Benar-benar harus kerja keras. Soalnya, walaupun keluar jam 5 pagi, sampai jam 5 sore belum tentu bisa dapat 20 orderan."
Jakarta (ANTARA News) - Mitra pengemudi Grab akhirnya memilih pindah ke Go-Jek karena merasa diperlakukan seperti kerja rodi akibat penetapan tarif rendah dan insentif buruk,  di tengah banjir promo ongkos murah. 

"Supaya bisa dapat penghasilan harian yang layak di Grab, harus lebih dari 20-an trip (perjalanan/order) sehari. Seperti kerja rodi saja," kata Irfan Fauzi (32), mantan mitra Grab yang pindah ke Go-Jek pada sekitar pertengahan November, di Jakarta, Selasa.

Pendapatan yang diterima, menurut Irfan, tak sebanding dengan usaha yang dilakukan mitra pengemudi di lapangan. Belum lagi aturan penarifan yang dianggap tidak transparan dan kerap berubah, termasuk soal skema insentif yang semakin sulit dicapai.

Penyedia layanan transportasi daring berbasis aplikasi asal Malaysia ini menetapkan skema insentif berubah menjadi sistem berlian. 

Adapun tarif Grab Bike per kilometer ditetapkan Rp1.200 untuk jarak dekat, dengan potongan 20 persen dari total ongkos perjalanan untuk keuntungan perusahaan. 

"Pencapaian bonus jadi semakin susah setelah Grab menerapkan skema berlian," ujar dia.

Pengemudi Grab Bike, lainnya, Taufik Muslihin (38), mengamini tentang kondisi tersebut. Jika ingin mendapatkan insentif minimum sebesar Rp15 ribu, setidaknya mereka harus menyelesaikan 14 perjalanan. 

"Soalnya, per trip dapat delapan berlian. Kalau jam sibuk bisa 13 berlian. Insentif paling kecil harus bisa dapat 110 berlian," kata Taufik.

Insentif paling besar, lanjut dia, senilai Rp200 ribu, harus ditebus dengan mengumpulkan 350 berlian. Untuk mendapatkan bonus tertinggi, setidaknya mitra pengemudi harus mampu menyelesaikan lebih dari 25 perjalanan. 

"Kami harus kerja dua kali lebih berat kalau mau dapat bonus bagus," ujarnya.

Menurut Taufik, akhirnya mitra pengemudi diarahkan mencari order Grab Food yang nilai insentifnya 30 berlian untuk setiap pesanan. 

Ironisnya, layanan Grab Food masih kalah pamor dibandingkan Go-Food milik Go-Jek. "Kalau lagi bagus, sehari orderan Grab Food paling banyak cuma dapat tiga," kata dia.

Hardiansyah (27), pengemudi Grab lainnya, juga merasakan betapa beratnya mengejar pendapatan yang mencukupi saat ini. 

Apalagi, tegasnya, pemasukan utamanya saat ini masih ditopang dari Grab Ride, yang tarif dan peluang insentifnya sangat rendah. 

"Benar-benar harus kerja keras. Soalnya, walaupun keluar jam 5 pagi, sampai jam 5 sore belum tentu bisa dapat 20 orderan," kata Hardiansyah.

Atas dasar itu, Hardiansyah bisa memaklumi jika rekan-rekannya sesama pengemudi Grab akhirnya memutuskan untuk pindah ke Go-Jek. 

"Kalau ada yang bisa kasih lebih bagus, kenapa enggak," ujarnya.

Pada pertengahan November lalu, ratusan pengemudi Grab memadati kantor rekrutmen Go-Jek di Jalan Kemang Timur, Jakarta Selatan. 

Mereka memutuskan mendaftar ke Go-Jek karena merasa kecewa dengan kebijakan penarifan dan respon manajemen Grab yang seakan tak peduli dengan keluhan mitra pengemudi di lapangan.

Baca juga: Migrasi pengemudi Grab diprediksi akan terus terjadi
Baca juga: Pengemudi nilai skema insentif Go-Jek lebih baik
Baca juga: Kemenhub tegur keras Grab

Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018