Nuri mengakui bahwa ia sengaja datang ke arena pertandingan bridge setelah mengetahui bahwa cabang tersebut adalah satu-satunya cabang dalam ruangan yang tidak memungut bayaran alias gratis.
Jakarta,  (ANTARA News) - Arena pertandingan cabang bridge di Ballroom Jakarta International Expo (JIExpo) di Kemayoran Jakarta, Rabu, terlihat berbeda dengan cabang lainnya yang juga digelar dalam ruangan (indoor).

Penonton tidak akan menemukan atlet bertanding dan saling berhadapan dengan kartu disusun diatas meja, seperti cabang olahraga lainnya. Arena penonton ditempatkan di lantai tiga gedung, sementara arena pertandingan di lantai dua di  gedung yang  sama.

Untuk menyaksikan jalannya pertandingan, panitia memasang layar lebar dan beberapa televisi berukuran cukup besar, serta sekitar 50 kursi untuk para penonton. Yang terlihat di layar televisi tersebut bukanlah atlet yang sedang bertanding, tapi hanyalah berupa vuegraph atau tampilan kartu di layar televisi yang memperlihatkan jalannya pertandingan.

Penonton awam dipastikan akan dibuat pusing untuk memahami jalannya pertandingan jika tidak dipandu oleh mereka yang mengerti olahraga yang untuk pertama kali dipertandingkan di Asian Games itu.

Nuri, seorang wanita muda warga Depok berusia sekitar 25 tahun, adalah salah satu dari segelintir penonton yang jumlahnya tidak sampai 50 orang. Ia  mengaku datang seorang diri dan hampir tidak memahami secara mendalam jenis olahraga itu.

"Saya memang suka main kartu, termasuk main bridge, tapi belum terlalu memahami. Makanya saya datang kesini untuk ingin tahu lebih jauh," katanya.

Beruntung Nuri mendapat penjelasan dari Herry Gere, seorang panitia yang dengan suka rela menjelaskan jalannya pertandingan, aturan pertandingan, posisi tim tuan rumah Indonesia, serta peluang yang akan diraih.

Nuri mengakui bahwa ia sengaja datang ke arena pertandingan bridge setelah mengetahui bahwa cabang tersebut adalah satu-satunya cabang dalam ruangan yang tidak memungut bayaran alias gratis.  Cabang lain yang tidak memungut bayaran adalah paralayang, balap sepeda jalan raya di Subang dan kano slalom di Bendung Rentang, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
  
Tapi keingin tahuan dan rasa penasaran dengan pertandingan bridge ternyata  bukan satu-satunya alasan Nuri untuk menyambangi arena bridge.

"Saya ingin bertemu dan berfoto dengan Pak Bambang Hartono, saya dengar beliau juga memperkuat kontingen Indonesia," katanya.
   
Michael Bambang Hartono adalah salah satu atlet bridge Indonesia dan bukan saja tercatat sebagai atlet paling senior Indonesia di usia 78 tahun, tapi juga adalah orang terkaya di Indonesia, salah satu bos perusahaan rokok PT Djarum Kudus. 

Nuri tampak kecewa ketika mendapat informasi bahwa penonton ternyata tidak bisa berinteraksi langsung dengan atlet bridge karena harus bermain di ruangan khusus.

Selain Nuri, penonton lain yang penasaran dengan cabang bridge adalah Daniel (29 tahun), warga Balikpapan yang baru beberapa bulan menetap di Jakarta.

Seperti halnya Nuri, Daniel yang berdomisi di Bogor mengatakan bahwa gratis biaya masuk adalah alasannya untuk menyaksikan cabang bridge karena cabang yang populer tidak hanya mahal, tapi juga sudah tidak ada lagi tiket tersisa.
 
 "Saya sudah coba cari di internet informasi tentang harga tiket. Semuanya mahal meski bukan cabang terkenal. Akhirnya saya memilih menonton bridge, sekalian untuk belajar," katanya.

Sementara itu Herry Gere, panitia pertandingan mengakui bahwa cabang bridge bukanlah cabang populer sehingga akan sulit untuk mendatangkan penonton jika mereka harus membayar seperti cabang lainnya.
 
 "Sebagai panitia, kami berusaha agar masyarakat semakin mengenal bridge dan sekaligus menghapus stiga bahwa olahraga ini identik dengan judi," kata pria asal Padang ini.
 
Suasana di tempat penonton bridge Asian Games 2018 di Ballroom Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran, Jakarta, Rabu (22/8)

                                                                                                      Sejarah Bridge
Olahraga bridge mencatat sejarah karena untuk pertama kali dipertandingkan di Asian Games, pesta olahraga terbesar di dunia setelah Olimpiade.

Karakter khas dari cabang olahraga ini adalah atlet yang tidak kenal perbedaan usia dan batasnya hanya kemampuan fisik atlet itu sendiri. Tidak mengherankan bila atlet paling senior di cabang ini sudah berusia 85 tahun, yaitu Kong Te Yang dari Filipina, sementara yang paling junior adalah Kenneth Chan (22 tahun) dari Singapura

Khusus untuk kontingen tuan rumah Indonesia, cabang bridge mendapat tempat tersendiri, bukan hanya karena untuk pertama dipertandingkan di ajang Asian Games, tapi juga tampilnya Michael Bambang Hartono, manusia paling kaya di Tanah Air sebagai  atlet dan diandalkan untuk meraih emas di nomor supermixed team.

Bambang yang juga Ketua Federasi Bridge Asia Tenggara, ikut berjasa membujuk dan melobi Presiden Komite Olimpiade Asia (OCA) Sheik Ahmed Al-Fahad Al-Sabah agar menyetujui mempertandingkan bridge.

 "Pihak OCA awalnya sempat keberatan karena bridge dihubungkan dengan permainan judi, tapi ia akhirnya menerima setelah dijelaskan bahwa olahraga tersebut populer di negara Islam yang justru mempunyai juara dunia," kata Bambang Hartono beberapa hari menjelang upacara pembukaan Asian Games 2018.

Hendra Railis, kapten tidak bermain kontingen Indonesia mengatakan, pertandingan bridge Asian Games akan memperebutkan enam medali emas dari enam nomor pertandingan, masing-masing tiga nomor beregu dan tiga nomor pasangan.

Nomor beregu mempertandingkan beregu putra, beregu campuran dan beregu Super Mixed. Tiga nomor pasangan adalah putra, putri dan campuran.

Kelompok beregu putra diikuti 14 negara, beregu campuran delapan negara dan beregu Super Mixed 10 negara.

"Dari enam nomor yang dipertandingkan, tuan rumah menargetkan meraih dua medali emas, salah satunya adalah nomor supermixed team," kata Hendra yang akrab disapa Sine itu.
 

Pewarta: Atman Ahdiat
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018