Riyadh (ANTARA News) - Konferensi Tingkat Tinggi III Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang ditutup Minggu sore waktu setempat membuka lembaran baru berupa tumbuhnya semangat untuk menggalang kerjasama, baik antar sesama produsen minyak anggota OPEC, non-OPEC maupun dengan negara-negara konsumen minyak. Dalam pertemuan puncak ketiga yang diselenggarakan di tengah tingginya harga minyak dunia saat ini hadir para pemimpin atau wakil-wakil dari ke 13 negara anggota OPEC, termasuk Wapres Yusuf Kalla yang mewakili Indonesia, sementara Presiden Ekuador Rafael Correa Delgado memimpin delegasi negaranya yang semula tidak aktif dalam keanggotaan OPEC. Kehadiran pemimpin negara atau tokoh-tokoh terkemuka seperti Presiden Iran Mahmud Ahmadi-Nejad, Presiden Irak Jalal Talabani atau Emir Kuwait Sheikh Sabah Al-Ahmad Al-Jaber Al-Sabah juga ikut menyemarakkan pertemuan akbar OPEC kali ini. Tekad untuk menggalang kerjasama dilontarkan oleh tuan rumah, Raja Abdullah bin Abdulaziz, dalam sambutannya pada acara pembukaan yang diselenggarakan di Istana Abdulaziz sehari sebelumnya. Raja Abdullah menyebutkan dua peran utama OPEC, yakni melindungi negara-negara anggotanya dan sekaligus membentengi perekonomian dunia dari kepanikan tiba-tiba menghadapi kenaikan harga minyak dan ancaman anjloknya pasokan minyak. Dalam kesempatan itu, ia juga menampik tudingan berulang-kali yang dilontarkan pihak-pihak tertentu terhadap OPEC yang dinilai sebagai organisasi monopoli dan bersifat "eksploitatif". Menurut dia, orang-orang tersebut telah mengingkari kenyataan, karena OPEC selalu bertindak berlandaskan kearifan dan bersikap moderat. Salah satu buktinya, OPEC telah memfasilitasi dialog dengan negara-negara konsumen minyak, dan hal itu menjadi alasan yang melatarbelakangi pembentukan Forum Energi Internasional (IEF). Dalam KTT ke-3 ini Arab Saudi juga mengumumkan sumbangan sebesar 300 juta dolar AS yang akan digunakan sebagai modal awal (inti) penyelenggaraan riset mengenai energi, lingkungan dan perubahan iklim. Raja Abdullah juga mengimbau agar negara produsen dan konsumen minyak lainnya ikut memberikan kontribusinya dalam program tersebut demi terjaganya lingkungan, sekaligus terpenuhinya permintaan terhadap minyak bumi yang terus meningkat. Warna kepentingan nasional juga mencuat dalam KTT III OPEC, misalnya dari pernyataan Menteri Perminyakan Nigeria, Odein Ajumogobia yang mengingatkan bahwa tingginya harga minyak akan menekan permintaan (minyak) yang akan mendorong kecenderungan terjadinya resesi dunia. Tingginya harga minyak, sambungnya, akan menghambat investasi pengembangan energi alternatif dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di negara-negara konsumen minyak akibat melonjaknya biaya perusahaan dan anjloknya pengeluaran konsumen (consumer spending). Nada ancaman malah dilontarkan oleh Presiden Venezuela, Hugo Chavez, yang mengingatkan AS, jika menyerang Iran, harga minyak bisa melambung sampai 200 dolar per barel. Untuk itu, ia mengingatkan agar AS tidak bertindak konyol. Chavez juga menyerukan perlunya upaya untuk menjamin agar harga minyak tetap stabil melalui pasokan ke pasar dalam jumlah yang cukup serta dengan menggalang kerjasama dengan negara-negara konsumen minyak. Berkah dan beban Sementara itu, Wapres Yusf Kalla dalam sambutannya mengemukakan pentingnya upaya untuk menjaga stabilitas harga minyak untuk menekan beban kenaikan harga minyak di negara-negara berkembang. Tingginya harga minyak akhir-akhir ini, ujar Wapres, menimbulkan perasaan "campur-aduk" bagi semua pihak, karena di satu sisi dianggap berkah bagi negara produsen, namun disisi lain berarti beban bagi negara-negara berkembang berpenduduk banyak yang tidak memiliki sumberdaya minyak bumi. Mengingat bahwa pasar energi di era globalisasi saat ini terintegrasi dan saling tergantung, Yusuf Kalla mengimbau agar negara-negara konsumen dan produsen "bahu-membahu" berupaya mendorong terciptanya stabilitas harga minyak. (*)

Copyright © ANTARA 2007