Jakarta  (ANTARA News) - Kalangan pengusaha memperingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam menandatangani kesepakatan perjanjian perdagangan bebas (FTA), terutama di saat krisis, karena industri dalam negeri membutuhkan perlindungan dari serbuan barang impor.

"FTA hati-hati dulu. Janganlah bernafsu menjadi yang gagah-gagahanlah. Yang penting untungnya atau benefitnya apa buat kita," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi, dan Logistik, Benny Soetrisno, di Jakarta, kamis.

Benny mengatakan pihaknya telah meminta penundaan FTA dengan India, terutama terkait perdagangan tekstil dan produk tekstil. "Kalau kita salah membuat kesepakatan, industri tekstil kita bisa tergilas produk India," ujarnya.

Benny mencontohkan FTA yang melibatkan Indonesia (ASEAN) dengan China dinilai tidak bermanfaat bagi industri tekstil domestik, karena jenis barang yang dibebaskan tarifnya sama.

"Kita maunya China bebaskan Bea Masuk (BM) mesin tekstil ke Indonesia, sedangkan kita mendapat bebas BM untuk produk tekstil," tambahnya.

Dengan demikian, lanjut Benny, industri tekstil Indonesia bisa memilih mesin yang murah dibandingkan dengan mesin produksi negara lain dan akhirnya menekan biaya produksi, sehingga tekstil Indonesia bisa lebih berdaya saing.

Selama ini, menurut Benny, hanya ASEAN FTA (AFTA) saja yang manfaatnya bisa dirasakan pengusaha. "Ekspor ke Kamboja dan Vietnam jadi lebih murah, apa lagi jaraknya lebih dekat dari pada ke Papua," jelasnya.

Sedangkan kerjasama kemitraan bidang ekonomi dengan Jepang (IJEPA) yang telah mulai berlaku sejak 2008 belum juga dirasakan manfaatnya oleh eksportir.

"Tidak mudah untuk merebut pasar Jepang, mereka sangat loyal terhadap pemasoknya. Kami hanya mengharapkan technical assistant, yang dijanjikan bisa benar-benar bermanfaat bagi industri tekstil kita,"tuturnya.

Pada akhir Februari 2009 ASEAN berencana menandatangani FTA dengan Australia dan Selandia Baru. Sementara itu, Indonesia bersama negara ASEAN lainnya juga masih melakukan negosiasi perundingan FTA dengan Uni Eropa, negara Eropa lainnya (EFTA) serta India. (*)
 

Copyright © ANTARA 2009