Jakarta, (ANTARA News) - Jaksa Agung, Hendarman Supandji, menyatakan penyidikan perkara penjualan dua kapal tanker raksasa (Very Large Crude Carrier/VLCC) Pertamina, bisa dibuka kembali kalau ditemukan alat bukti yang baru.

"Namun apa pun dikemudian hari, ada alat bukti baru yang bisa menunjukkan ada kerugian negara, maka penghentian itu bisa dibuka kembali," katanya, di Jakarta, Jumat.

Sebelumnya dilaporkan, Jaksa Agung, Hendarman Supandji, menyatakan sudah menandatangani surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus penjualan dua kapal tanker raksasa (Very Large Crude Carrier/VLCC) Pertamina.

Ia menambahkan atau kalau perbuatan itu tidak hanya menimbulkan kerugian negara, tapi perekonomian negara hingga SP3 bisa dibuka kembali.

"Sejauhmana ada alat bukti baru, bisa dibuka kembali," katanya.

Dikatakan, pihaknya juga siap menghadapi pihak-pihak yang tidak setuju SP3 perkara VLCC dengan mempraperilankannya.

"Bagi mereka yang tidak sepakat, silakan mengajukan praperadilankan," katanya.

Sebelumnya dilaporkan, Jaksa Agung mengatakan dirinya melihat perkara itu ada perbuatan melawan hukum, tetapi dari perbuatan melawan hukum itu tidak menimbulkan kerugian negara.

Sebaliknya, kata dia, putusan Mahkamah Agung (MA) yang menganulir gugatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait kasus VLCC.

Kemudian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan sulit adanya kerugian negara. Jadi kalau diajukan jelas jaksa tidak bisa membuktikan kerugian negara, bisa mati berdiri karena itu hanya pelanggaran administratif," katanya.

"Senin (25/1), sudah saya turunkan (setuju usulan SP3 diserahkan ke Jampidsus)," katanya.

Kasus itu bermula saat Pertamina telah menjual dua kapal tanker raksasa yang dibangun di galangan kapal Hyundai Heavy Industries di Korea Selatan, seharga 184 juta dollar AS melalui proses tender.

Perusahaan yang membeli kapal itu asal Swedia, Frontline Ltd, karena dinyatakan sebagai pemenang dan menuntaskan transaksi penjualan saat penyerahan tanker pertama pada 9 Juli 2004.

Kemudian, penyerahan tanker kedua pada 12 September 2004.

Sementara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan proses lelang itu menyalahi Undang-Undang (UU) Persaingan Usaha.(*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009