Pangkalpinang (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia mesti berani mengambil langkah politik yang tegas dalam membangun hubungan internasionalnya, dengan mempertimbangkan hubungan lebih dekat ke AS (pro-Amerika Serikat) karena hal ini akan jauh lebih menguntungkan bagi kepentingan nasional. "Sikap pro ke-AS sama sekali bukan bermaksud mengubah struktur haluan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, tetapi semata-mata hanyalah demi kepentingan nasional sesuai dinamika perkembangan politik dan ekonomi internasional," ujar Wakil Ketua Komisi I DPR-RI Yusron Ihza Mahendra di Pangkalpinang, Rabu. Menurut dia, politik luar negeri bebas aktif mesti didefinisikan secara lebih arif, komprehensif dan lebih kontekstual, harus disesuaikan dengan dinamika politik dan ekonomi internasional serta kepentingan nasional. Hal ini dimaksudkan agar bangsa Indonesia mampu mengambil peran lebih besar dalam percaturan internasional, demi mengatasi kompleksitas permasalahan bangsa mulai dari kemiskinan, disintegrasi, lingkungan hidup sampai pada permasalahan HAM yang disorot banyak negara di dunia. Yusron mengingatkan bahwa dalam sejarah perjalanan bangsa, Indonesia pernah membangun format hubungan internasionalnya sendiri, disesuaikan dengan realitas politik dan perkembangan internasional waktu itu, seperti antara lain pernah pro-Peking (Cina) semasa pemerintahan mantan Presiden Soekarno. Terhadap kemungkinan akan menghadapi tantangan seru dari kelompok-kelompok anti-AS, terutama dari kalangan nasionalis religius apabila pemerintah secara vulgar menyatakan diri pro-AS, Yusron menilai hal itu berlebihan. "Kita harus melihatnya dari konteks dinamika politik internasional dan kepentingan nasional," katanya. Sekarang ini, menurut politisi F.PBB asal Pulau Belitung itu, gambaran wajah politik luar negeri Indonesia tidak jelas ke mana arahnya, terlihat samar tanpa kepastian mengenai arah yang dituju apakah pro-AS atau Cina, dengan demikian kebijakan politik luar negeri Indonesia saat ini tanpa harapan masa depan. Hal ini pada gilirannya nanti, akan semakin menyulitkan posisi Indonesia dalam pergaulan Internasionalnya, bila pemerintah Indonesia gagal menyikapi secara cermat situasi politik yang berkembang saat ini, yakni dunia kembali terpolarisasi mengarah pada dua kutub kekuatan AS-Cina, menggantikan polarisasi era perang dingin AS-Rusia. Justru itu, kata Yusron, pemerintah Indonesia mesti berani bersikap tegas menanggapi situasi internasional yang berkembang, dimana negara adidaya AS yang berideologi kapitalis demokrasi berhadapan dengan Cina yang masih menganut sistem ideologi komunis-otoritarian. Dalam konteks perkembangan internasional yang kembali mengarah pada dua kutub kekuatan, pemerintah Indonesia mesti melakukan pertimbangan makna secara matang dengan berdasarkan kepentingan nasionalnya, dimana hubungan lebih mesra dengan AS akan jauh lebih menguntungkan dibandingkan statusquo atau berpihak kepada Cina yang berjulukan negara tirai bambu itu.. Namun demikian, bukannya berarti mengecilkan arti Cina yang memang sedang berproses menjadi sebuah kekuatan raksasa dunia. Hanya saja AS masih memiliki pengaruh jauh lebih luas dibandingkan Cina, berhubung di belakang AS terdapat sejumlah negara-negara besar terutama Uni Eropa. Namun demikian Yusron tidak menjelaskan faktor kedekatan hubungan dengan AS akan berpengaruh terhadap peredaran politik agresif Pemerintah Australia terhadap Indonesia.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006