Singapura (ANTARA) - Rubel Rusia jatuh ke rekor terendah terhadap dolar pada Senin pagi, setelah negara-negara Barat mengumumkan serangkaian sanksi keras selama akhir pekan untuk menghukum Rusia atas invasinya ke Ukraina, termasuk sanksi terhadap cadangan mata uang negara itu.

Kurs dolar/rubel naik 41,50 persen pada rekor 119,00 per dolar, di perdagangan Asia. Sejauh bulan ini, dolar naik 53,77 persen versus rubel.

Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan komando militernya untuk menempatkan angkatan bersenjata nuklir dalam siaga tinggi pada Minggu (27/2/2022), sebagai tanggapan atas pembalasan Barat atas perangnya di Ukraina - serangan terbesar di negara Eropa sejak Perang Dunia Kedua.

Bank sentral Rusia mengumumkan sejumlah langkah pada Minggu (27/2/2022) untuk mendukung pasar domestik, karena bergegas untuk mengelola dampak sanksi yang akan memblokir beberapa bank dari sistem pembayaran internasional SWIFT.

Bank sentral mengatakan akan melanjutkan pembelian emas di pasar domestik, meluncurkan lelang pembelian kembali tanpa batas dan mengurangi pembatasan posisi mata uang asing terbuka bank.

Mata uang telah menemukan beberapa dukungan minggu lalu dari intervensi mata uang bank sentral Rusia pertama sejak 2014, ketika Rusia mencaplok Krimea dari Ukraina.

Analis di Rabobank mengatakan sanksi pada cadangan mata uang menghilangkan sedikit dukungan yang dimiliki rubel.

"Bahkan emas tidak likuid jika tidak ada yang bisa menggunakan valas sebagai gantinya. Akan ada keruntuhan total pada rubel hari ini..." tulis mereka.

Ray Attrill, kepala strategi valas di National Australia Bank, mengatakan dalam sebuah catatan pada Minggu (27/2/2022), "runtuhnya rubel tampaknya tak terhindarkan pada Senin pagi", dan ada peningkatan risiko default utang Rusia sebagai hasil dari perkembangan akhir pekan.

"Untuk rubel sementara Anda mungkin melihatnya harus menjual sedikit, saya benar-benar ragu Anda akan melihat orang memasang taruhan baru untuk menjual rubel pada level ini - jadi Anda mungkin melihatnya melemah, tetapi saya tidak berpikir Anda akan melihat orang-orang bertransaksi sebanyak itu," kata Peter Kinsella, kepala strategi valas global di UBP yang berbasis di London.

"Ada kekurangan likuiditas secara umum, dan di mana Anda melihat likuiditas itu adalah satu sisi, condong ke penjual rubel. Ini akan rumit, saya bisa melihat rubel melemah cukup parah - tapi hanya karena melemah bukan berarti transaksinya akan berat."

Baca juga: Euro dan saham berjangka AS merosot karena risiko Ukraina meningkat
Baca juga: Emas melonjak karena daya tariknya terangkat di tengah krisis Ukraina
Baca juga: Harga minyak melonjak dan rubel jatuh saat risiko krisis Ukraina naik

 

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022