Pekanbaru (ANTARA) - Inflasi tinggi menjadi masalah serius yang harus segera diatasi Pemerintah Provinsi Riau saat ini, agar daya beli masyarakat tidak digerogoti penurunan nilai uang tersebut.

Prioritas utamanya menyelamatkan masyarakat agar tidak jatuh ke jurang kemiskinan setelah terkena dampak pandemi COVID-19. Riau bulan lalu dilanda inflasi 7,04 persen, jauh lebih tinggi dibanding inflasi nasional, 4,94 persen (year on year) pada Juli 2022.

Inflasi setinggi itu menjadikan Riau masuk lima besar provinsi tertinggi inflasi di Indonesia, berada di urutan ke-4. Lima provinsi tertinggi inflasi di Indonesia yakni berasal dari Pulau Sumatera, yakni Provinsi Jambi 8,22 persen, Sumatera Barat (8,01 persen), Bangka Belitung (7,77 persen), Riau (7,04 persen), dan Aceh tercatat mengalami inflasi 6,697 persen.

Inflasi di Indonesia umumnya disebabkan oleh pergerakan harga pangan dan kenaikan harga oleh komoditas yang diatur pemerintah (administered price), seperti listrik dan bahan bakar.

Salah satu penyebab inflasi di Provinsi Riau adalah gejolak harga komoditas pangan, seperti harga cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah, sebagai akibat kenaikan harga pupuk dan sarana produksi lainnya, serta peningkatan curah hujan di wilayah sentra.

Provinsi Riau memang tidak sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri, sebagian besar dipasok dari Sumatera Barat dan Sumatera Utara, serta dari Pulau Jawa.

Kondisi cuaca di daerah penghasil kebutuhan pangan Riau sangat menentukan gejolak harga di provinsi ini, ditambah dengan biaya transportasi yang meningkat karena adanya kelangkaan bahan bakar.

Dampak dari kondisi tersebut menimbulkan terganggunya distribusi, sedangkan Riau bukan daerah produsen komoditas pangan sehingga kenaikan harga pangan, yang memicu inflasi, tidak bisa dielakkan.

Inflasi yang tinggi akan menurunkan daya beli masyarakat, meningkatkan suku bunga, serta meningkatkan pengangguran dan kemiskinan. Oleh karena itu Gubernur Riau Syamsuar mengajak jajarannya bekerja keras mengendalikan inflasi.

Pemerintah daerah tidak boleh kerja biasa-biasa saja, harus bekerja di luar standar biasanya. "Artinya, harus ada inovasi dan terobosan-terobosan untuk mengendalikan laju inflasi," katanya.

Kalau tidak begitu, Pemerintah Provinsi Riau bakal kesulitan mengendalikan harga, yang nantinya berpengaruh pada daya beli masyarakat dan meningkatnya angka kemiskinan.

Pertumbuhan ekonomi Riau saat ini memang lebih baik, namun laju inflasi harus ditekan sesuai harapan Presiden RI Joko Widodo yang mematok di bawah angka 5 persen.

Inflasi Indonesia pada Juli 2022 mencapai 4,94 persen atau masih lebih rendah dibandingkan Korsel 6,3 persen, Singapura 6,7 persen, India 6,7 persen, Thailand 7,7 persen, Amerika Serikat 8,5 persen, Uni Eropa 8,9 persen. dan Turki 97,6 persen.

Meski demikian, inflasi pada Juli 2022 perlu dijadikan peringatan dini agar tidak kembali naik pada bulan-bulan mendatang. Apalagi Pemerintah sudah menyiratkan sinyal segera menyesuaikan harga BBM untuk menekan besaran belanja subsidi sektor energi.

Presiden Joko Widodo sebelumnya memberi arahan bahwa inflasi setiap daerah harus di bawah 5 persen. Untuk itu, Pemerintah Provinsi Riau saat ini berupaya menekan laju inflasi dengan melakukan beberapa tindakan cepat, antara lain, melakukan operasi pasar murah serta melakukan penanaman cabai di lingkungan permukiman masing-masing.

Upaya selanjutnya adalah menggerakkan badan usaha milik desa (BUM-Des) untuk mengembangkan usaha pertanian pangan, khususnya cabai guna mendukung kestabilan harga serta persediaan cabai. Kebijakan tersebut sebagai bentuk kepedulian terhadap kebutuhan masyarakat. Dinas Pangan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau melaksanakan program tersebut dengan didukung Perwakilan Bank Indonesia.

Mengatasi kelangkaan cabai dan lonjakan harga -- mulai dari Rp46.000/kg hingga mencapai Rp92.000 /kg --, Pemerintah Provinsi Riau juga berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten dan kota, antara lain, dengan melakukan penanaman cabai pada lahan-lahan milik dinas di lingkungan pemerintah.

Demikian pula dengan BUMD, mereka bisa melakukan transaksi bisnis komoditas pertanian dengan Gapoktan di daerah sentra penghasil cabai di Sumatera Barat dan Sumatera Utara untuk memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan cabai di Riau.

Dalam jangka panjang perlu mengenalkan penggunaan cabai kering untuk olahan makanan di Riau sehingga ketika harga anjlok, produksi cabai kering bisa dihasilkan dan ketika harga mahal, pasokan cabai bisa ditambah dari stok cabai kering yang ada.

Distribusi cabai gratis

Pemerintah Provinsi Riau membagikan 65.000 bibit dalam polybag kepada ASN, kelompok wanita tani, dan masyarakat guna menjaga kestabilan harga serta persediaan pangan khususnya cabai. Langkah ini nantinya diharapkan bisa menekan laju inflasi di daerah ini.

Pembagian bibit cabai gratis untuk menambah pasokan, apalagi sebagian besar masyarakat Riau menggemari masakan pedas. Kebutuhan akan cabai khususnya di Riau terus meningkat, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Namun produksi cabai di Riau masih tergolong rendah. Kebutuhan cabai merah untuk Riau sekitar 29.193 ton dengan asumsi konsumsi mencapai 4,53 kg/kapita/tahun.

Sementara itu produksi pada tahun 2021 tercatat sebanyak 14.097 ton dengan luas panen 1.555 hektare. Artinya rata-rata produktivitas 8,4 ton/ha sehingga terdapat kekurangan sebesar 15.096 ton (51,71 persen). Kekurangan inilah yang harus dipenuhi dari provinsi tetangga seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, Lampung, dan Jawa.

Kondisi kekurangan komoditas pangan itu terus berlangsung sehingga harga cabai berfluktuasi, tergantung dari harga di tingkat petani, ditambah dengan margin pemasaran, hingga cabai sampai di tangan konsumen Riau.

Pembagian bibit cabai tersebut dilakukan secara bertahap di seluruh kabupaten/kota dengan prioritas terutama di kota yang memberi andil tinggi inflasi yaitu Pekanbaru, Dumai, dan Kabupaten Indragiri Hilir.

Dari 65.00 bibit itu, 30.000 bibit diserahkan kepada kelompok tani binaan BI, 20 ribu diserahkan kepada ASN lingkup Pemerintah Provinsi Riau, dan 15.000 bibit di polybag untuk kelompok wanita tani (KWT) dan masyarakat di Kota Pekanbaru, Kota Dumai, dan Indragiri Hilir.

Ekonom Universitas Riau Dr. Dahlan Tampubolon menilai Pemerintah Provinsi Riau telah melakukan langkah konkret dengan menyediakan produksi lokal buah dan sayur untuk mengantisipasi lonjakan harga dengan Pasar Mitra Tani yang dilaksanakan di Balai Penyuluhan. Tujuannya, selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat juga untuk meningkatkan kesejahteraan petani sehingga petani tidak beralih pekerjaan ke sektor lain.

Selain menganjurkan petani menanam cabai, pemerintah harus menjamin harga jual petani jangan sampai anjlok agar petani tidak rugi. Walaupun harga ditentukan oleh mekanisme pasar, pemerintah daerah harus menyiapkan stok penyangga. Tujuannya, ketika panen cabai melimpah kemudian ditampung dan mendistribusikan ke daerah yang kekurangan melalui sistem informasi produksi dan kebutuhan pangan.

Selain sektor perkebunan, menggenjot sektor pertanian pangan menjadi penting bagi Riau saat ini karena pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama sangat rendah, sedangkan inflasi periode berjalan relatif tinggi.

Bila harga BBM benar diberlakukan maka bakal memicu kenaikan harga barang dan jasa lainnya. Oleh karena itu, menanam cabai di pekarangan rumah masing-masing bisa dijadikan solusi jangka pendek terutama bagi masyarakat perkotaan.

Langkah sederhana menanam cabai di pekarangan rumah bisa berdampak besar, seperti menekan inflasi daerah, asal dilakukan bersama-sama dan berkelanjutan.

Tanpa kebersamaan tersebut, harga cabai bisa kembali menjadi pemicu inflasi di Riau.


 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022