Bondowoso (ANTARA) - Bulan Suci Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya dipenuhi banyak kemuliaan. Selain menjadi ajang bagi umat untuk menempa dan meningkatkan kualitas diri, di Bulan Ramadhan juga banyak peristiwa sejarah dengan taburan hikmah serta pelajaran bagi umat.

Pada tanggal 17 Ramadhan, ada peristiwa sejarah, yakni turunnya Al Quran untuk pertama kalinya. Ini merupakan sejarah teramat penting karena pada kenyataannya Al Quran menjadi pedoman jutaan, bahkan miliaran manusia di muka Bumi, hingga kini.

Hal menarik dari sejarah turunnya kitab suci orang Islam ini adalah kandungan makna dari ayat yang pertama diterima oleh Rasulullah Saw itu, yakni Al 'Alaq. Dalam surat itu, Malaikat Jibril membawa Firman Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw dengan perintah "membaca". Ayat pertama surat yang diterima Nabi Muhammad saat ber-"khalwat" atau menyendiri di Gua Hira' itu berbunyi, "Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan".

Dalam sebuah pelajaran mengenai turunnya Al Quran itu disebutkan bahwa Nabi Muhammad kebingungan saat malaikat Jibril menyampaikan pesan Allah mengenai perintah membaca itu. Nabi pun berucap "Aku tidak bisa membaca" hingga tiga kali, .

Selain berisi perintah langsung agar Nabi membaca pesan yang dibawa oleh Malaikat Jibril, ayat itu juga membawa pesan yang luas agar umat Muhammad juga terus menerus belajar, khususnya dengan membaca. Sangat jelas bahwa surat ini membawa pesan yang kini tengah gencar digerakkan oleh Pemerintah dan berbagai kalangan, yakni literasi.

KBBI menguraikan 3 makna literasi, yakni "kemampuan menulis dan membaca", "pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu" dan "kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup".

Pengertian ketiga dari literasi itu memberikan ruang lebih luas, yakni selain mendapatkan informasi lewat membaca, juga bagaimana mengolah informasi dan pengetahuan itu digunakan untuk kecakapan hidup.

Semangat literasi pada awalnya memang mengajak setiap individu untuk banyak membaca. Selanjutnya, hasil dari banyak membaca, berupa pengetahuan, dapat digunakan untuk mengembangkan kualitas diri dengan ikut mewarnai perjalanan hidup berbangsa dan bernegara.

Pengembangan kualitas diri merupakan bidang lain dari sekadar memenuhi otak atau pikiran kita dengan pengetahuan. Ini juga mengisi jiwa dengan semangat kebaikan bersama, yang sesuai dengan perintah Allah dalam Ayat 1 Surat Al 'Alaq, yakni "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan".

Makna "dengan (menyebut) nama Tuhanmu" ini adalah bagaimana manusia dengan status sebagai "khalifah fil ardl" atau wakil Allah di muka Bumi selalu membaca (yang tertulis dalam teks maupun dalam pelajaran di fenomena kehidupan) dengan bersandar pada sifat-sifat Allah. Sifat-sifat Allah yang sangat pangkal, yang kemudian menjadi alasan alam semesta ini diciptakan oleh-Nya adalah Rahman dan Rahim.

Dalam konteks era digital saat ini, sangat penting membaca yang tertulis di media sosial, kemudian dilanjutkan dengan bacaan apa di balik yang tertulis itu, dengan didasari oleh rahman dan rahim, sehingga tidak memunculkan kegaduhan. Kegaduhan muncul akibat dari pembacaan atas fenomena, dengan melepaskan sandaran atau "dengan nama Tuhan" dalam Surat Al 'Alaq itu.

Ketika media sosial diwarnai dengan gemuruh perselisihan satu warganet dengan warganet lainnya, dapat disimpulkan bahwa dalam pembacaan atas fenomena, khususnya dalam realitas nyata yang kemudian diekspresikan lewat media sosial, tidak mengikutkan nama Tuhan di dalamnya.

Kejadian yang telah membuat luka hati antara satu dengan lainnya itu akibat kita lepas dari sifat rahman dan rahim yang sejatinya sifat paling tinggi dari Ilahi itu harus selalu menjadi penggerak kita dalam menjalankan sesuatu.

Jika pembacaan dan sikap kita atas sesuatu selalu diikuti dengan "nama Tuhan", maka semua aspek kehidupan akan diwarnai kesejukan, meskipun secara tampak mata ada konflik. Hanya saja, konflik yang dalam diri person-person yang selalu menyadari bersemayamnya sifat-sifat Tuhan dalam diri, akan selalu tampil dengan sikap sejuk dan damai.

Kecenderungan manusia untuk berkonflik satu sama lain itu agaknya merupakan perwujudan dari peringatan dalam Surat Al 'Alaq di Ayat 5, "Sekali-kali tidak. Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas".

Dengan peringatan bahwa kita memiliki potensi melampaui batas itu, maka semangat "bacalah" itu yang bisa membawa kita kembali ke rel sebagai manusia mulia dengan tugas memeragakan sifat-sifat Tuhan di muka Bumi ini.

"Bacalah" itu bukan hanya yang ada di luar, melainkan juga membaca ke dalam diri. Dalam bahasa agama, membaca ke dalam diri disebut "tafakkur" dan dalam bahasa universal disebut dengan kontemplasi.

Dengan kita lebih banyak tafakkur, maka sebetulnya tidak banyak waktu untuk berselisih dengan pihak lain, apalagi jika kesadaran tertinggi sudah bisa dirasakan bahwa sejatinya, segala sesuatu yang kita perbuat hakikatnya akan kembali kepada diri.

Ketika kita menyakiti orang lain, hanya soal waktu, hal itu akan kembali kepada kita. Sebaliknya, ketika kita menanam kebaikan untuk orang lain, maka di waktu tertentu kita juga akan memanen buah dari kebaikan itu.

Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya berisi nilai-nilai pendidikan dengan pemaknaan tidak sekadar dijalani dengan menahan diri dari makan dan minum di siang hari. Agama mengajarkan kita untuk beriktikaf di malam hari pada 10 hari terakhir bulan suci ini.
 

Copyright © ANTARA 2023