Stockholm/Berlin (ANTARA) - Kanselir Jerman Olaf Scholz dan Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson menyiratkan kewaspadaan terhadap pengenaan tarif pada kendaraan listrik (electric vehicle/EV) buatan China, menyusul pengumuman tentang tarif tinggi yang dikeluarkan pemerintan Amerika Serikat. 

Scholz dan Kristersson menyatakan keraguannya tentang kemungkinan penerapan tarif oleh Eropa untuk produk EV China.

Keraguan itu tercermin ketika para pemimpin ditanya pada Selasa (14/5) pada konferensi pers di Stockholm apakah mereka mendukung Uni Eropa (EU) untuk mengikuti langkah AS tersebut. 

Pada Selasa, AS mengumumkan tarif baru untuk sejumlah impor dari China, termasuk EV, selain tarif yang sudah berlaku di bawah Pasal 301.

Tarif tambahan itu akan menaikkan tarif impor EV China menjadi 100 persen tahun ini. Pada Oktober 2023, Komisi Eropa meluncurkan penyelidikan antisubsidi terhadap impor EV dari China.

"Sebanyak 50 persen impor EV dari China berasal dari merek-merek Barat yang memproduksi mobil di sana dan, dalam hal ini, mungkin ada perbedaan dibandingkan dengan Amerika Utara. Ada pertukaran dari kedua belah pihak," kata Scholz.

"Pabrikan Eropa dan bahkan beberapa pabrikan Amerika Utara sukses di pasar China, dan kita harus memperhitungkan hal itu," ujarnya, seraya menekankan pentingnya perdagangan antara Barat dan China.

Terkait bea masuk, PM Swedia menuturkan Swedia dan Jerman pada dasarnya memiliki konsensus bahwa memulai proses merusak perdagangan global merupakan ide yang buruk.

"Perang dagang yang lebih luas di mana kita saling menghalangi produk satu sama lain, pada prinsipnya, bukanlah masa depan bagi negara-negara industri besar seperti Jerman dan Swedia," kata Kristersson.

Menurut statistik dari Federasi Eropa untuk Transportasi dan Lingkungan, sekitar 20 persen mobil listrik murni yang terjual di seluruh EU tahun lalu, atau sekitar 300.000 unit, dibuat di China.

Lebih dari setengahnya berasal dari produsen mobil Barat, seperti Tesla, Dacia, dan BMW, yang memproduksi unit-unit tersebut di China untuk diekspor.
 
   Sejumlah produsen mobil besar Jerman juga mengisyaratkan penolakan terhadap kemungkinan kenaikan tarif


"Para politisi saat ini menyerukan pembatasan perdagangan terhadap produsen mobil China. Ini adalah hal yang tidak masuk akal," kata CEO BMW Oliver Zipse kepada media Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung pada Selasa.

Menurut Zipse, mengusulkan pembatasan pada EV menunjukkan tanda-tanda pandangan yang sempit,karena berisiko menimbulkan tindakan balasan dari mitra dagang, yang pada akhirnya akan menyebabkan kelangkaan bahan baku penting bagi EV Eropa.

Dia memperingatkan bahwa produsen mobil Eropa harus menahan diri untuk tidak mengulangi kesalahan pada masa lalu dalam industri otomotif.

"Pasar Eropa sebelumnya takut dibanjiri mobil murah dari Jepang, kemudian Korea (Selatan). Dan sekarang giliran China," ujarnya.

Ia menekankan bahwa pasar Eropa tidak 'dibanjiri' EV murah China, yang hanya memiliki pangsa 0,8 persen di Jerman.

Zipse memperingatkan pihak-pihak terkait agar tidak menggunakan statistik yang dangkal. Sebagai contoh, sekitar 20 persen EV di Eropa diimpor dari China tahun lalu, sementara "lebih dari separuhnya sama sekali bukan berasal dari perusahaan-perusahaan China."

Mengenai investigasi antisubsidi UE terhadap EV China, Ketua Asosiasi Industri Otomotif Jerman Hildegard Mueller mengatakan kepada Xinhua bahwa tarif dan hambatan baru bukanlah cara yang tepat untuk maju.

"Kami percaya bahwa memberlakukan tarif baru dan mengadopsi kebijakan proteksionisme timbal balik merupakan cara yang keliru," kata Mueller.

"Sebaliknya, kita perlu berbicara satu sama lain sehingga memungkinkan perusahaan-perusahaan di kedua negara memiliki kesempatan yang sama untuk saling mendekat, memproduksi di tempat tersebut dan menjual di sana," ujarnya.

 

Pewarta: Xinhua
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2024