika nanti dia terpilih menjadi perdana menteri menggantikan Horta, maka dia mutlak harus menguasai parlemen. Bukankah Lu-Olo menyatakan bahwa dia (dan banyak yang lain sebetulnya) telah capek dengan peperangan, kekacauan, dan lain sejenisnya? Mereka kini rindu kedamaian dan kemajuan. Sebentar lagi Xanana mendeklarasikan pendirian Partai CNRT. Kekuatan politik ini sebetulnya telah ada sejak dasawarsa `90-an, namun saat itu belum menjadi partai politik. Kini Xanana ingin memberi baju dan semangat baru. "Moderasi dan modernisasi politik menuju kemajuan", kira-kira itulah semangat yang diusung Xanana dan banyak tokoh politik. Kendali atas semua ini berasal dari rumah pribadinya, di kawasan Balibar, satu kawasan bukit yang jika pagi menjelang masih sering disaput kabut. Banyak juga kalangan yang menyatakan, pihak yang harus dihadapi Lu-Olo sebetulnya bukanlah Horta, melainkan Xanana. Karena publik di Timor Timur, sebagaimana halnya banyak terjadi di negara berkembang, masih mengandalkan sosok alias figur pemimpin dan kualitas kepemimpinan pribadinya. Dalam pembicaraan dengan berbagai kelas masyarakat di Dili, hal ini tersurat dan tersirat jelas. Mereka begitu mencintai presiden yang jauh dari basa-basi protokoler ini. Horta memang sangat akrab dengan Xanana dan sebagai pucuk pimpinan negara, keduanya memang nyaris tidak pernah berkonflik. Akan tetapi, di lapangan, kekuatan riil masih suka bergeser ke kelompok Fretilin, karena jaringan mereka sangat kuat dan warisan heroisme itu masih menjadi menu utama masyarakat setempat, walaupun bagi beberapa pihak, hal ini sudah tergantikan para realisme kehidupan. Kepemimpinan Lu-Olo di panggung politik masih perlu dibuktikan, jika nanti terpilih menjadi presiden. Lu-Olo harus tampil sebagai dirinya dalam menyelesaikan masalah negara. Saat berperang di hutan, pilihannya sangat jelas: membunuh atau dibunuh. Lawan atau kawan; sejelas dan sesederhana itu warna kehidupan Lu-Olo selama kurun waktu yang tidak sebentar. Sekali lagi, Lu-Olo berkomentar tentang masalah ini. Begitu turun gunung, dia harus mengubah sedemikian rupa cara memandang realita hidup. Itu semua, bagi dia, bukan hal mudah. Dia harus bersekutu secara politik dengan (bekas) musuhnya dan berekonsiliasi juga dengan bekas musuhnya. Seni politik seperti ini telah terlebih dahulu dilalui oleh Horta di panggung internasional di Eropa dan PBB serta Xanana, yang telah melalui tahap "tukar-menukar" kartu dengan Jakarta. Ada lagi satu kenyataan yang melekat pada Lu-Olo. Dia harus menemukan "patner sejati" karena isterinya, Cidalia Lopez Nobre Mouzinho Guterres yang dinikahi pada usia 23 tahun, tewas dalam aksi tembak-menembak di rumahnya, di Ossu. Peristiwa ini sangat melukainya dan sejak itu semakin tebal keyakinannya, harus merdeka. Rupanya, hal ini juga menjadi satu catatan tersendiri bagi pendukungnya. Seorang perempuan muda yang ditemui di depan kantor Partai Fretilin menyinggung, Lu-Olo harus menemukan seorang perempuan yang bersedia menikah dengan posisinya. Dalam hal ini, Xanana telah menemukan perempuan itu.(*)

Oleh Oleh Ade P Marboen
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007