Pembajakan Revolusi Mesir oleh poros Euro-Atlantik telah dimulai, dan rakyat Mesir harus awas terhadap bahaya dari setiap upaya curang mencuri revolusi mereka
Jakarta (ANTARA News) - Ironis sekali, ketika rezim yang bertahan sejak 1979 dan setiap tahun mendapat sokongan 2 miliar dolar oleh dari Amerika Serikat, jatuh, maka Mesir pun dibanjiri pujian.

Mereka yang dulu menyokong Mubarak tiba-tiba memuji keberanian rakyat Mesir dan berbalik memburuk-burukkan Hosni Mubarak.

Orang bisa tertipu bahwa transformasi yang baru saja berlaku di Mesir seolah hasil karya bertahun-tahun Barat.

Siapa yang dulu bilang bahwa Mesir, dan Arab umumnya, tidak siap berdemokrasi? Bahwa kebrutalan yang mengungkungi rakyat Mesir selama tigapuluh tahun itu lebih baik ketimbang risiko menggelar pemilu yang bebas?

Dua minggu lalu, lewat orang-orang seperti Hillary Clinton, teman-teman baru Revolusi Mesir ini  menyebut Mubarak 'orang yang tepat' untuk Mesir, dan 'figur terpercaya dan stabil selama 30 tahun terakhir.'

Saat yang sama Tony Blair, utusan khusus Euro-Atlantik untuk Timur Tengah menyebut Mubarak "sangat berani dan kekuatan untuk kebaikan".

Pembajakan Revolusi Mesir oleh poros Euro-Atlantik telah dimulai, dan rakyat Mesir harus awas terhadap bahaya dari setiap upaya curang mencuri revolusi mereka dan lalu menumpulkan pesan transformatif revolusi itu.

Setelah Mubarak tumbang, diantara pidato pertama datang dialamatkan untuk para demonstran di Lapangan Tahrir adalah tanggapan Barack Obama atas terusirnya Mubarak.

Penuh perasaan seperti biasanya, Obama berusaha menjauhkan Amerika dari pelayan setianya itu, dengan menyambut Revolusi Mesir.

Tawaran bantuan untuk mempromosikan demokrasi di Mesir pun disampaikan Obama.

Sejenak kemudian, kita menjadi saksi membanjirnya para penasihat, LSM dan segala macam spesialis dari poros Euro-Atlantik ke Mesir guna menceramahi rakyat Mesir tentang apa itu demokrasi dan bagaimana mempraktikannya.

Rakyat Mesir yang mengorbankan diri dan keluarganya untuk menolak ditakut-takuti oleh kekerasan yang dilancarkan rezim Mubarak yang justru disebut Barat "stabil dan terpercaya" dan akhirnya sukses menumbangkan abdi Washington ini, tahu sekali apa itu demokrasi dan bagaimana mempraktikannya.

Dengan langkah dan suara mereka, rakyat Mesir baru saja menggelar plebisit rakyat yang sesungguhnya dan pertama kali terjadi dengan menyeru Mubarak angkat kaki dari kekuasaan.

Apartheid

Rangkulan Barat itu mengingatkan pada pengalaman Afrika Selatan di awal 1990an, manakala desakan menuju demokrasi dan pengakhiran rezim apartheid yang brutal menjadi tak tertahankan.

Tiba-tiba gerakan revolusioner itu mendapatkan teman-teman baru, yaitu pemerintah Inggris, AS, dan Jerman Barat.

Padahal mereka ini sebelumnya adalah penyokong rezim apartheid selama 40 tahun. Mereka juga yang mengklaim warga kulit hitam Afrika Selatan --seperti kepada rakyat Mesir sekarang-- tidak siap berdemokrasi.

Mereka telah memilih sebuah rezim brutal untuk apa yang mereka sebut "alternatif terbaik daripada gerakan perlawanan yang diilhami komunisme", padahal gerakan perlawanan yang mereka sebut diinspirasi komunis (Nelson Mandela) itu didukung luas rakyat Afrika Selatan.

Seperti pada kasus Mubarak, poros Euro-Atlantik ini menyokong rezim apartheid dengan melatih pasukan keamanan apartheid, sekaligus memberi mereka informasi intelijen --termasuk informasi CIA yang membawa Nelson Mandela ditangkap dan dipenjarakan selama 27 tahun-- dan memberi dukungan diplomatik di PBB kepada rezim apartheid.

Rangkulan kepada Revolusi Afrika pasca 1990 itu mirip dengan janji "bantuan demokrasi" dari Obama untuk rakyat Mesir.

Para penasihat, lembaga pelatihan dan spesialis kebijakan Barat mengatakan kepada kami (Afrika Selatan) bahwa demokrasi itu sepadan dengan demokrasi liberal Barat dan ekonomi pasar terbuka.

Kepemimpinan politik kami, di banyak bagian, mengganjar rangkulan Barat itu dengan mengadopsi kebijakan politik dan ekonomi Konsensus Washington (neoliberal).

Hasilnya jelas; Afrika Selatan menjadi masyarakat yang kian timpang, sementara pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati oleh pebisnis lokal dan internasional.  Di saat bersamaan, pengangguran tetap saja tinggi.

Rakyat Mesir telah membuktikan pada dunia bahwa apapun mungkin, jika rakyat yang bersatu konsisten mewujudkan cita-citanya.

Mereka tidak perlu mendengarkan masukan antikritik dari teman-teman baru mereka itu, yaitu mereka yang awalnya memberi selamat kepada rakyat Mesir, namun kemudian menceramahi Mesir bahwa beberapa hal tidak bisa diwujudkan; bahwa rakyat Mesir harus realitis terhadap harapan-harapannya dan mau tidak mau harus puas dengan kekurangan.

Kecuali jika gerakan Mesir untuk perubahan tersebut terus bersiaga dan terus menerus menuntut kemerdekaan politiknya, maka rangkulan Barat itu bisa membekap Revolusi Mesir untuk kemudian membawa Mesir masuk ke era baru yang merupakan versi lain dari rezim Mubarak yang baru saja tumbang. Yaitu, satu tatanan demokratis baru yang untuk kesekian kalinya menempatkan kepentingan Washington, London, Berlin dan Tel Aviv, di atas kepentingan rakyat Mesir. (*)

David Africa adalah peneliti pada lembaga konsultan Africa-Analysis.org dan mahasiswa Universitas Cambridge.  
Artikel asli "Stealing Egypt's Revolution" dalam laman Aljazeera

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011