Jakarta (ANTARA News) - Dipancung untuk diakhiri hidupnya oleh algojo Arab Saudi telah dijalani Ruyati binti Satubi (54), seorang tenaga kerja wanita asal Indonesia, Sabtu (18/6/2011). Kini, masih ada 23 warga negara Indonesia yang didakwa ancaman hukuman mati di Arab Saudi. Akankah kasus serupa berulang?

Dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan pelaksanaan penghentian sementara (moratorium) pengiriman tenaga kerja Indonesia sektor informal ke Arab Saudi, efektif per 1 Agustus 2011. "Saya juga meminta, berkaitan dengan moratorium, para warga negara Indonesia untuk patuh dan tidak berupaya sendiri-sendiri, mencari jalan pintas untuk nekad," katanya pada jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis.

Tiga menteri tampil menjelaskan seputar tragedi Sumiyati dan perlindungan negara terhadap para TKI di luar negeri.

Ketiganya merespon berbagai reaksi masyarakat, dari permintaan lengser pejabat yang berwenang sampai ajuan pertanyaan ironis, di mana negara ketika para TKW itu dipancung, diperkosa, dianiaya, disiksa bahkan diperlakukan sebagai budak oleh sang majikan.

Media cetak dan elektronik mengisi ruang publik dengan aneka dakuan (klaim) bahwa pemerintah telah kecolongan dengan eksekusi Ruyati. Padahal, pamerintah mengutip dana perlindungan sebesar 15 dolar AS per calon TKI. Absurd?

Tentu absurd karena hitung punya hitung, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menangguk penerimaan negara bukan pajak rata-rata Rp750 miliar per tahun. "Dari jumlah tersebut, sebesar Rp500 miliar berasal dari dana perlindungan TKI," kata analis kebijakan Migrant Care, Wahyu Susilo.

Lebih absurd lagi, ada perbandingan konyol, mengapa pemerintah Indonesia terkesan abai dengan nasib rakyatnya yang menyabung nyawa di luar negeri, sementara pemerintah Australia getol dengan perlindungan kepada hewan ternaknya yang dikirim ke Indonesia. Televisi Australia memperlihatkan penyiksaan sapi di rumah pemotongan hewan (RPH) Indonesis. Penyiksaan itu membuat berang kelompok-kelompok perlindungan hewan di Australia dan meminta pemerintahnya bertindak tegas.

Soalnya bukan semata membandingkan manusia dengan sapi. Sebagai "animal rationale", mengutip pendapat filsuf Aristoteles, manusia menggunakan abstraksi untuk membentuk konsep umum guna menarik kesimpulan. Sebagai "zoon politikon", manusia mampu mengorganisasikan kompleksitas kota dan negara. Dan filsuf Nietzsche memberi peneguhan bahwa manusia secara mendasar dapat memegang teguh janjinya agar senantiasa bertanggungjawab.

Penyiksaan terhadap sapi, menurut publik Australia bukan tindakan bertanggungjawab karena mengabaikan pandangan bahwa manusia mampu mengorganisasikan dirinya agar beradab sebagai perwujudan "animal rationale" dan "zoon politikon". Ini artinya, hanya manusia dan bukan sapi yang mampu berkewajiban dan bertanggungjawab.

Tanggungjawab, menurut filsuf Hans Jonas, bersifat total dan menyeluruh. Karena bertanggung jawab sifatnya menyeluruh, maka haruslah berkelanjutan. Seseorang tidak bisa bertanggung jawab secara sepotong-sepotong. Misalnya, dari pukul 09.00 sampai 15.00 atau dari Senin sampai Kamis saja, sementara waktu sebelumnya ia menyimpan tangggung jawab di bawah karpet. Tidak ada libur dalam "kamus" tanggung jawab.

Yang menyeramkan lagi, masalah dasar tanggung jawab menjadi sungguh-sungguh menghujam apabila tanggung jawab menyentuh hidup mati manusia. Tanggung jawab justru bersifat mutlak tidak dapat ditawar lagi karena menjamin "agar manusia tetap ada", kata guru besar etika STF Drijarkara, Franz Magnis-Suseno SJ.

Di mata tanggung jawab, bagaimana respon Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar?

Ketiganya tampak absurd karena ketiganya menimba inti dari argumentasi yang menunjuk kepada norma-norma kultural dan tradisi setempat. Padahal, argumentasi itu mudah meleleh seiring perjalanan waktu.

"Proses pengadilan di Arab Saudi tidak transparan. Tercatat dari laporan lembaga internasional, tidak hanya jadwal eksekusi tapi juga akses pengacara juga sangat terbatas," kata Marty. "Indonesia mengecam dan menyampaikan protes keras, eksekusi tanpa pemberitahuan lebih dahulu bertentangan dengan praktik internasional," katanya juga.

Menurut Patrialis Akbar, untuk 23 orang yang terancam hukuman mati, pemerintah Arab Saudi telah menetapkan bahwa mereka tidak bisa langsung dibebaskan karena harus menunggu diluluskannya permintaan maaf dari keluarga korban. Sampai saat ini tetap mengupayakan permintaan maaf dari keluarga korban maupun melalui lembaga pemaafaan yang berada di bawah gubernur masing-masing wilayah tempat penahanan TKI.

Sedangkan Muhaimin Iskandar mengatakan penghentian sementara pengiriman TKI ke Arab Saudi akan dilakukan hingga tercipta sistem yang memberikan jaminan perlindungan terhadap TKI di Arab Saudi. "Moratorium dilaksanakan sampai terlaksananya sistem yang memberikan jaminan perlindungan," katanya.

Ketiganya absurd karena terjebak ke dalam formalisasi pemaknaan dan penggunaan bahasa semata. Soalnya apakah sistem perlindungan TKI di luar negeri telah berjalan? Bahasa sebagai pemaknaan merupakan kesatuan antara bukti (yang aktual) dan komunikasi.

Apakah 14 instansi yang menangani TKI telah menjalin komunikasi? Buktinya, kecolongan! Ruyati (yang aktual) yang telah dipancung menandakan tidak adanya komunikasi. Jadinya, absurd!

Di mata hidup yang makin absurd, para TKI melakoni bunyi teks bahwa ada alasan untuk hidup, ada alasan untuk mati. Ada ungkapan, "aku ingin hidup seribu tahun lagi". Manusia berpikir kematian menghentikan kehidupan. Manusia coba terus mengelak dari sergapan kematian, kemudian mencari untuk menemukan harapan. Dengan mengembangkan harapan, manusia memuliakan hidup.

Implikasinya, hukum pancung yang meneguhkan "mata ganti mata, gigi ganti gigi", berlawanan dengan ziarah hidup setiap manusia. Hukum pancung merujuk kepada tiadanya harapan. Dan apakah memang supremasi hukum termasuk adat istiadat dan budaya setempat memang berada di atas segalanya ketika Ruyati telah dipancung, sementara 23 WNI kini terancam nasib serupa?

Nietzsche menjawab, semua kebenaran adalah fiksi belaka, setiap fiksi adalah interpretasi, dan semua interpretasi adalah perspektif. Yang tinggal sekarang, siapa bertanggungjawab atas Tragedi Ruyati? Yang jelas, bukan sapi Australia yang harus bertanggungjawab atas dipancungnya Ruyati. Ah, itu absurd.
(A024)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011