Tokyo (ANTARA News) - Dua orang lagi warga Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia (trafficking) di Jepang, dipulangkan ke tanah air setelah pengadilan setempat menggelar persidangan untuk kasus yang melibatkan sindikat asal Indonesia dan Jepang itu. Kedua korban siap dipulangkan ke Indonesia usai menjalani pemeriksaan terakhir prosedur pemulangan yang dilakukan pihak imigrasi Kedutaan Besar RI di Tokyo, Jepang, Selasa. Pemeriksaan, selain untuk memastikan kondisi kesehatan mereka, juga untuk mencocokkan kembali beberapa keterangan terkait modus operandi para pelaku perdagangan manusia tersebut. Wagner Turangan dan Marcy Sigalaki segera dideportasi pemerintah Jepang, setelah keduanya selesai mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Chiba. Kedua korban sempat menjalani hukuman percobaan karena memasuki Jepang tanpa dokumen resmi, dan pemerintah setempa melarang keduanya memasuki Jepang dalam empat tahun ke depan. "Para korban dalam satu atau dua minggu ini sudah akan dipulangkan," kata Atase Imigrasi KBRI Tokyo, Mirza Iskandar. Sebelumnya, Mirza Iskandar bersama dua stafnya mendatangi Biro Imigrasi Tokyo, Senin (7/1) lalu untuk memeriksa kembali keberadaan Wagner Turangan dan Marcy Sigalaki. Keduanya adalah warga Sulawesi Utara yang menjadi korban praktek human trafficking. Sebelumnya, satu lagi warga Indonesia yang juga menjadi korban, Susi Risanti, telah dipulangkan Imigrasi Tokyo, menyusul kondisinya kesehatan jiwanya yang mengalami guncangan. Susi Risanti dipulangkan pada 12 Desember 2007 dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia GA 881 dari Bandara Narita. Menyinggung soal perlakuan dan fasilitas yang diterimanya, baik Wagner maupun Marcy mengatakan cukup manusiawi dan mendapat perlakuan yang sopan, baik dari pihak kepolisian Jepang maupun Imigrasi Tokyo. Sebelum dipindah ke tahanan Imigrasi Tokyo, mereka sempat mendekam di penjara kepolisian Chiba, provinsi tempat bandara Narita berlokasi. "Mereka masih memperlakukan kami secara manusiawi. Mereka tidak memperlakukan kami dengan kasar," kata Wagner yang pagi itu berpenampilan sangat santai dengan mengenakan kaos hitam berlengan pendek dan celana pendek saja. Wagner, Marcy, dan Susi menjadi korban setelah diiming-imingi pekerjaan dengan gaji tinggi di Jepang oleh tersangka Carrand Christo Tangka. Namun mereka diharuskan membayar Rp55 juta, guna memperoleh paspor dan dokumen lainnya. Paspor baru mereka terima di bandara Soekaro-Hatta dengan data dan identitas palsu. Carrand Christo Tangka (pramugara Garuda Indonesia) sendiri bersama rekannya, Patricia Yulita Rosita, staf lokal kedubes Jepang di Jakarta ikut tertangkap Imigrasi bandara Narita. Keduanya diduga kuat sebagai pelaku, Tangka dan Patricia menjadi sponsor. Urusan paspor, hingga diantar ke lokasi pekerjaan dijanjikan oleh Christo Tangka. Sedangkan Patricia yang mengurus perizinan untuk mendapatkan visa Jepang. Kelimanya tertangkap imigrasi bandara Narita pada Juli 2007, namun baru diungkapkan pihak Jepang awal September 2007. Saat itu, menurut pengakuan para korban, mereka sebetulnya datang ke Jepang bersama enam warga Indonesia lainnya. Namun yang lainnya berhasil lolos pemeriksaan, sehingga langsung kabur keluar bandara. Para korban juga pernah menjadi sasaran pertanyaan tim kecil Mabes Polri yang datang ke Tokyo pada pertengahan Desember 2007. Tim yang berangotakan analis utama kejahatan transnasional itu juga mengusut kasus yang sama, khususnya peta perdagangan manusia yang melibatkan sindikat Jepang-Indonesia. Pulang Kampung Saat ditemui Atase Imigrasi Mirza Iskandar, Wagner terlihat sehat, namun tidak cukup tegar seperti rekannya Marcy yang terlihat bugar. Keduanya diperiksa langsung oleh Mirza Iskandar yang seusainya menasehati agar keduanya mematuhi vonis hakim, dan bisa kembali setelah empat tahun. "Jika memang berniat cari kerja di Jepang, gunakanlah prosedur yang benar dan jangan mau diajak dengan menggunakan data identitas diri yang bukan sebenarnya," kata Mirza lagi. Baik Wagner maupun Marcy mengaku kapok dan merencanakan kembali duu ke kampung halamannya di Sulawesi Utara untuk bertemu keluarga. Wagner sendiri kelahiran Sangihe Talaud, sedangkan Marcy di Manado. "Saya mau ketemu anak isteri dulu, biar lebih tenang," kata Marcy yang mengaku pernah kerja di kapal perusahaan Jepang. Sedangkan Wagner memilih untuk menenangkan diri dulu, karena belum pernah mengalami hal seperti ini. " Biarlah saya merenung dulu, sepertinya ini peringatan dari Tuhan," katanya. Menurut cerita Mirza Iskandar, terungkapnya kelompok Indonesia ini, karena pihak imigrasi bandara mencurigai penampilan Wagner yang berumur 34 tahun, sementara data di paspornya mencantumkan usia 16 tahun. Penampilan Wagner yang jauh lebih tua tidak mampu memperkuat status "anak" yang diakui Patricia Yulita Rosita. "Karena dia yang terakhir, dan menjadi paling dicurigai, maka dari situ petugas imigrasi memburu yang lainnya. Sementara enam lainnya lagi sudah sempat keluar bandara Narita," ujar Mirza lagi.(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008