Mogadishu (ANTARA News/Reuters) - Pertempuran antara polisi Somalia dan kelompok bersenjata Islamis menewaskan delapan orang di Mogadishu, Senin, kata beberapa saksi mata, dan perkembangan itu semakin mengancam upaya presiden baru untuk menciptakan stabilitas di negara Tanduk Afrika yang gagal itu.

Enam orang lain tewas dalam bentrokan antara gerilyawan al-Shabaab dan kelompok milisi saingannya di kawasan tengah, Bay, namun para pejabat dari semua kelompok menolak berkomentar mengenai hal itu.

Penduduk mengatakan, pertempuran terakhir di ibukota Somalia itu terjadi di jalan yang menghubungkan persimpangan strategis K4 dengan istana presiden perbukitan, Villa Somalia.

Diantara korban yang tewas dalam pertempuran di Mogadishu adalah seorang prajurit Burundi dari sebuah misi kecil Uni Afrika (AU) yang berpangkalan di kota tersebut.

"Salah satu prajurit kami tewas setelah sebuah bom pinggir jalan meledak di daerah selatan Mogadishu hari ini," kata seorang perwira senior AU kepada Reuters.

"Bom itu ditujukan pada konvoi kami di dekat pangkalan kami, sebuah bangunan universitas lama," tambahnya.

Sabtu, Presiden Sheikh Sharif Ahmed mengutuk seruan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden kepada warga Somalia dan muslim di seluruh dunia untuk memerangi pemerintah baru Somalia yang dipimpinnya.

Ahmed adalah pemimpin kelompok Persatuan Pengadilan Islam yang menguasai Mogadishu pada 2006 sebelum mereka dikalahkan oleh pasukan Ethiopia yang khawatir atas pemerintahaan Islam di Somalia tetangganya.

Setelah membentuk sebuah partai oposisi di pengasingan, Ahmed bergabung dalam proses perdamaian tahun lalu. Ia kini mengemban tugas mengkhawatirkan untuk berusaha membentuk sebuah pasukan keamanan baru dan membujuk pejuang-pejuang Islamis mendukung pemerintah demi kepentingan perdamaian Somalia.

Negara Tanduk Afrika itu dilanda konflik bersaudara selama hampir dua dasawarsa, dan badan-badan keamanan Barat khawatir wilayah itu akan menjadi pangkalan gerilyawan yang terkait dengan Al-Qaeda.

Para analis mengatakan, al-Shabaab merupakan ancaman terbesar bagi pemerintah baru Somalia, yang sedang melakukan upaya ke-15 untuk menciptakan perdamaian yang bisa bertahan di negara Tanduk Afrika yang tidak punya pemerintahan sejak 1991 itu.

Somalia dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991.

Sejak awal 2007, gerilyawan menggunakan taktik bergaya Irak, termasuk serangan-serangan bom dan pembunuhan pejabat, pekerja bantuan, intelektual dan prajurit Ethiopia.

Ribuan orang tewas dan sekitar satu juta orang hidup di tempat-tempat pengungsian di dalam negeri akibat konflik tersebut.

Pemerintah sementara Somalia telah menandatangani perjanjian perdamaian dengan sejumlah tokoh oposisi, namun kesepakatan itu ditolak oleh al-Shabaab dan kelompok-kelompok lain oposisi yang berhaluan keras.

Washington menyebut al-Shabaab sebagai sebuah organisasi teroris yang memiliki hubungan dekat dengan jaringan al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Selain pemberontakan berdarah, pemerintah Somalia juga menghadapi rangkaian perompakan di lepas pantai negara itu.

Pemerintah transisi lemah Somalia tidak mampu menghentikan aksi perompak yang membajak kapal-kapal asing dan menuntut uang tebusan bagi pembebasan kapal-kapal itu dan awak mereka.

Perompak, yang bersenjatakan granat roket dan senapan otomatis, menggunakan kapal-kapal cepat untuk memburu sasaran mereka.

Perairan di lepas pantai Somalia merupakan tempat paling rawan pembajakan di dunia, dan Biro Maritim Internasional melaporkan 24 serangan di kawasan itu terjadi antara April dan Juni tahun lalu saja.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009