Jakarta (ANTARA News) - 'The Cove' film dokumenter yang menceritakan perburuan lumba-lumba dan memenangkan Oscar untuk film dokumenter terbaik, Senin (8/3), membakar amarah dan kekecewaan warga komunitas pesisir tempat film itu dibuat.

Disutradarai Louie Psihoyos, film kontroversial Amerika Serikat itu melakukan pengambilan gambar di Taiji, sebuah kota pesisir di Perfektur Wakayama, Jepang, lapor The Asahi Shimbun, Selasa.

Pembuat film itu menggunakan kamera tersembunyi dan mikropon karena koperasi nelayan setempat tidak mengizinkan kameramen pergi ke teluk tempat lumba-lumba dibantai.

Penduduk setempar marah karena wajah mereka direkam tanpa izin dalam cuplikan yang menunjukan pembantaian lumba-lumba.

Seorang ibu rumah tangga berumur 35 tahun yang kakeknya pernah bekerja di kapal penangkap ikan paus berkata, "Kami telah makan ikan paus dan lumba-lumba selama beberapa generasi. Saya tidak mengerti mengapa film itu menggambarkan perburuan lumba-lumba secara negatif. Saya tidak percaya ia menerima Oscar."

Walikota Taiji Kasutaka Sangen dan koperasi nelayan lokal, Minggu pagi (7/3) mengeluarkan satu pernyataan bersama.

"Ada beberapa elemen dalam film itu yang menyebabkan salah pengertian karena tidak berdasarkan bukti ilmu pengetahuan. Sangat penting untuk memiliki semangat saling menghormati setelah memahami tradisi panjang dan lingkungan aktual yang melingkupi budaya pangan dari sebuah wilayah," bunyi pernyataan itu.

Pejabat koperasi nelayan setempat mengatakan bahwa beberapa penjelasan dalam film itu salah, termasuk yang menyatakan bahwa daging lumba-lumba dijual dan disamarkan sebagai daging ikan paus untuk menghilangkan fakta adanya kandungan merkuri.

Pengacara warga Taiji dan koperasi nelayan setempat mengatakan akan melobi pemerintah agar rencana untuk memutar film itu di sekitar 20 bioskop di Jepang musim panas mendatang dibatalkan.

Para pejabat kota itu sebelumnya telah menuntut agar film itu tidak ditayangkan di Tokyo International Film Festival musim gugur lalu, tetapi panitia tetap memutar film itu walaupun hanya satu kali.

Para pejabat Unplugged Inc, distributor film 'The Cove', mengatakan perubahan-perubahan akan dibuat sebelum film itu diputar di Jepang.

Wajah dari para penduduk lokal akan diburamkan, menambahkan catatan bahwa ada penelitian berbeda tentang tingkat kandungan merkuri, dan menginformasikan bahwa warga Taiji menolak beberapa elemen dari film itu.

Tokiya Nitta, pengajar Sekolah Ilmu Kelautan dan Teknologi Universitas Tokai, Jepang, yang telah mempelajari sejarah perburuan lumba-lumba di sepanjang semenanjung Izu di Perfektur Shizuoka mengatakan, film itu bisa menyampaikan pandangan yang salah mengenai apa yang sebenarnya berlaku.

"Di Jepang ada sejarah perburuan lumba-lumba dengan rasa syukur dan hormat karena lumba-lumba membantu orang-orang Jepang ketika menghadapi kelaparan akibat perang," jelas Nitta.

"Bagaimana pun, orang-orang asing selalu memusatkan perhatian mereka pada kenyataan yang kejam tentang perburuan itu."

Daisuke Onitsuka, professor Studi Amerika pada Universtas Shizuoka Eiwa Gakuin, mengatakan dampak visual dalam 'The Cove' adalah faktor utama film itu mendapatkan Oscar.

Onitsuka menyebut film itu sebagai propaganda, seraya berkata. "Saya percaya bahwa di luarnegeri bukan argumentasi film itu yang diterima dan dianggap menarik, tetapi pertentangan antara koperasi nelayan Taiji dan pejabat setempat," kata Onitsuka.

Dia mengakhiri, "Alasan utama mengapa film itu dipuja-puja adalah dampak visualnya karena dibuat menggunakan kamera tersembunyi. (*)

liberty jemadu/jafar

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010