Jakarta (ANTARA News) - Usai sudah gegap gempita rangkaian pesta kelautan pada 2009, yang dimulai dengan Konferensi Kelautan Dunia, Konferensi Tingkat Tinggi Segitiga Terumbu Karang, hingga usainya Pelayaran Bunaken yang digelar di Manado, Sulawesi Utara.

Tanggal 19 Agustus merupakan puncak segala kegiatan yang terangkum dalam ajang tahunan "Sail Indonesia" itu, yaitu ketika digelar "International Fleet Review", alias pawai kapal internasional.

Pawai kapal itu menampilkan 27 kapal perang dari 14 negara, tiga kapal layar tiang tinggi (tallship), 42 kapal layar (yacht), 15 kapal pemerintah, dan 40 kapal perikanan yang didalamnya terdiri atas kapal pengawas perikanan Departemen Kelautan Perikanan (DKP) dan kapal-kapal nelayan.

Acara konvoi itu diakui sebagai "fleet review" terbesar di dunia, yang di dalamnya turut serta sekitar 8.000 pelaut dari 33 negara peserta yang sebagian hadir tanpa membawa kapal perangnya.

Sedangkan reli yacht yang menjadi alasan utama diadakannya "Sail Bunaken" 2009 diikuti 163 yachter, komunitas kapal layar, dari 25 negara. Acara itu diaku sebagai reli terbesar kedua di dunia setelah "Atlantic Rally".

Mengambil rute mengelilingi sebagian besar perairan Indonesia, para yachter menyinggahi 18 kota di tanah air.

Rangkaian pesta kelautan bertaraf internasional di Manado itu bukanlah pesta berbiaya rendah.

Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi yang menjadi Ketua Panitia Nasional semua acara itu mengatakan, dana yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Pemda), dan pihak swasta pada pelaksanaan konferensi kelautan dan pertemuan terumbu karang pada Mei itu mencapai Rp1,8 triliun.

Sedangkan dana yang dikeluarkan Pemerintah Pusat untuk pelaksaan Pelayaran Bunaken, 12-20 Agustus, sekitar Rp41 miliar, dengan perincian Rp11 miliar dari anggaran DKP dan Rp30 miliar dari TNI yang diambilkan dari anggaran Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat.

Walau pun ia belum dapat memberikan jawaban hasil dari pelaksanaan "Sail Bunaken", tetapi ia memberikan gambaran bagaimana keuntungan yang telah diperoleh daerah setempat yang mencapai Rp3 triliun.

Pertumbuhan ekonomi provinsi yang juga dikenal sebagai daerah nyiur melambai itu menurut Menteri Kelautan dan Perikanan mencapai delapan persen usai pelaksanaan konferensi kelautan tersebut.

Dana bagi pelaksanaan Konferensi Kelautan Dunia dan Konferensi Tingkat Tinggi Segitiga Terumbu Karang sebagian besar dialirkan untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas, berupa pelebaran jalan dari Bandar Udara Sam Ratulangi menuju dalam kota Manado, pengaspalan jalan-jalan tikus di kota Manado, pembangunan hotel-hotel berbintang, pembangunan Grand Kawanua Convention Center (GKCC), hingga pembangunan shelter dan pengadaan bus TransKawanua.

Untuk "Sail Bunaken", tidak banyak dana terbuang untuk infrastruktur maupun fasilitas mengingat semua memanfaatkan peninggalan kegiatan sebelumnya.

Dana terbesar justru digunakan untuk mendukung TNI AL mendanai bahan bakar kapal dan pesawat TNI untuk pelaksanaan pawai kapal, termasuk penyewaan perlengkapan selam untuk pemecahan rekor selam.

Sekretaris Panitia Nasional "Sail Bunaken" Aji Sularso memperkirakan perolehan daerah yang disinggahi reli yacht akan meningkat, karena tiap peserta reli itu akan membelanjakan uang 100 dolar per hari.

Reli yacht yang diikuti 510 orang peserta menyinggahi 18 kota selama empat bulan, sehingga total perolehan akan mencapai Rp61 miliar.

Harap dan Kecewa

Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Sarundajang mengakui bahwa pelaksanaan "Sail Bunaken" akan berpengaruh pada kemajuan di sektor pariwisata sehingga berdampak positif pada perekonomian daerahnya.

Ia pun sadar upaya memajukan kepariwisataan di daerahnya harus didukung oleh berbagai pihak yang kompeten, termasuk peran investor dan masyarakat.

Karena itu, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) dan Dinas Kebudayaan Pariwisata Sulawesi Utara menjadi pihak yang sangat dinantikan keterlibatannya mensukseskan acara Pelayaran Bunaken tersebut.

Hal itu tidak lain karena hanya dua pihak itu yang memiliki kemampuan dan wewenang dalam mengolah, menata, dan merangkum acara pendukung yang menarik untuk memancing kehadiran wisatawan asing maupun domestik lebih besar.

Namun, saat pelaksanaan, jarang terlihat wisatawan asing "berkeliaran" selama tujuh hari pelaksaan ajang kelautan tahunan tersebut.

Penciptaan kegiatan pendukung, seperti "Festival Budaya dan Makanan", "Bunaken Expo", kunjungan ke kapal perang, hingga kehadiran kapal induk Amerika Serikat USS George Washington hanya mampu mendongkrak perhatian masyarakat Manado dan sekitarnya.

Padahal, bukan hanya Menteri Kelautan dan Perikanan yang menegaskan kegiatan internasional tersebut mampu menjadikan Manado sebagai daerah tujuan wisata dunia setelah Bali.

Pada kenyataannya, banyak yang kecewa akibat minimnya informasi yang dikemas menarik untuk mempromosikan rangkaian acara penunjang "Sail Bunaken" yang bisa diakses wisatawan asing maupun domestik.

Juga keluhan mengenai kurangnya fasilitas pendukung, seperti transportasi untuk menjangkau kegiatan pendukung, dari yang berada di pusat kota Manado hingga di Pelabuhan Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan di Bitung, tempat para yachter bertambat.

Suami istri Maureen dan Greg Zolkowski, pelaku usaha di bidang hiburan, mengatakan kekecewaan mereka.

Menurut Maureen, istrinya telah mendatangkan peralatan sistem suara, lengkap dengan peralatan band, lampu panggung yang atraktif hingga lampu soklay untuk mengundang perhatian penjunjung ke Pelabuhan Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan Bitung.

Tapi usaha yang menghabiskan dana ratusan juta rupiah tersebut sia-sia.

"Tidak ada pengujung yang datang menonton sejak hari pertama. Istri saya sudah mengeluarkan uang ratusan juta untuk membawa ini semua ke sini dari Jakarta," ujar dia.

Tenda yang disediakan di salah satu lahan kosong di pelabuhan pengawas DKP tersebut benar-benar kosong tanpa pengunjung, hanya pemain band, yang rata-rata orang asing, yang duduk menunggu giliran pentas dan sekadar berbincang dengan sesama musisi lainnya.

Tidak heran ketika Greg kemudian menyalahkan panitia kemudian terbukti tidak menginformasikan keberadaan mereka untuk menghibur yachter, para pelaut, hingga masyarakat sekitar lokasi tersebut.

Greg, warga negara Amerika Serikat yang bekerja di Jakarta International School (JIS), mengaku mendatangi Pelabuhan Penumpang Bitung untuk mencari panitia untuk meminta informasi apakah keberadaan mereka di Pelabuhan Pengawasan milik DKP tersebut benar-benar diinformasikan atau dipromosikan kepada masyarakat, pelaut, maupun wisatawan yang hadir di Bitung.

Namun, kata Greg, ia harus menelan kekecewaan lebih besar, karena tidak satu orang pun dapat memberikan informasi tersebut, bahkan ia dilempar ke bagian imigrasi yang tidak ada kaitannya dengan urusan hiburan.

Kekesalan yang sama juga disampaikan Chico Hindarto dari PT Satria Cendekia Utama yang datang ke Bitung mendatangkan bahan-bahan makanan beserta alat memasak untuk menyajikan sejumlah menu kepada para pengunjung.

"Kami diberitahu panitia bahwa jumlah pelaut saja akan mencapai 8.000 orang, belum ditambah masyarakat setempat dan wisatawan asing maupun domestik. Bayangan kami, paling tidak kami bisa menjaring 1.000 pembeli. Ttapi ternyata tidak satu pun yang datang," ujar dia.

Maka, pada hari ke-6 kegiatan "Sail Bunaken", mereka memutuskan menghentikan kegiatan di pelabuhan pengawasan DKP tersebut, dan kembali ke Jakarta.

Kekecewaan juga disampaikan seorang turis asal Prancis yang merasa tertipu karena penjual kerajianan tangan memberikan harga tinggi. Atau keluhan dari wisatawan lokal merasa tertipu karena harga sewa peralatan snorkling di sebuah penyewaan di Bunaken, naik dua kali lipat.

Peristiwa tersebut berbanding terbalik dengan optimisme Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulut Boyke Rompas yang mengatakan, pelaksanaan Sail Bunaken merupakan salah satu promosi bagi pariwisata Sulawesi Utara ke berbagai negara di dunia.

Kalau perasaan tertipu dan kesal yang dibawa dari Bunaken, bisakah para wisatawan tersebut menyampaikan kabar baik tentang Bunaken kepada rekannya yang berniat ke Bali?

Selama kegiatan itu berlangsung, juga sulit menemukan brosur yang menawarkan paket-paket wisata bagi turis-turis domestik maupun mancanegara.

Padahal, banyak tempat yang bisa ditawarkan kepada turis, seperti Danau Tondano, peninggalan prasejarah Waruga di Air Madidi, kota bunga Tomohon, Taman Nasional Laut Bunaken, atau kegiatan pendukung di pusat kota Manado maupun Bitung.

Banyak harapan, kekecewaan, dan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan setelah pesta itu usai.
(*)

Oleh Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009