Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono menegaskan Indonesia tidak mau didikte Amerika Serikat (AS) termasuk dalam pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) Tentara Nasional Indonesia (TNI). "Tidak benar dan tidak akan mau kita didikte AS, termasuk dalam hal pengadaan persenjataan," katanya, ketika ditemui wartawan di tempat kerjanya di Jakarta, Selasa. Juwono menegaskan, kemitraan antara RI dengan AS telah berjalan baik setelah sebelumnya negara adikuasa itu memberlakukan embargo militer kepada Indonesia terkait isu pelanggaran HAM berat di Timor-Timur (kini Timor Leste). Namun, tambah Juwono, dengan pencabutan embargo pada November 2005 tersebut bukan berarti AS dapat mendikte atau melakukan berbagai tekanan kepada Indonesia termasuk dalam hal pengadaan persenjataan bagi TNI. "Apa yang telah kita sepakati dalam kerangka kerja sama pertahanan pasca pencabutan embargo militer AS, merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk menjaga kemitraan dan kerja sama dengan AS. Kita akan selalu menjaga kemitraan dan kerja sama dengan semua negara termasuk dengan AS," katanya. Dalam pertemuannya selama sekitar 60 menit dengan Menhan AS Robert Gates pada Senin (25/2), AS menyampaikan kembali penghargaannya kepada Indonesia yang telah berhasil melakukan reformasi militer dan penegakan demokrasi dan HAM. Indonesia di mata AS, lanjut Juwono, juga telah mampu mendukung proses penguatan tatanan sipil dengan tidak lagi melibatkan militer dalam kegiatan politik praktis. "Tidak itu saja, AS juga melihat militer Indonesia telah berhasil mendukung terwujudnya tata pemerintahan sipil dan pembangunan ekonomi menjadi lebih baik. Itu semua merupakan bentuk dasar-dasar demokrasi modern," tutur mantan Dubes RI untuk Inggris itu. Di bidang teknis kemiliteran, AS kembali menawarkan Block 52 F-16 Fighting Falcon C/D multi role dan pesawat angkut berat 130-J Hercules, termasuk untuk meningkatkan (upgrade) kapasitas pesawat sejenis tipe A/B yang telah dimiliki TNI Angkatan Udara (AU). "Semua tawaran itu, kini sedang kita pertimbangkan mengingat keterbatasan anggaran yang kita miliki," ujarnya. Menhan mengakui, pengadaan senjata baik dari barat (AS dan sekutunya) maupun dari Rusia, sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Pengadaan alutsista dari barat sangat rawan dengan embargo, sedangkan dari timur khususnya Rusia, kini terganjal situasi stabilitas politik dalam negeri Rusia dan kawasan, ucapnya. Di sisi keamanan maritim, lanjut Juwono, AS memastikan untuk tetap membantu meningkatkan daya mampu RI dalam mengamankan wilayah perairannya, baik di Selat Malaka maupun di Selat Makassar. "Posisi Indonesia terletak di jalur pelayaran niaga dunia yang mayoritas digunakan negara-negara penyokong perekonomian AS terbesar yakni Korea Selatan, China dan Jepang. Jadi, itu tetap jadi kepedulian mereka untuk membantu RI mengamankan wilayah perairannya," katanya. Untuk mendukung keamanan maritim di kawasan Asia Tenggara, pemerintah AS telah memberikan bantuan lima radar intai di sepanjang Selat Malaka, untuk mengamankan selat terpadat di dunia tersebut. Pembangunan lima radar yang terintegrasi dalam sistem pengintaian maritim terintegrasi (Integrated Maritime Surveillance System/IMSS), hingga kini masih terus berjalan. Sementara empat radar Indonesia di Selat Malaka telah selesai pembangunannya. Pembangunan radar sejenis, juga akan dilakukan di Selat Makassar sebanyak tujuh unit. "Semua radar hibah dari AS itu, sepenuhnya akan dioperasikan oleh aparat TNI AL dan instansi terkait lainnya. Tidak ada petugas dari mereka, ini kan wilayah kita jadi seluruh radar hibah AS itu, akan dioperasikan oleh orang-orang kita bukan mereka (AS)," tutur Menhan menegaskan. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008