Jakarta (ANTARA News) - Hak untuk dilupakan kesalahannya, right to be forgotten, yang terdapat dalam revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, atau yang lebih dikenal sebagai UU ITE, menurut pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan perlu dilakukan selama memperhatikan kepentingan publik.

“Dari sudut hukum pidana, saya kira setuju karena hukuman bertujuan untuk mengembalikan ke masyarakat, jadi, tentu hak semacam itu penting untuk orang itu,” kata Agustinus saat dihubungi melalui telepon, Senin.

Agustinus mengatakan hukuman yang diberikan bertujuan untuk resosialisasi ke masyarakat sehingga pada titik tertentu, orang yang pernah terlibat pidana dapat kembali ke masyarakat.

Tetapi, Agustinus melihat potensi masalah dalam penambahan right to be forgotten di pasal 26 tersebut. Menurutnya, penambahan dapat bersinggungan dengan kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.

Ia memberi contoh kasus pelaku kejahatan seksual yang telah selesai menjalani hukuman dan akan kembali ke masyarkat.

Masyarakat perlu tahu bahwa di lingkungan tempat tinggalnya akan dihuni oleh orang yang pernah melakukan kejahatan.

“Kepentingan publik yang diutamakan. Kalau berpotensi membahayakan, peringatan semacam itu perlu diberikan,” kata pengampu mata kuliah hukum pidana dan kriminologi itu.

Rincian mengenai hak tersebut dapat dimasukkan ke peraturan pemerintah (PP) untuk mengetahui pelaksanaan, termasuk mengatur benturan dengan hak lain, seperti kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.

Peraturan tersebut, menurut Agustinus, bertujuan untuk membangun nilai baru namun pada titik tertentu, semua pihak harus menyadari bahwa pada titik tertentu, hukuman selesai.

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2016