Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah didesak meminta maaf dan memberi kompensasi kepada masyarakat Bogor atas kerugian ekonomi yang timbul akibat tidak berjalannya kegiatan ekonomi saat kunjungan Presiden AS, George Walker Bush, pada 20 Nopember 2006. Desakan disampaikan Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Yuddy Chrisnandy, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Jumat. Dia mengkritik langkah pemerintah mempersiapkan kunjungan itu dengan melakukan pengamanan sangat ketat, sehingga masyarakat di sekitar Kebon Raya Bogor (KRB) tidak memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan ekonomi. "Apa yang diperoleh dari kunjungan itu tidak sebanding dengan apa yang harus ditanggung masyarakat," katanya. Secara ekonomi, pada saat kunjungan Bush, masyarakat harus kehilangan potensi ekonomi dalam jumlah besar. Pasar-pasar harus ditutup, kios dan pedagang kaki lima juga harus menghentikan aktivitas. Kerugian akibat penutupan pasar tradisional, restoran, hotel dan Wartel jumlahnya sekitar Rp3 miliar. Selain itu, 1.600 pedagang di luar pasar tradisional, 1.000 pemilik kios serta sekitar 1.000 pedagang kaki lima harus menghentikan aktivitas sehari penuh dengan kerugian sekitar Rp6 miliar. Begitu juga wartel di Bogor yang tidak terlalu berdekatan dengan KBR harus menanggung kerugian dengan turunnya penguna jasa telekomunikasi sebesar 60 persen. Pengguna jalan tol juga turun sekitar 60 persen. Sedangkan sekitar 1.000 angkutan kota dengan setoran rata-rata Rp100 ribu hingga Rp500 ribu/hari juga harus menghentikan aktivitas. Di Terminal Baranangsiang dengan aktivitas mengangkut dan menurunkan penumpang juga harus berhenti beroperasi, tentunya juga membuat para supir, pemilik mobil dan lainnya yang terkait dengan aktivitas di sektor transportasi mengalami kerugian yang besar. Selanjutnya, kereta Api jurusan Jakarta Bogor dengan rata-rata pendapatan Rp110 juta/hari harus mengalami penurunan pendapatan menjadi hanya Rp24 juta. "Masyarakat sangat dirugikan. Semestinya pemerintah meminta maaf," kata Yuddy yang mengungkapkan pula bahwa pengamanan dan keharusan menutup aktivitas selama satu hari melebihi tindakan pemerintah saat menjadi tuan rumah KTT APEC pada 1994 yang juga dihadiri Presiden AS Bill Clinton. Pengamanan Anggota Komisi Pertahanan dan Keamanan DPR ini juga menyoroti pengerahan pasukan TNI dan Polri yang jumlahnya 15 ribu orang saat kunjungan Bush. Pengerahan sebanyak itu dinilai sangat berlebihan karena untuk mengamankan Poso hanya dikerahkan satu batalyon. Pasukan sebanyak 15 ribu orang itu berada di Ring I sebanyak 6 ribu orang, Ring II sebanyak 5.000 orang dan di Ring III sebanyak 4.000 orang. "Ketika kami tanyakan siapa yang perintahkan pengerahan pasukan sebanyak itu dan siapa yang bertanggungjawab, tidak memperoleh jawaban yang pasti," katanya. Yuddy juga menyoroti agenda yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut. Presiden dinilai kurang mengoptimalkan kunjungan itu untuk peningkatan posisi tawar Indonesia di mata AS. Bahkan sebaliknya, Indonesia ditempatkan berada di bawah AS. Dari segi agenda pembicaraan, pertemuan itu tidak optimal karena AS hanya menjanjikan bantuan 55 juta dolar AS untuk Indonesia yang diarahkan untuk bidang pendidikan, kesehatan dan pemberantasan korupsi. Namun bantuan itu baru sekadar janji yang tidak ada kepastian kapan direalisasikan. "Semestinya Presiden mendorong peningkatan kerjasama pengiriman mahasiswa Indoensia ke AS dan memberi beasiswa serta peningkatan jumlah perwira TNI dan Polri yang bersekolah di sana," katanya. Selain itu, pertemuan semestinya meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata AS untuk merevisi kontrak karya (KK) pertambangan. Dia justru menyesalkan pernyataan Presiden mengenai Irak. "Presiden menganggap masalah Irak merupakan masalah internasional. Padahal kita tahu AS menyerang Irak tanpa resolusi PBB, dan AS bertindak atas kemauan sendiri menyerang Irak. "Bagaimana mungkin Irak merupakan masalah internasional karena tindakan menyerahkan Irak diputuskan sendiri oleh AS," katanya. Dia mengemukakan pernyataan mengenai Irak dalam pertemuan dengan Bush itu menunjukkan posisi Indonesia yang lemah di mata AS. "Mestinya Indonesia mendorong agar AS mengakhiri invasi ke Irak yang telah menewaskan lebih 650 ribu orang sejak 2003," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006