Nairobi (ANTARA News/AFP) - Militer pemerintah Somalia tidak efisien dan korup meski mendapat bantuan internasional, dan mereka tetap bergantung pada pasukan asing, demikian kesimpulan para ahli PBB dalam sebuah laporan.

Dalam laporan yang disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB pekan ini, Kelompok Pemantau Somalia juga mengatakan, Eritrea terus mendukung milisi-milisi garis keras bersenjata yang memerangi pemerintah Somalia, dalam pelanggaran atas embargo senjata.

"Meski mendapat bantuan dan pelatihan asing, pasukan keamanan pemerintah (Somalia) tetap tidak efisien, kacau dan korup," kata laporan itu.

Pemerintah Transisi Federal Somalia yang didukung internasional terkurung di sebuah daerah kecil di ibukota, Mogadishu, akibat pemberontakan yang diluncurkan oleh kelompok-kelompok garis keras Al-Shabaab dan sekutunya yang lebih politis, Hezb al-Islam, pada Mei 2009.

Al-Shabaab kini menguasai sebagian besar wilayah tengah dan selatan Somalia.

Laporan kelompok pemantau PBB itu mengatakan, "Kebuntuan militer itu sedikit lebih mencerminkan kekuatan oposisi ketimbang kelemahan Pemerintah Transisi Federal."

Laporan itu menyebut pasukan pemerintah sebagai "gabungan dari milisi-milisi independen yang setia pada pejabat tinggi pemerintah dan perwira militer yang memperoleh keuntungan dari bisnis perang dan menolak penyatuan mereka di bawah satu komando".

Kelompok PBB itu mengatakan pada November lalu, pemerintah memiliki sekitar 2.900 prajurit operasional meski mereka juga bisa bergantung pada dukungan dari sejumlah milisi Mogadishu yang diperkirakan mencapai antara 5.000 dan 10.000 orang.

Namun, PBB menyimpulkan bahwa pemerintah Somalia "cenderung menggantungkan kehidupannya pada operasi kecil pendukung perdamaian Uni Afrika AMISOM, ketimbang pada pasukannya sendiri".

AMISOM saat ini mencakup sekitar 5.000 prajurit Uganda dan Burundi, yang memukul balik serangan-serangan hampir setiap hari terhadap pemerintah Somalia oleh gerilyawan Al-Shabaab.

Laporan itu juga menyebutkan, "Pemerintah Eritrea terus memberikan bantuan politik, diplomatik dan keuangan serta mungkin militer kepada kelompok-kelompok oposisi bersenjata di Somalia."

Bantuan Eritrea itu melanggar sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB 2008 yang memperketat embargo senjata dan menetapkan larangan-larangan lain terhadap kelompok bersenjata di Somalia.

Al-Shabaab dan Hezb al-Islam berusaha menggulingkan pemerintah Presiden Sharif Sheikh Ahmed ketika mereka meluncurkan ofensif mematikan pada Mei tahun lalu.

Mereka menghadapi perlawanan sengit dari kelompok milisi pro-pemerintah yang menentang pemberlakuan hukum Islam yang ketat di wilayah Somalia tengah dan selatan yang mereka kuasai.

Al-Shabaab dan kelompok gerilya garis keras lain ingin memberlakukan hukum sharia yang ketat di Somalia dan juga telah melakukan eksekusi-eksekusi, pelemparan batu dan amputasi di wilayah selatan dan tengah.

Somalia dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Penculikan, kekerasan mematikan dan perompakan melanda negara tersebut.

Sejak awal 2007, gerilyawan menggunakan taktik bergaya Irak, termasuk serangan-serangan bom dan pembunuhan pejabat, pekerja bantuan, intelektual dan prajurit Ethiopia.

Ribuan orang tewas dan sekitar satu juta orang hidup di tempat-tempat pengungsian di dalam negeri akibat konflik tersebut.

Pemerintah sementara telah menandatangani perjanjian perdamaian dengan sejumlah tokoh oposisi, namun kesepakatan itu ditolak oleh Al-Shabaab dan kelompok-kelompok lain oposisi yang berhaluan keras.

Pemerintah transisi hanya menguasai sejumlah kecil wilayah di Mogadishu, ibukota Somalia, dan sisanya dikuasai Al-Shabaab yang diilhami Al-Qaeda dan kelompok lebih politis Hezb al-Islam.

Washington menyebut Al-Shabaab sebagai sebuah organisasi teroris yang memiliki hubungan dekat dengan jaringan al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Gerilyawan muslim garis keras, yang meluncurkan ofensif sejak 7 Mei untuk menggulingkan pemerintah sementara dukungan PBB yang dipimpin oleh tokoh moderat Sharif Ahmed, meningkatkan serangan-serangan mereka.

Tiga pejabat penting tewas dalam beberapa hari sejak itu, yang mencakup seorang anggota parlemen, seorang komandan kepolisian Mogadishu dan seorang menteri yang terbunuh dalam serangan bom bunuh diri.

Selain pemberontakan berdarah, pemerintah Somalia juga menghadapi rangkaian perompakan di lepas pantai negara Tanduk Afrika itu. (M014/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010