Terlihat dari tingkat imbal hasil obligasi dan nilai tukar rupiah yang mengalami stabilisasi
Jakarta (ANTARA) - Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Syuhada Arief menilai sejauh ini stimulus moneter dan fiskal yang dilakukan bank sentral dan pemerintah telah mendukung sentimen positif di pasar.

"Ini terlihat dari tingkat imbal hasil obligasi dan nilai tukar rupiah yang mengalami stabilisasi," ujar Syuhada dalam pernyataan yang diterima ANTARA di Jakarta, Selasa.

Baca juga: Teken Perppu, Presiden tambah APBN 2020 Rp405,1 triliun atasi COVID-19

Dalam pasar yang panik, lanjut Syuhada, yang terpenting adalah bagaimana caranya untuk mengurangi kepanikan investor dan mengembalikan keyakinan (confidence) sehingga tercipta stabilitas baru.

Dalam hal itu, tiga faktor utama yang menjadi kunci mengurangi kepanikan pasar yaitu pertama adalah stimulus moneter yang dibutuhkan untuk memastikan likuiditas sistem finansial tetap berjalan sehingga cashflow dunia usaha dan masyarakat tetap bisa terpenuhi.

Kedua, stimulus fiskal, yang dibutuhkan untuk memberi bantuan ekonomi pada masyarakat dan ekonomi yang terdampak dari penyebaran COVID-19.

Ketiga, meredanya penyebaran virus yang merupakan kunci utama yang dapat mengembalikan optimisme pasar.

Penyebaran virus yang mereda memberi sinyal bahwa ekonomi dapat mulai berjalan normal, mengakhiri periode social distancing.

Setidaknya dua dari tiga faktor tersebut telah terjadi saat ini, yakni stimulus moneter dan fiskal yang dilakukan secara besar-besaran oleh pemerintah dan bank sentral global, termasuk Indonesia.

"Sejauh ini, kebijakan tersebut berhasil untuk mengurangi kepanikan di pasar dan memberi support terhadap sentimen. Perbaikan ini terlihat dari indeks VIX Index yang ke kisaran 46 dan CDS Indonesia yang turun ke level 220-an," ujar Syuhada.

Sementara itu, meredanya penyebaran virus akan menjadi katalis utama yang bisa mendukung sentimen di pasar.

Dengan adanya perbaikan sentimen di pasar ia optimistis obligasi Indonesia akan dapat menarik investor.

Saat ini obligasi pemerintah Indonesia di kisaran 8,2 persen, level yang sangat atraktif untuk negara dengan peringkat rating investment grade, terutama di tengah banyaknya obligasi pemerintah dunia dengan imbal hasil mendekati 0 persen atau bahkan negatif.

Secara relatif, selisih (spread) imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun dengan US Treasury 10 tahun saat ini di kisaran 730 basis poin, jauh lebih tinggi dari rata-rata 3 tahun di kisaran 480 basis poin, yang  mengindikasikan valuasi obligasi Indonesia sangat atraktif.

"Dalam proyeksi kami apabila sentimen pasar membaik, imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun berpotensi untuk turun ke level 6,5-7 persen," katanya.

Syuhada menambahkan, pihaknya sangat mencermati perkembangan COVID-19 secara global dan potensi penguatan kembali (rebound) di pasar obligasi apabila penyebaran virus menjadi lebih terkendali.

Untuk faktor risiko, ia terus memonitor perkembangan pembiayaan stimulus pemerintah dan dampaknya terhadap pasar obligasi.

"Saran saya bagi investor adalah jangan panik. Belajar dari pengalaman yang lalu, koreksi pasar yang ekstrim biasanya juga diikuti oleh periode rebound yang cepat, when there is volatility, there is opportunity. Oleh karena itu kondisi koreksi seperti ini menjadi saat yang ideal bagi investor untuk membeli atau menambah investasi," ujarnya.

Baca juga: BI sebut kepercayaan investor global terhadap RI cukup kuat
Baca juga: Indef dukung tambahan stimulus COVID hingga Rp1.600 triliun

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020