Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim konstitusi meng"hujani" pemerintah dengan pertanyaan soal ideologi ekonomi yang dianut saat menyusun UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (PM). Dalam sidang uji materiil UU PM di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa, lima hakim konstitusi yang melontarkan pertanyaan kepada pemerintah yang diwakili Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, mempertanyakan tafsir pemerintah soal ekonomi kerakyatan yang diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945. Bahkan, dua hakim konstitusi, Maruarar Siahaan dan Harjono, jelas-jelas menilai UU PM tidak memberi perlindungan yang semestinya bagi kepentingan rakyat dan pemodal dalam negeri. "Bagaimana pemerintah menafsirkan pasal 33 UUD 1945 dalam mempertimbangkan pembahasan UU ini. Karena, tidak ada dalam UU ini yang melindungi kepentingan negara," kata Maruarar. Sedangkan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna bertanya kepada pemerintah apakah pemerintah merasa terbebani dengan pasal 33 UUD 1945 atau justru merasa pasal yang mengatur soal ekonomi kerakyatan itu sebagai berkah. Uji materiil terhadap enam pasal dalam UU PM diajukan oleh sejumlah LSM, antara lain Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM (PBHI), Walhi, serta 22 pemohon perorangan terdiri atas buruh, petani, dan pedagang tradisional yang diwakili oleh kuasa hukum mereka dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Para pemohon menilai pasal-pasal yang menjadi jantung dalam UU PM itu bertentangan dengan jiwa dan ruh pasal 33 UUD 1945 yang menerapkan ekonomi kerakyatan demi kemakmuran bangsa Indonesia. Di antaranya adalah pasal 22 ayat 1 yang sampai memberikan Hak Guna Usaha selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) selama 80 tahun, dan hak pakai selama 70 tahun kepada para pemodal, termasuk pemodal asing. Namun, dalam keterangannya, pemerintah mengatakan pemberian hak atas tanah itu diberikan dengan persyaratan tertentu dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila penggunaannya tidak sesuai ketentuan, merugikan kepentingan umum, serta tidak sesuai dengan peraturan pertanahan di Indonesia. Hakim konstitusi Maruarar Siahaan mempertanyakan pengawasan dari pihak pemerintah terhadap para pemodal yang diduga melakukan pelanggaran tersebut. "Saya kira sampai saat ini pengawasan itu yang tidak ada, sehingga banyak keluhan," ujarnya. Ia mencontohkan penguasaan lahan di sekitar pantai oleh sebuah hotel, sehingga nelayan sekitar pun tidak diijinkan untuk mendekati kawasan tersebut. Sementara itu, hakim konstitusi Harjono mempertanyakan penyamarataan pelayanan dan kemudahan yang diberikan oleh pemodal asing dan pemodal dalam negeri dalam UU PM. "Dalam UU ini sudan tidak ditemukan lagi pembedaan pemodal asing dan pemodal dalam negeri, sehingga disamakan," katanya. Untuk itu, ia mempertanyakan niat pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi pemodal dalam negeri. Pertanyaan itu, kata Harjono, timbul juga dari peraturan yang ambigu dalam UU PM untuk menyelesaikan sengketa dengan pemodal asing. UU PM mengatur bahwa setiap sengketa yang timbul dibawa penyelesaiannya ke arbitrase nasional. Jika pemerintah memposisikan diri sebagai regulator, lanjut dia, maka pemerintah tidak mungkin menyerahkan sengketa yang timbul dengan pihak pemodal kepada arbitrase nasional, karena dalam forum arbitrase pemerintah dan pemodal berada pada kedudukan setara. "Ini berarti menyerahkan kedaulatan kepada arbitrase. Ini berarti subordinasi kedaulatan, sehingga tidak dapat lindungi kepentingan nasional," tutur Harjono. Ia juga mempertanyakan ketentuan peralihan dalam UU PM yang menyatakan bahwa seluruh peraturan yang bertentangan dengan UU PM tidak berlaku sejak diundangkannya UU tersebut. padahal, lanjut Harjono, begitu banyak UU yang bertabrakan dengan UU PM, seperti UU Pokok Agraria yang tidak mengijinkan pengusaan lahan kepada pihak asing selama 95 tahun. "Apakah ini untuk menyembunyikan bahwa sebenarnya banyak UU yang bertentangan dengan UU Penanaman Modal ini?" tanyanya. Pengaturan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dalam UU PM dapat diatur dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) juga mendapat sorotan hakim konstitusi. Peraturan dalam bentuk Perpres, menurut hakim konstitusi Ahmad Roestandi, menyerahkan penilaian secara subyektif kepada Presiden. Padahal, lanjut dia, Presiden tidak lepas dari kepentingan individu dan juga kepentingan politik. Atas cecaran majelis hakim konstitusi, Mendag Mari Pangestu memilih untuk menjawab secara tertulis yang akan disampaikan pada sidang uji materiil berikutnya dua pekan mendatang. Sebelum menutup sidang, Ketua MK Jimly Asshiddiqie menegaskan majelis hakim konstitusi belum memiliki sikap dan pandangan terhadap permohonan uji materiil UU PM. Pertanyaan yang dilontarkan para hakim konstitusi, menurut dia, bukan merupakan cerminan pandangan MK terhadap perkara uji materiil tersebut. (*)

Copyright © ANTARA 2007