Yogyakarta (ANTARA News) - Status Gunung Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah turun dari "siaga" menjadi "waspada" di penghujung 2010.

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, Kamis, menurunkan status Merapi dari "siaga" menjadi "waspada".

"Memang benar statusnya sudah diturunkan menjadi `waspada` melihat dari berbagai faktor seperti aktivitas kegempaan," kata Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTK Yogyakarta Sri Sumarti, di Yogyakarta.

Menurut dia, jumlah dan energi kegempaan Gunung Merapi pada akhir Desember 2010 telah mengalami penurunan cukup banyak dibandingkan dengan pada saat periode letusan gunung berapi pada akhir Oktober hingga November 2010.

Berdasarkan hasil rangkuman pengamatan aktivitas seismik Gunung Merapi, diketahui gempa vulkanik tidak lagi terjadi setiap hari, begitu pula dengan jumlah guguran yang semakin menurun dan gempa "multiphase" yang terjadi dalam kisaran normal.

"Hal itu dapat diartikan bahwa kondisi puncak Gunung Merapi semakin stabil dan tidak terjadi akumulasi tekanan magma," katanya.

Selain itu, gempa tremor yang menandakan adanya aktivitas fluida vulkanik juga tidak lagi terjadi.

Sebelumnya, status Gunung Merapi diturunkan dari level 4 atau "awas" ke level 3 atau "siaga" pada 3 Desember 2010.

Meskipun status Gunung Merapi telah diturunkan menjadi level 2 atau "waspada", namun Sri mengatakan masih ada ancaman sekunder dari Gunung Merapi seperti lahar dingin.

Oleh karena itu, masyarakat tetap diminta untuk tidak melakukan aktivitas di badan-badan sungai yang berhulu di Gunung Merapi.

Mengenai aktivitas pendakian yang cukup banyak diminati masyarakat untuk merayakan pergantian tahun, Sri mengatakan pendakian di Gunung Merapi masih tidak diperbolehkan karena masih banyak material lepas yang berpotensi longsor di puncak gunung tersebut.

"Penurunan status ini sudah dikomunikasikan kepada seluruh pemerintah daerah di sekitar merapi, di Sleman (DIY), Magelang, Boyolali dan Klaten (Jateng)," katanya.

Sebelumnya, Kepala BPPTK Subandrio mengatakan bahwa sebaiknya penurunan status dilaksanakan secara bertahap. "Penurunan status bukan merupakan kebutuhan kami, tetapi merupakan salah satu acuan untuk mitigasi bencana," katanya.

Mitigasi bencana, lanjut dia, tidak hanya bertujuan untuk pengurangan risiko korban dan harta benda tetapi juga menyangkut masalah pembiayaan.

Subandrio juga mengingatkan seluruh masyarakat yang tinggal di sekitar Merapi untuk mewaspadai lahar hujan mengingat jutaan material erupsi vulkanik Gunung Merapi masih memenuhi seluruh sungai yang berhulu di gunung tersebut.

Saat ini, pemantauan Gunung Merapi terus dilakukan selama 24 jam per hari, dan seluruh stasiun pengamatan Gunung Merapi yang berada di lima lokasi yaitu Jrakah, Selo, Babadan, Ngepos dan Kaliurang sudah dapat difungsikan, begitu juga peralatan pemantauan seismiknya.

"Yang belum dapat dipulihkan adalah peralatan pemantauan deformasi, karena belum diizinkan untuk melakukan pendakian dan memasang alat di puncak gunung," katanya.

Kerangka korban


Tim SAR Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis siang menemukan lagi satu kerangka mayat di Dusun Glagahmalang, Desa Kepuharjo yang diduga merupakan korban bencana erupsi Gunung Merapi.

"Mayat yang tinggal sedikit daging dan tulang kerangka ini, ditemukan di dekat barak pengungsian Desa Glagaharjo yang hancur dan terbakar akibat terjangan awan panas Merapi," kata anggota Tim SAR Kabupaten Sleman Dalimin.

Menurut dia, kondisi mayat tersebut sudah sulit dikenali, termasuk jenis kelaminnya karena kondisinya memang sudah sangat rusak.

"Dugaan kami mayat tersebut merupakan warga setempat, dan saat ini telah dikirim ke Kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum (RSU) Dr Sardjito Yogyakarta," katanya.

Ia mengatakan penemuan mayat tersebut berawal saat warga setempat membuka akses jalur di tepi Sungai Gendol yang menghubungkan Dusun Srunen dengan Dusun Ngancar di Desa Glagaharjo yang tertimbun material vulkanik Gunung Merapi.

"Saat warga melakukan penggalian di sekitar bekas barak desa mereka menemukan kerangka manusia, temuan ini selanjutnya dilaporkan kepada kami dan langsung kami lakukan evakuasi bersama dengan petugas kepolisian," katanya.

Dalimin mengatakan saat ditemukan mayat tersebut berada di luar barak dan sebagian tulang kerangka sudah berserakan.

"Kemungkinan korban saat kejadian berusaha untuk menyelamatkan diri, namun awan panas lebih dulu menerjangnya," katanya.

Koordinator SAR dan Penanggulangan Bencana Kabupaten Sleman Haryono mengatakan kemungkinan besar mayat tersebut tertinggal saat terjadi erupsi besar Merapi.

"Karena saat kejadian kondisinya gelap dan kendaraan terbatas, kemungkinan besar korban adalah relawan atau penanggung jawab barak pengungsian atau koordinator barak setempat," katanya.

Rawan banjir lahar

Dua lokasi "shelter" atau hunian sementara bagi korban bencana erupsi Gunung Merapi di Dusun Gondang I dan Gondang II, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, rawan terjadi banjir lahar dingin yang mengalir di Sungai Opak.

"Lokasi `shelter` di Gondang I yang diperuntukkan bagi warga Dusun Ngepringan, Desa Wukirsari jaraknya dengan aliran Sungai Opak kurang dari 100 meter, sedangkan untuk lokasi di Gondang II yang diperuntukkan bagi warga Desa Kepuharjo jaraknya sekitar 100 meter dari Sungai Gendol," kata warga setempat yang minta namanya tidak disebutkan, Kamis.

Menurut dia, ancaman banjir lahar dingin ini sangat besar karena saat ini aliran Sungai Opak yang sudah puluhan tahun mati, "hidup" lagi, dan justru menjadi aliran utama lahar dingin dari lereng Merapi.

"Memang kami tidak tahu benar apakah lokasi ke dua `shelter` tersebut aman atau tidak dari banjir lahar dingin Sungai Opak, tetapi melihat kecenderungan saat ini tidak menutup kemungkinan sewaktu-waktu nanti material Merapi yang lewat Sungai Opak meluap dan mengarah ke lokasi `shelter`," katanya.

Ia mengatakan pascaerupsi Merapi aliran Sungai Opak menjadi salah satu aliran lahar dingin material Merapi, selain Sungai Gendol, Sungai Kuning dan Sungai Boyong.

"Banjir lahar dingin Sungai Opak ini terjadi karena setelah erupsi Merapi terbentuk kembali lagi alur baru Sungai Opak langsung dari puncak Merapi," katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan, banjir lahar dingin melalui Sungai Opak sebelumnya telah merobohkan tiga jembatan yang berada di atas aliran sungai tersebut, yakni jembatan Petung dan jembatan Pagerjurang di Kepuharjo serta Jembatan Liwang di Argomyulyo.

"Memang saat ini pembangunan `shelter` di dua lokasi tersebut masih pada tahap perataan tanah, namun melihat ancaman ini apakah tidak dipertimbangkan lagi rencana pembangunan di lokasi tersebut," katanya.

Kepala Desa Kepuharjo Heri Suprapto mengaku belum mendapat laporan tentang keenggan warga Kaliadem untuk menghuni "shelter di Gondang II.

"Sampai saat ini memang belum ada warga yang mengeluh atau melaporkan secara langsung, saya akan cek dulu. Bagi saya semua harus jelas agar bisa saya sampaikan langsung ke pemerintah," katanya.

Ingin di lahan sendiri

Sebagian korban bencana erupsi Gunung Merapi di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman berharap bisa membangun "shelter" atau rumah hunian sementara di lahan mereka sendiri.

"Ada sejumlah warga desa ini yang memiliki lahan kosong di lokasi yang lebih aman dari Merapi, mereka ini ingin membangun rumahnya di lahan tersebut dengan bantuan dari pemerintah, namun sejauh ini pemerintah belum menyetujui," kata Kepala Desa Kepuharjo Heri Suprapto, Kamis.

Menurut dia, ada sekitar 140 kepala keluarga (KK) yang memiliki lahan kosong mengharapkan dapat bantuan dari pemerintah untuk membangun "shelter" atau rumahn di lokasi yang lebih aman dan masih masuk dalam wilayah Desa Kepuharjo.

"Warga berharap pemerintah bisa mengijinkan mereka membangun rumah di tanah mereka sendiri, kalau bisa dengan anggaran untuk pembangunan `shelter` atau hunian sementara di Dusun Gondang, karena mereka tidak ingin tinggal di `shelter` tersebut dan berharap bisa langsung membangun rumah di lahan sendiri," katanya.

Ia mengatakan di Desa Kepuharjo total ada 830 KK warga Kepuharjo yang kehilangan rumah akibat erupsi Merapi.

"Mereka memang sudah disiapkan pembangunan `shelter` di Dusun Gondang, Wukirsari, namun 140 KK lainnya menginginkan bisa membangun rumah di lahan mereka sendiri yang mayoritas lokasinya tidak jauh dari lokasi `shelter`," katanya.

Heri mengatakan, pihaknya juga mendapat tawaran bantuan dari dua lembaga kemanusiaan yang sanggup membantu warga yang ingin membangun rumahnya di lahan mereka sendiri.

"Ada lembaga kemanusiaan yang sanggup membantu pembangunan rumah warga masing-masing senilai Rp7 juta, satu lembaga dari Pontianak sanggup membantu 70 unit rumah dan satu lembaga lagi juga sanggup membantu 70 unit rumah sisanya," katanya.

Ia mengatakan terkait keamanan "shelter" Gondang II dari ancaman banjir lahar dingin melalui Sungai Opak pihaknya tidak bisa berbicara apa-apa karena lokasi tersebut telah mendapat rekomendasi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta.

"Saat ini sepertinya aman, namun apakah nantinya bisa terkena banjir lahar dingin Sungai Opak, kami tidak tahu, yang jelas lokasinya memang sangat dekat dengan aliran Sungai Opak," katanya.

Ia mengatakan, sebelumnya sebagai kepala desa dirinya menginginkan agar "shelter" untuk warga Kepuharjo dibangun di tanah kas Desa Kepuharjo, di Dusun Giriharjo.

"Sebenarnya lokasi di Giriharjo tersebut posisinya sejajar dengan Dusun Gondang dan sama-sama berjarak sekitar 13 kilometer dari puncak Merapi, namun tidak tahu mengapa usulan pembangunan `shelter` di Giriharjo tersebut ternyata tidak direkomendasikan BPPTK Yogyakarta," katanya.

Dana pendidikan

Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, bekerja sama dengan PT Askes Cabang Utama Yogyakarta, Kamis, menyerahkan bantuan dana pendidikan kepada anak korban bencana erupsi Gunung Merapi.

"Bantuan diberikan kepada 13 siswa SMA masing-masing senilai Rp3 juta dan mahasiswa sebanyak sembilan orang masing-masing menerima Rp6 juta," kata Sekretaris Korpri Kabupaten Sleman Endang Kusumawati.

Menurut dia, anggota Korpri yang rumahnya rusak akibat bencana Merapi sebanyak 38 unit masing-masing mendapatkan bantuan sebanyak Rp1,5 juta.

"Untuk pegawai negeri sipil (PNS) yang meninggal sebanyak 52 orang dua di antaranya adalah korban meninggal akibat erupsi Merapi yang masing-masing menerima santunan sebanyak Rp1 juta," katanya.

Ia mengatakan anak-anak yang mendapat bantuan pendidikan sudah telah melalui seleksi, memenuhi kriteria, dan berprestasi.

"Bantuan tersebut diharapkan dapat meringankan beban orang tua dalam membiayai sekolah serta memperbaiki rumah yang rusak akibat erupsi Gunung Merapi," katanya.

Dewan Pembina Korpri Kabupaten Sleman Sutrisno mengatakan bantuan yang diberikan bukan untuk memanjakan anak-anak namun merupakan wujud dari kepedulian Korpri kepada anggotanya sehingga diharapkan bisa membangkitkan semangat belajar dan dapat meraih prestasi yang lebih tinggi lagi.

"Bagi anggota Korpri yang rumahnya rusak, maka bantuan ini diharapkan bisa membantu untuk memperbaiki lagi rumahnya sehingga apa yang menjadi salah satu program Korpri untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya bisa tercapai," katanya.

Ia mengatakan Korpri Sleman ingin menguatkan kembali eksistensinya sebagai lembaga yang netral, tidak berpolitik praktis dan tidak beraviliasi dengan partai politik, tetapi berpolitik kenegaraan. "Artinya negara yang mempunyai warna dan tujuan," katanya.

Rp30 juta

Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menyatakan anggaran kesehatan penanggulangan becana Gunung Merapi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah turun sebesar Rp30 juta.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, Lestaryono, di Wates, Kamis, mengatakan, anggaran kesehatan tersebut untuk mengganti dana yang telah dikeluarkan Dinkes untuk membeli masker yang dibagikan kepada masyarakat dan untuk para pengungsi yang ada di wilayah Kabupaten Kulon Progo.

"Anggaran dari BNPB untuk ganti rugi pembelian masker sebesar Rp30 juta, dan yang lain untuk kesehatan tidak mendapat bantuan apapun," katanya.

Ia juga mengatakan Dinkes sudah meminta anggaran untuk biaya transportasi, uang makan dan uang saku untuk petugas yang diterjunkan pada saat penanganan pengungsi.

"Namun demikian, BNPB tidak menyetujui anggaran yang kami ajukan,kami tidak dapat berbuat apa-apa," katanya.

Menurut dia, Dinkes Kabupaten Kulon Progo mengambil langkah menggunakan alokasi pendapatan puskesmas untuk mengganti uang transportasi, makan dan uang saku bagi petugas yang terlibat dalam penanganan korban bencana Gunung Merapi.

"Setiap harinya,kami mengirimkan petugas untuk menangani kesehatan pengungsi, kalau di Kulon Progo ada tiga posko yakni Banjarharjo, Banjarasri dan Banjararum di Kecamatan Kalibawang setiap shifnya ada sembilan petugas menjadi 27 petugas tiap harinya, tentu butuh uang bensin, uang makan dan uang saku,karena dari BNPB tidak menganggarkan, kami gunakan alokasi pendapatan puskesmas,"katanya.

Basis data

Forum Pengurangan Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta mendesak Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk membuat basis data relawan yang valid dan memuat keahlian dari masing-masing relawan.

"Basis data ini penting dimiliki sehingga saat ada kejadian bencana, maka relawan akan segera dapat dimobilisasi," kata Koordinator Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) DIY Juli Eko Nugroho dalam Apresiasi dan Pekerja Kemanusiaan Erupsi Merapi 2010 di Yogyakarta, Kamis.

Menurut dia, kondisi wilayah Indonesia yang rawan bencana seperti letusan gunung berapi dan gempa bumi menuntut semua pihak untuk selalu memiliki kewaspadaan dan manajemen mitigasi bencana yang baik.

Perbedaan penanganan bencana di satu wilayah dengan wilayah yang lain juga menuntut adanya perbedaan kebutuhan keahlian dari relawan yang akan diterjunkan ke lapangan.

Ia mencontohkan, pada bencana letusan Gunung Merapi masih terjadi kesimpangsiuran dalam manajemen distribusi logistik yang berupa makanan dan non makanan serta manajemen pengungsi.

"Melalui basis data itu, juga akan diketahui sejumlah keahlian dari relawan yang masih perlu ditingkatkan," katanya.

Selama tanggap darurat erupsi Merapi 2010 terdapat sekitar 5.000 relawan dari 12 provinsi di Indonesia dan luar negeri yang mengemban tugas kemanusiaan di wilayah Provinsi DIY dan Jawa Tengah.

Dalam kegiatan apresiasi relawan tersebut terdapat 10 relawan yang mendapatkan sertifikat setelah menjalankan tugas di Merapi, yaitu dari mahasiswa, PMI, organisasi massa, SAR, komunitas masyarakat, dan PLN.

"Ini adalah penyerahan sertifikat secara simbolik. Sebenarnya, banyak relawan lain yang juga mendapat sertifikat," katanya.

Kepala BNPB Syamsul Maarif mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada relawan yang telah bekerja di Merapi selama masa tanggap darurat.

"Saya tidak tahu apakah seluruh tugas BPNB bisa dilaksanakan tanpa bantuan relawan. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada relawan," katanya.

Syamsul mengatakan perbedaan penanganan terhadap bencana di setiap wilayah membutuhkan adanya petunjuk tentang penanganan bencana.

"Koordinasi dan manajemen penanganan bencana menjadi suatu kebutuhan di lapangan pada saat terjadi bencana," katanya.

Salah satu manajemen yang dilakukan pada saat penanganan bencana adalah membatasi jumlah relawan sehingga tidak ada penumpukan relawan yang justru akan menambah kerepotan di lapangan. "Jika memang ada kekurangan relawan, maka kami yang akan memintanya sesuai kebutuhan," katanya.

Mangkok keramik

Abu vulkanik hasil erupsi Gunung Merapi oleh para seniman perajin digunakan sebagai bahan baku pembuatan mangkok keramik.

"Ide untuk membuat mangkok keramik dari abu vulkanik sifatnya coba-coba, dan hasilnya cukup memuaskan, sehingga kami manfaatkan abu itu sebagai bahan baku pembuatan barang kerajinan tersebut dalam jumlah banyak, dari pada terbuang sia-sia," kata pembuat mangkok keramik dari abu vulkanik Indro Baskoro Miko Putro, di Yogyakarta, Kamis.

Dosen Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu, ditemui saat mengikuti pameran seni kriya Islami dalam rangkaian Festival Muharram 1432 Hijriyah di gedung Asri Medical Center, Yogyakarta. Pameran tersebut berlangsung dari 29 Desember 2010 hingga 2 Januari 2011.

Menurut dia, abu vulkanik mengandung silika hingga 50 persen, sehingga jika digunakan sebagai bahan baku pembuatan keramik, kualitas keramik itu sangat bagus dan istimewa setelah dipadukan dengan campuran beberapa bahan kimia seperti kalsium karbonat. "Desain dan warna keramik juga dibuat menarik," katanya.

Keistimewaan mangkok keramik yang terbuat dari abu vulkanik, kata dia dari segi warna jika dilihat secara visual menghasilkan efek menyerupai kumpulan magma yang mendidih, kemudian membeku. "Permukaan lapisannya menghasilkan warna yang natural seperti halnya warna magma di dalam perut bumi," katanya.

Ia mengatakan permukaan mangkok keramik yang terbuat dari abu vukanik ini membentuk seperti pori-pori besar dan kecil. Bentuk lapisannya menyerupai batu yang mengalami pelapukan atau sedimentasi.

Menurut Indro, kualitas dan daya tahan mangkok keramik tersebut tidak jauh berbeda dengan keramik yang terbuat dari tanah liat.

"Ada keistimewaan dalam proses pembuatannya, yakni tidak membutuhkan waktu lama dalam pengeringannya, yakni hanya sekitar 12 jam," katanya.

Meskipun demikian, kata dia, mangkok keramik ini harus tetap dibakar agar menghasilkan kualitas tinggi dan memuaskan. "Dibutuhkan suhu tinggi, yakni 1.280 derajat Celsius untuk pembakarannya " katanya.

Indro mengatakan mangkok keramik tersebut belum dijual kepada masyarakat, dan saat ini masih terus dikembangkan untuk memperoleh kualitas yang bagus dan kuat. "Masih terus dikembangkan oleh para pembuatnya, termasuk para mahasiswa yang kami bina," katanya.(*)
E013/M008

Oleh
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010