Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menganggap berlebihan kekhawatiran terhadap UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (PM) yang memberikan banyak kemudahan kepada pemodal asing. Dalam sidang uji materiil UU PM di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa, pemerintah yang diwakili oleh Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, justru menyatakan para pemohon uji materiil tidak bisa menerangkan secara jelas kerugian konstitusional yang diderita akibat berlakunya UU tersebut. Uji materiil UU PM diajukan oleh sejumlah LSM antara lain Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM (PBHI), Walhi, serta 22 pemohon perorangan terdiri atas buruh, petani, dan pedagang tradisional yang diwakili oleh kuasa hukum mereka dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Para pemohon menilai pasal-pasal yang menjadi jantung dalam UU PM bertentangan dengan jiwa dan ruh pasal 33 UUD 1945 yang menerapkan ekonomi kerakyatan demi kemakmuran bangsa Indonesia. Beberapa pasal dalam UU PM yang dinilai pemohon bertentangan dengan UUD adalah pasal 22 ayat 1 yang sampai memberikan Hak Guna Usaha selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) selama 80 tahun, dan hak pakai selama 70 tahun kepada para pemodal, termasuk pemodal asing. Padahal, menurut para pemohon, petani yang merupakan salah satu pilar ekonomi Indonesia semakin kehilangan lahan. Menurut sensus pertanian tahun 2003 yang dikutip oleh pemohon, jumlah petani gurem yang tidak memiliki lahan meningkat sebanyak 52,7 persen selama sepuluh tahun, sejak 1993 hingga 2003. Namun, dalam keterangannya, pemerintah mengatakan pemberian hak atas tanah itu diberikan dengan persyaratan tertentu dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila penggunaannya tidak sesuai ketentuan, merugikan kepentingan umum, serta tidak sesuai dengan peraturan pertanahan di Indonesia. Selain pasal 22, pemohon juga menilai pasal 3 ayat 1 huruf d, pasal 4 ayat 2 huruf a, pasal 8 ayat 1, pasal 12 ayat 4, bertentangan dengan dengan UUD 1945. Para pemohon berpendapat UU PM berdasarkan asas liberalisasi yang bertentangan dengan semangat pasal 33 UUD 1945 yang mengutamakan ekonomi kerakyatan serta anti penjajahan dan neokolonialisme. "Kemudahan dan `privilage` bagi pemodal asing menyebabkan rakyat kecil terpaksa berhadapan dengan para pemodal besar," kata Taufik Basari dari YLBHI. Proteksi dan kemudahan yang seharusnya diberikan kepada rakyat, lanjut dia, dengan adanya UU PM justru diberikan kepada pemodal asing. Namun, menanggapi dalil pemohon, pemerintah justru berpendapat permohonan tersebut hanyalah kekhawatiran semata. Menurut Mari E Pangestu, UU PM justru dibuat untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia guna memenuhi politik ekonomi yang bertujuan memakmurkan rakyat Indonesia. Mendag mengatakan, pemerintah tidak memiliki cukup modal guna mengolah potensi ekonomi menjadi ekonomi riil sehingga masih membutuhkan modal swasta, baik asing maupun dalam negeri, untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya modal asing, lanjut dia, rakyat justru mendapatkan akses terhadap perekonomian, seperti menikmati pembangunan akses jalan di daerah terpencil. Dengan adanya UU PM, menurut Mendag, pemerintah tidak melepas perannya sebagai regulator yang mengatur agar pemberian ijin dan kemudahan kepada para pemodal tidak mengganggu kepentingan rakyat. (*)

Copyright © ANTARA 2007