Canberra (ANTARA News) - Gonjang-ganjing kasus aliran dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) ke sejumlah partai dan tokoh politik peserta Pemilu 2004, terjadi karena menteri ingin membangun relasi politik. Namun perilaku ini juga jamak dilakukan para pejabat Pemda dengan partai-partai politik lokal, kata Analis Politik Universitas Airlangga (Unair), Kacung Marijan, MA, PhD, di Canberra, Selasa. "Seharusnya kasus dana DKP ini tidak boleh terjadi, terlebih lagi yang memberi menteri," katanya. Persoalannya adalah menteri berusaha membangun relasi politik dengan partai-partai politik (Parpol) sehingga kedudukannya menjadi aman. Namun ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Di daerah-daerah juga begitu, katanya. Ia mengatakan, bukan rahasia lagi jika banyak pejabat di kantor-kantor dinas Pemda memiliki relasi dengan Parpol-Parpol di daerah sehingga kasus mantan menteri DKP, Rokhmin Dahuri, merupakan fenomena gunung es padahal UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu sudah melarang dana pemerintah disumbangkan kepada Parpol. "Pasal 78 Ayat 2 UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu menyebutkan bahwa sumbangan Pemilu dari perorangan tidak boleh melebihi 100 juta rupiah dan badan hukum swasta tidak boleh melebihi 750 juta rupiah. Pasal berikutnya, yakni Pasal 80 Ayat 1, tegas melarang lembaga pemerintah menyumbang Parpol," katanya. Menurut peneliti tamu Universitas Nasional Australia (ANU) itu, UU Pemilu tersebut juga melarang peserta Pemilu menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kepentingan kampanye politik dari pihak asing atau penyumbang yang tidak jelas identitasnya, serta unsur perusahaan milik negara atau pun daerah. "Namun sekali lagi, departemen-departemen memiliki hubungan dengan Parpol bukanlah rahasia lagi. Masalahnya fenomena ini ibarat orang buang angin, terasa baunya tapi tidak jelas asalnya darimana," katanya. Kacung Marijan lebih lanjut mengatakan, dalam kasus dana DKP yang diakui Rokhmin Dahuri diberikan ke sejumlah Parpol, yang perlu terus dikejar adalah adanya pengakuan Rokhmin Dahuri bahwa dana itu diberikan karena Parpol-Parpol mengajukan proposal. "Yang perlu kita telusuri adalah pengakuan Pak Rokhmin bahwa (dana diberikan) karena dia menerima proposal dari partai-partai. Saya kira ini menarik untuk diungkap. Betul nggak itu." "Partai-partai mana saja yang menyerahkan proposal. Betul nggak lewat proposal. Ini tambah kacau lagi, la wong ini nggak boleh. Kalau perorangan saja boleh menyumbang seratus juta, nah yang disumbangkan Pak Rokhmin kan lebih dari itu. Belum lagi uangnya dari dana nonbudgeter DKP," katanya. Dalam kasus ini, sudah saatnya semua pihak transparan karena dana kampanye Parpol-Parpol peserta Pemilu seharusnya sudah diaudit Komisi Pemilihan Umum (KPU) namun yang menjadi persoalan adalah apakah Parpol-Parpol jujur dalam melaporkan semua dana yang diterima dan untuk apa dana itu digunakan, katanya. "Pak Amien Rais sudah jujur dan bagaimana dengan Parpol-Parpol lain. Tampaknya mereka belum terbuka, seperti PKS yang menerima 300 juta dari Pak Rokhmin dan PDIP 300 juta walau PDIP tidak mengakuinya. Kemana uang itu dan siapa yang menerimanya?", katanya. Kacung Marijan mengatakan, pihaknya mengkhawatirkan kemungkinan adanya pembukuan ganda di parpol-parpol sehingga boleh jadi ada sumbangan yang tadi tidak masuk dalam pendapatan namun dimasukkan sebagai pengeluaran kampanye partai seperti untuk membeli umbul-umbul, kaos dan lain-lain. "Untuk apapun dana itu dipakai, yang pasti semuanya bertujuan kampanye. Sayangnya, dalam tradisi kita pembukuan ganda tampaknya sudah dianggap wajar sehingga ada sumbangan tidak dicatat dalam pembukuan Parpol walau dipakai untuk kepentingan kampanye. Ini terjadi akibat proses pemberian sumbangan masih belum transparan," katanya. Sementara itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid di Jakarta, Senin (21/5) mengatakan, terkait dengan pengakuan Amien Rais bahwa ia telah menerima dana DKP sebesar Rp200 juta dalam pencalonan presiden 2004, tokoh nasional ini tidak dipenjara. "Dalam konteks Pak Amien Rais, saya sangat berharap, jangan sampai beliau dipenjara dan sebagainya karena beliau tokoh nasional yang sangat terhormat," katanya. Hidayat mengatakan, jika ada yang terbukti bersalah, uang yang telah diterima itu sebaiknya dikembalikan saja karena uang itu tidak digunakan untuk kepentingan pribadi Amien Rais.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007