Mamuju (ANTARA) - Kabupaten Majene,  Sulawesi Barat, memiliki obyek wisata "Tracking Mangrove" atau jalan titian bakau Rewataa di Kecamatan Pamboang, kata Bupati Majene Fahmi Massiara di Majene, Senin.

Menurut Bupati,  obyek wisata tersebut sesuai dengan visi misi pemerintah setempat, yakni revolusi pariwisata, yang salah satu tujuannya meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pembukaan objek wisata.

Bupati mengusulkan, jika setiap kecamatan mendapat anggaran Rp1 miliar, dapat mengalokasikan sekitar Rp500 juta untuk pengembangan titian bakau tersebut.

"Atau dapat juga diusulkan melalui DAK Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Selain itu, pihak DLHK juga dituntut untuk bisa mengembangkan budi daya mangrove. Apabila lokasi tersebut sudah menjadi obyek wisata yang ramai dikunjungi, akan ada konsekuensi, seperti lahan parkir yang cukup luas, sementara yang tersedia saat ini masih terbatas," terang Fahmi.

Ke depan lanjutnya, Majene dapat menjadi destinasi wisata yang utama di Sulbar, mengingat potensi wisata bahari yang dimiliki daerah itu sangat indah.

Ia juga berharap, di setiap kecamatan ada satu titik yang menjadi objek wisata yang handal, baik wisata bahari, wisata alam maupun wisata budaya.

"Saya sangat bersyukur sebab bertambah lagi obyek wisata yg dibangun di Taduang (Rewataa) ini. Semoga dapat dipelihara dengan baik tanpa merusak alam yang sudah ada, yg paling utama adalah tetap menjaga kebersihannya. Jangan buang sampah di sembarang tempat, apalagi sampai membuang sampah ke laut," jelas Fahmi.

Sementara itu, Ketua Badan Kerja Sama AntarDesa Kabupaten Majene Abd Kadir mengatakan, pembangunan obyek wisata mangrove tersebut menghabiskan anggaran Rp600 juta.

"Titian objek wisata bakau Rewataa yang merupakan Program Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) 2018  secara resmi dibuka oleh Bupati Majene pada Sabtu (2/3)," ujar Abd Kadir.

Proyek tersebut dalam bentuk padat karya, dengan panjang 152 meter dan memiliki empat unit gazebo dan luas tanggul 38x12 meter serta memiliki satu pos jaga.

"Pengerjaan dilakukan selama tiga bulan, yakni 17 Juli hingga 17 Oktober 2018. Namun sempat molor enam bulan karena kurangnya material yang dibutuhkan. Bahan baku kata berasal dari Kalimantan dan menggunakan kayu ulin. "Selain itu, faktor cuaca karena hujan yang cukup intens membuat proses pengerjaan juga terhambat," kata Abd Kadir.

Pewarta: Amirullah
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019