event-event budaya seperti Olimpiade bisa menjadi perekat masyarakat dan inspirasi umat manusia, termasuk kaum muda dan remaja
Jakarta (ANTARA) - Agar kaum muda lebih antusiastis mengikuti Olimpiade, Komite Olimpiade Internasional (IOC) memasukkan cabang-cabang baru yang akrab di kalangan muda dan remaja masa kini, walaupun kebanyakan cabang-cabang baru ini sudah populer puluhan tahun sebelumnya.

Cabang-cabang baru yang kerap diasosiasikan dengan kaum muda masa kini itu adalah surfing atau selancar, sport climbing atau panjat tebing, karate, BMX gaya bebas, bola basket 3X3, dan skateboard. Sayang, futsal belum masuk.

Masih perlu waktu untuk melihat apakah ambisi IOC itu berhasil mencapai sasarannya, paling tidak sampai separuh atau seluruh laga Olimpiade Tokyo ini selesai.

Tetapi di gelanggang Olimpiade yang ditunda setahun karena pandemi ini, atlet-atlet remaja kembali menarik perhatian seperti pada olimpiade-olimpiade sebelumnya.

Dari Olimpiade ke Olimpiade, selalu saja ada atlet remaja yang menjadi pusat perhatian, bahkan memulai kesuperstarannya di arena Olimpiade.

Spesialis renang gaya bebas jarak menengah putri, Katie Ledecky misalnya, merebut medali emas untuk pertama kalinya dalam usia 15 tahun. Banyak atlet seperti Ledecky yang mengawali jalan kebintangannya sejak usia dini di Olimpiade.

Namun rasanya Olimpiade Tokyo 2020 ini sedikit berbeda dari sebelum-sebelumnya karena boleh dibilang cukup banyak atlet usia remaja yang tak sekadar turun berlomba atau bertanding, namun juga meraih medali, termasuk emas.

Di antara remaja yang sampai hari keenam Olimpiade Tokyo ini digelar yang bisa membuat kaum muda menjadi antusiastis mengikuti Olimpiade dan bahkan menjadi inspirasi mereka adalah skateboarder Momiji Nishiya.

Remaja putri berusia 13 tahun dari Jepang ini sejauh ini merupakan atlet paling muda yang meraih medali emas dalam Olimpiade Tokyo setelah menjuarai nomor street putri skateboard.

Nishiya bahkan menjadi Olimpian Jepang paling muda yang memperoleh medali emas Olimpiade dan salah satu peraih medali emas paling muda sepanjang sejarah Olimpiade.

Uniknya medali perak dan perunggu dari street putri skateboard Tokyo 2020 ini pun disabet para remaja. Perak menjadi milik remaja putri 13 tahun lainnya dari Brazil bernama Rayssa Leal, sedangkan perunggu mengalungi gadis 16 tahun dari Jepang, Funa Nakayama.

Di skateboard ini masih ada skateboarder remaja lainnya yang malah lebih sering diulas media ketimbang Nishiya. Dia adalah Sky Brown, juga 13 tahun.

Skateboarder Britania ini akan tampil dalam nomor park putri. Hanya ada dua disiplin untuk skateboard, yakni street dan park.

Baca juga: Skater cilik Brazil dapat "kejutan hukum" sepulang dari Olimpiade
Baca juga: Peraih emas skateboard Horigome-Nishiya turun di Championship Tour
Baca juga: Skateboard dan kisah dua anak sekolahan menggebrak Tokyo 2020


Hend Zaza

Olimpian yang paling muda di antara semua atlet yang berkompetisi di Tokyo 2020 adalah Hend Zaza, petenis meja putri dari Suriah.

Zaza adalah atlet ketiga termuda yang pernah mengikuti Olimpiade setelah Dimitrios Loundras yang saat mengikuti Olimpiade Athena 1896, usianya baru 10 tahun, dan Carlos Front yang ketika mengikuti Olimpiade Barcelona 1992 berusia 11 tahun, sama dengan peseluncur indah Beatrice Hustiu yang berusia 11 tahun ketika berlomba dalam Olimpiade Musim Dingin 1968.

Masih banyak lagi remaja yang tampil dalam Olimpiade Tokyo, termasuk wakil Indonesia lifter Windy Cantika Aisah yang mempersembahkan medali perunggu dari angkat besi putri dalam usia 19 tahun.

Beberapa negara mengirimkan legiun atlet remaja yang hanya dua sampai lima tahun lebih tua dari Sky Brown, Momiji Nishiya, dan Rayssa Leal.

Tim renang Amerika Serikat misalnya, membawa enam remaja di bawah 19 tahun dalam kontingen berkekuatan 26 putri dan 23 putra.

Keenamnya adalah Katie Grimes yang berusia 15 tahun, Bella Sims 16 tahun, Claire Curzan 16 tahun, Lydia Jacoby 17 tahun, Torri Huske (18) dan Phoebe Bacon (18).

Sedangkan Mollie O’Callaghan menjadi wakil renang Australia yang paling muda dalam usia 17 tahun. Rekannya yang sudah menggenggam dua medali emas Olimpiade Tokyo, Ariarne Titmus yang baru saja menginjak usia 20 tahun masih terbilang remaja.

Pada cabang olah raga senam yang sejak lama menjadi arena untuk remaja-remaja seluruh dunia berlomba menjadi yang terbaik, atlet remaja juga unjuk gigi dengan di antaranya turut mempersembahkan emas kepada negaranya.

Di antara mereka itu adalah Viktoria Listunova yang masih berusia 16 tahun saat bersama Rusia (ROC atau Komite Olimpiade Rusia) menggulingkan dominasi AS dalam senam beregu putri. Dia akan bertanding lagi dalam nomor spesialisasinya, senam lantai.

Kanada juga memiliki pesenam remaja berusia 16 tahun. Pesenam bernama Ava Stewart ini bahkan untuk pertama kalinya harus pergi tanpa didampingi orang tuanya dan sekaligus pertama kali pergi di luar wilayah Amerika Utara. Stewart menguasai tiga nomor; senam lantai, balok keseimbangan dan palang bertingkat.

Sedangkan Belgia mengirimkan pesenam lebih muda lagi, Jutta Verkest, yang masih berusia 15 tahun dan biasa tampil dalam nomor semua alat serta palang bertingkat.

Baca juga: Memang tersingkir, tapi Hend Zaza telah menginspirasi kaum muda


Jauh lebih positif

Dari cabang olah raga sepak bola juga banyak. Dalam sepak bola putra misalnya ada Pedri.

Siapa tak kenal pemain Barcelona ini. Dalam usianya yang masih 18 tahun dia sudah menjadi salah satu pemain paling penting Spanyol dalam Euro 2020 sampai kemudian diganjar penghargaan pemain muda terbaik Piala Eropa yang mundur satu tahun akibat pandemi itu.

Pedri tengah menapaki jalan lain menuju sukses tertinggi setelah gagal mengangkat trofi Euro, dalam Olimpiade Tokyo pada usia yang tiga tahun lebih muda dari Lionel Messi ketika mengantarkan Argentina menjadi juara Olimpiade 2008.

Dengan begitu banyak atlet muda yang sebagian di antaranya telah dan akan menjadi peraih medali, termasuk medali emas, seharusnya Olimpiade ini menciptakan gairah besar bagi kaum remaja seperti diinginkan oleh IOC, termasuk remaja-remaja di Indonesia.

Sudah satu setengah tahun hampir seluruh remaja di seluruh dunia dan Indonesia tidak bisa bermain dan bersekolah bareng dengan kaum seusianya.

Selama terkungkung pandemi itu hampir seluruh penduduk Bumi ini menjadi beralih kepada internet, termasuk kaum remaja yang biasanya dalam kategori umur 10 sampai 19 tahun. Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa jumlah remaja saat ini adalah 1,2 miliar atau 16 persen dari total penduduk dunia.

Memang ada banyak sekali hal positif dari internet, juga media sosial, tetapi pandemi yang lama kelamaan membuat jenuh banyak kalangan membuat segala hal tumpah ke internet, termasuk hal-hal yang semestinya dijauhkan dari remaja.

Katakanlah itu banjir hoaks dan pertarungan pandangan yang tiada akhir antara orang-orang dewasa yang berbeda pilihan politik atau non politik, yang akhirnya lebih sering memecah belah masyarakat.

Dalam situasi seperti ini, event-event budaya seperti Olimpiade bisa menjadi perekat masyarakat dan inspirasi umat manusia, termasuk kaum muda dan remaja.

Perjuangan atlet-atlet remaja seperti Hend Zaza yang mencapai arena Olimpiade setelah melewati ganasnya perang akibat politik aliran yang membumihanguskan bangsa atau kisah sukses Olimpian remaja yang menikmati dunianya seperti Momiji Nishiya atau dunia sportif olah raga yang digeluti Olimpian-olimpian remaja saat ini jauh lebih positif bagi kaum muda, ketimbang mengisi ruang sosial dan siber dengan kegaduhan akibat debat yang tak pernah ditujukan untuk mencari titik temu, kompromi, dan konsensus.

Baca juga: Perunggu Windy Cantika jadi suntikan semangat Rahmat Erwin raih medali
Baca juga: Pedri sabet penghargaan Pemain Muda Terbaik Euro 2020
 

Copyright © ANTARA 2021