Ujian sesungguhnya bagi strategi pemerintahan Obama adalah terletak pada hasil yang mereka capai di lapangan
Washington/London (ANTARA News) - Ketika demonstrasi massa menjungkalkan pemimpin Tunisia setelah dua dekade berkuasa, para penguasa dan analis intelijen AS seketika membayangkan apa artinya itu bagi Mesir, negara Arab berpenduduk terbanyak dan sekutu utama Amerika.

Sesunggunya, setidaknya tahun lalu, para pembantu senior Presiden Barack Obama sudah mendapat peringatan dari analis luar bahwa cengkeraman kekuasaan Presiden Mesir Hosni Mubarak telah melemah.

Para analis ini menyarankan pemerintahan Obama untuk mencoba tidak langsung terlibat dalam gejolak ini.

Namun, begitu krisis di Mesir meledak di pekan lalu, pemerintahan Obama berjuang untuk tetap mengikuti perkembangan politik di Mesir yang demikian cepat terjadi itu, serta masalah yang akan mempengaruhi masa depan Mesir dan kawasan yang lebih luas lagi.

"Hal terbaik yang ada adalah mereka akan memiliki tujuan-tujuan proaktif yang lebih jelas bagi kawasan ini," kata Brian Katulis, peneliti senior pada lembaga pemikir Center for American Progress, yang adalah salah seorang dari para pakar yang bertemu dengan pemerintah Obama tahun lalu dan mengingatkan potensi instabilitas di Mesir.

"Namun pada tingkat ini, khususnya ketika perkembangan situasi berlangsung sangat cepat dan kekerasan meluas, semua itu menjadi lebih sulit bagi mereka untuk keluar dari pola reaktif yang taktis ini."

Masalah-masalah rumit untuk pemerintahan Obama adalah memisahkan keprihatinan mengenai keandalan data intelijen yang digunakan penguasa dalam membantu memformulasikan tanggapan mereka terhadap peristiwa tersebut.

Dua pejabat yang mengetahui laporan intelijen AS mengenai demonstrasi di Tunisia dan Mesir mengatakan bahwa pandangan sejumlah pejabat Kongres dan pemerintah AS mengenai kualitas intelijen AS mengenai kriri itu tidak akurat dan tidak telalu bermanfaat.

Komisi Kongres mulai mempertanyakan keandalan laporan dan analisis intelijen AS mengenai keguncangan dan kemungkinan instabilitas di masa depan di Afrika Utara dan Timur Tengah, demikian sumber-sumber Capitol Hill.

Tetap saja, para pejabat pemerintahan AS mengaku terus mengikuti perubahan politik di Mesir dan potensi bahwa demonstran akan berkumpul dalam jumlah besar telah dikenali sejak awal.

"Apakah ada orang di dunia ini yang tahu krisis di Tunisia menyulut satu revolusi? Tidak," kata Tommy Vietor, juru bicara Dewan Keamanan Nasional (NSC). Tapi Vietor mengatakan bahwa para diplomat dan pejabat intelijen telah melaporkan bibit kerusuhan di kawasan itu bertahun-tahun lalu.

"Kerapuhan beberapa rezim ini adalah hal yang sudah dicatat dan dibicarakan presiden sejak lama," kata seorang pejabat Gedung Putih. Pejabat ini juga mengatakan bahwa selama briefing pertama yang diadakan Obama mengenai krisis Tunisia, dia telah menanyai para penasihatnya mengenai analisis kemana saja krisis ini bakal menyebar.

Sejumlah analis mengatakan bahwa pemerintahan Obama sedapat mungkin berupaya menghindari terlibat dalam gejolak di Mesir dan lebih memilih bersikap hati-hati.

"Adalah berbahaya mendahului menilai, terutama saat Anda membicarakan sebuah negara yang menjalin hubungan sangat penting dengan Anda dan di mana pemimpinnya membuat banyak pengorbanan untuk Amerika Serikat," kata Jon Alterman, seorang pakar Timur Tengah pada lembaga pemikir Center for Strategic and International Studies (CSIS).

Katulis mengatakan pemerintahan Obama terlihat sedikit terkesima dengan cepatnya bergesernya pendapat publik mengenai krisis Mesir namun dia percaya pemerintahan ini berusaha mencermatinya sampai akhir pekan ini.

Said Vietor mengatakan pemerintahan Obama ingin memastikan rakyat Mesir keluar dari gelanggang.

Retorika berubah


Ketika Obama menyampaikan pidato tahunannya di hadapan Kongres AS delapan hari lalu, dia tidak langsung menyebut Mesir namun menyinggung krisis itu dengan menunjuk Tunisia.

Pada hari itu pula, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton berbicara kepada publik mengenai isu itu dengan menunjukkan dukungannya kepada hak berbicara para demonstran di tengah tindakan polisi yang menyemprotkan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan demonstrasi.

Clinton juga menggambarkan pemerintah Mesir sebagai "stabil", yang dua hari kemudian diikuti oleh jawaban 'tidak' dari Wakil Presiden Joe Biden saat ditanyai apakah Mubarak harus mundur.

Para aktivis di Mesir, termasuk tokoh oposisi utama Mohamed ElBaradei, dan beberapa kritikus di AS memandang komentar tersebut telah menegaskan ada solidaritas pemerintahan Obama terhadap Mubarak.

Sejumlah orang mengatakan bahwa pemerintahan Obama telah mengambil risiko untuk berada di sisi sejarah yang salah.

"Mereka sungguh reaktif," kata Daniella Pletka, pakar pada American Enterprise Institute. "Anda tidak bisa menilai pemerintahan ini memiliki visi mengenai hasil yang ditempuh ke depan."

Namun Katulis dan Alterman menawarkan taksiran yang lebih menguntungkan, khususunya tindakan di belakang layar dari pemerintahan Obama.

Seorang pejabat Gedung Putih mengatakan bahwa pesan rahasia kepada para penguasa Mesir jauh lebih tumpul dibandingkan pesan langsung ke publik.

Katulis mengatakan para pejabat pemerintahan Obama mendengarkan dengan sangat cermat semua yang diungkapkan rekanannya.

Di depan publik, pergeseran retorika mulai terjadi pada akhir pekan lalu.

Dalam wawancara YouTube, Obama memuji peran Mesir sebagai sekutu AS dalam banyak isu kritis, namun mendesak pemerintah Mesir untuk menggelar reformasi.

Obama kembali mendesakkan pesan reformasi di hadapan wartawan Gedung Putih setelah berbicara via telepon dengan Mubarak.

Minggunya, Clinton menyerukan "transisi damai" di Mesir. Dua hari kemudian, Selasa, Obama menekankan hal itu harus segera dilakukan.

Presiden AS menyampaikan pernyataannya setelah melihat Mubarak berpidato kepada rakyat Mesir dalam pesan video di Ruang Situasi Gedung Putih, bahwa Mubarak tidak akan mencalonkan diri lagi dalam pemilu yang dijadwalkan September.

Pesan Mubarak ini disampaikan di tengah protes massa di negaranya dan setelah bertemu dengan mantan Dubes AS untuk Kairo Frank Wisner, yang membawa pandangan Obama mengenai pentingnya sebuah transisi kekuasaan di Mesir.

Katulis dan para analis lainnyanya memuji keputusan mengirimkan Wisner, yang mempunyai hubungan dekat dengan Mubarak, namun apakah pemimpin Mesir yang sedang digoyang itu akan memenuhi pesan AS itu masih menjadi pertanyaan.

"Ujian sesungguhnya bagi strategi pemerintahan Obama adalah terletak pada hasil yang mereka capai di lapangan, dan reaksi macam apa yang mereka dapatkan dari mitra dan sekutunya di kawasan itu," kata Katulis. (*)

Sumber: Reuters

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011