Kualitas SDM yang tidak unggul masih memiliki permasalahan dasar sama yang perlu ditelusuri satu persatu
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo meminta akademisi di Tanah Air aktif memanfaatkan data keluarga untuk kepentingan riset sehingga program-program kesehatan keluarga bisa diterapkan berdasarkan kajian ilmiah yang komprehensif.

"BKKBN punya data 500.000 yang sudah diaudit secara detail, dengan 50 variabel lebih, jumlah keluarganya ada 62 juta lebih, tinggal memilih mau variabel apa yang mau diolah, tetapi belum ada akademisi S2 dan S3 yang menggunakan data itu," kata Hasto di Jakarta, Senin.

Hasto mengatakan, apabila data tersebut dimanfaatkan secara maksimal, maka baik pemerintah, peneliti, maupun pemangku kepentingan bisa memanfaatkannya untuk mengidentifikasi berbagai akar permasalahan di bidang kesehatan, salah satunya penyebab stunting.

Baca juga: Kepala BKKBN ingatkan ibu hamil rajin periksa kadar vitamin D

"Kita ingin tahu permasalahan dasarnya apa, dan BKKBN bukan klinisi, BKKBN ingin membukakan mata, bahwa dari sekian anak yang stunting, ternyata punya permasalahan dasar yang berbeda, ada yang hormonnya terganggu, ada yang punya penyakit kronis seperti TB (tuberculosis), ada yang punya kelainan-kelainan lain, sehingga mengatasinya harus sesuai dengan klausanya," tutur dia.

"Sekarang orang booming membahas stunting, tetapi itu baru dalam tahap menentukan symptoms atau gejala, misalnya kalau pendek, ya dibuat tinggi, belum berpikir selangkah lebih maju untuk melihat permasalahan lebih dalam," imbuhnya.

Padahal, menurut Hasto, apabila permasalahan stunting bisa digali lebih dalam dengan riset yang tepat berdasarkan data keluarga, maka bisa digali mengapa kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia masih belum unggul.

Baca juga: Kepala BKKBN: Buku menu Dashat harus ada roh hidupkan pangan lokal

"Kita sering mendengar arahan bapak presiden supaya kita itu tidak hanya lari, tetapi loncat untuk meningkatkan kualitas SDM ini, sehingga tentunya stunting menjadi indikator kerja yang kita ukur bersama, dan angka 14 persen menjadi angka yang sangat ekspektatif sekali kita canangkan," ucap dia.

Menurutnya, kualitas SDM yang tidak unggul masih memiliki permasalahan dasar sama yang perlu ditelusuri satu persatu.

Ia mencontohkan data yang didapatkan dari aplikasi Elektronik siap nikah dan hamil (Elsimil) di Kabupaten Malang, dimana ada 1.109 calon pengantin (catin) yang mengisi aplikasi elsimil, dan masih ada 17 persen atau 187 orang yang menikah di bawa usia 20 tahun, serta 22 persen diantaranya atau 242 orang menderita kekurangan energi kronis (KEK).

"Ini contoh-contoh nyata karena ini data sederhana dan objektif, yang menjadi dasar dalam melakukan pendekatan treatment di lapangan. Sudah ada lebih dari 500.000 data yang masuk, oleh karena itu permasalahan gizi dan nutrisi menjadi hal yang nyata dan ada di depan mata," katanya.

Ia berharap, ke depan para akademisi bisa benar-benar memanfaatkan data yang sudah ada di BKKBN, kemudian dilakukan riset mendalam untuk menghasilkan inovasi serta revolusi kesehatan demi kualitas SDM yang lebih baik.

Baca juga: BKKBN: Pencegahan stunting penting demi Visi Indonesia Emas 2045

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Sambas
Copyright © ANTARA 2023