Jakarta (ANTARA) - Universitas Binus mulai merambah pendidikan di Metaverse dengan hadir di Nusameta, yakni dunia virtual yang diluncurkan Indonesia pada ajang KTT G20 dan B20 di Bali, pertengahan November lalu.

“Kami menjadi universitas pertama di Indonesia yang hadir di Nusameta. Ini merupakan tahap awal dari kehadiran pendidikan tinggi di Metaverse,” ujar Vice Rector Global Employability dan Entrepreneurship Universitas Binus, Prof Meyliana di Jakarta, Selasa.

Dia menambahkan setidaknya terdapat tiga komponen teknologi yang menunjang terciptanya ekosistem Metaverse. Pertama, virtual reality (VR) atau augmented reality (AR) yang memiliki dampak seolah-olah nyata, baik secara lingkungan maupun waktu.

Baca juga: Binus kenalkan kuliah daring kepada milenial Kota Semarang

Baca juga: Meta dan WIR Group berpartisipasi di G20 lewat Metaverse Corner


Berikutnya, desain 3D yang merupakan penggabungan benda-benda maya yang diproyeksikan dan ketiga, infrastruktur ABCD terdiri atas Artificial Intelligence (AI), block chain, cloud computing, dan data. Block chain dimanfaatkan sebagai media transaksi jual beli.

Dalam proyek teknologi tersebut, Binus membagi tim menjadi tiga bagian, yakni pembuat story board, 3D desain, dan imersif teknologi. Timnya merupakan gabungan dari 10 orang dosen dan 15 orang mahasiswa.

Saat ini, lanjut dia, perguruan tinggi di dunia mulai menerapkan pendidikan di Metaverse. Hal itu dikarenakan pembelajaran dinilai lebih menyenangkan bagi mahasiswa. Konsep pembelajaran dalam Metaverse menarik bagi mahasiswa.

Ketika pembelajaran tersebut menyenangkan dan mahasiswa nyaman membuat mereka semangat belajar, proses pembelajaran menjadi bermakna. Saat mahasiswa bersemangat, hasil pembelajaran pun menjadi berbeda.

Baca juga: Indonesia hadirkan pengalaman "metaverse" di G20

“Ketika pembelajaran itu dapat membuat mereka senang, gembira, tertawa, hasilnya akan baik,” kata dia.

Penerapan pendidikan di Metaverse tersebut, juga dapat membuat pembelajaran terpersonalisasi atau sesuai dengan capaian mahasiswa tersebut, karena capaian pembelajaran setiap anak atau mahasiswa berbeda satu sama lainnya.

“Jika disatukan dalam satu kelas biasanya terjadi ketimpangan. Bagi anak yang cepat menangkapnya merasa bosan, ketika guru fokus pada yang kemampuannya kurang dan mulai aneh-aneh. Sementara anak yang kemampuannya kurang baik, semakin tidak mengerti jika gurunya terlalu cepat. Konsep itu dikembangkan melalui Metaverse, sehingga anak atau mahasiswa dapat mengukur hasil belajarnya,” ujarnya.

Pewarta: Indriani
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022