"The Point Men" tetap menjadi tontonan yang asyik dan menghibur
Jakarta (ANTARA) - Begitu lampu teater dipadamkan, adegan pertama film "The Point Men" langsung dibuka dengan ketegangan di mana 23 misionaris Korea Selatan melintasi jalan dengan menaiki bus di tengah gurun. Mereka dicegat oleh pasukan Taliban. Adegan tembakan diluncurkan dan dengan segera 23 misionaris dipindahkan ke kendaraan lain, hendak ditahan entah ke mana, sementara bus yang mereka tumpangi ludes dibakar.

Singkat cerita, adegan beralih pada kepanikan orang-orang di pemerintahan Korea Selatan, termasuk Jung Jae-ho (Hwang Jung-min) yang merupakan diplomat ulung dari kementerian luar negeri. Dia pun ditugaskan pemerintah Korea Selatan untuk menjadi negosiator ke pemerintah Afghanistan untuk menyelamatkan 23 tawanan tersebut. Tetapi, usaha pertama gagal. Kesepakatan tak menemui titik terang.

Di sisi lain, intelijen dari Badan Intelijen Nasional (NIS) Park Dae-sik (Hyun Bin) pun juga ditugaskan. Dae-sik dikenal ahli dalam masalah Timur Tengah dan Asia Tengah. Dia punya cara sendiri dan lebih suka menjalankan caranya sendiri dalam mengupayakan pembebasan tawanan Korea Selatan.

Baca juga: Lee Dong-hwi & Jung Eun-chae jadi sepasang kekasih di film baru

Jae-ho dan Dae-sik bertemu, namun prinsip mereka berbeda sehingga sulit untuk bekerja sama. Jae-ho sangat memedulikan negosiasi dengan tetap memperhatikan citra Korea Selatan di dunia sehingga langkah yang diambil cenderung hati-hari. Sementara Dae-sik sebaliknya. Hingga di satu titik keduanya mulai percaya dan terbuka satu sama lain. Masing-masing mulai memahami jalan berbeda yang ditempuh.
 
Hyun Bin dalam film "The Point Men" (2023). (ANTARA/HO-via KOFIC)


Negosiasi pertama sudah gagal. Kesempatan kedua dengan cara lain juga gagal. Upaya ketiga juga gagal. Sementara mereka berkejaran dengan tenggat waktu yang diberikan pihak Taliban yang semakin mepet. Pihak Taliban ingin Korea Selatan membebaskan tawanan Taliban dari Qabul, tetapi hal itu mustahil untuk dilakukan menimbang kepentingan negara Korea Selatan.

Film ini penuh dengan intrik politik di mana penonton bisa menyimak bagaimana alotnya negosiasi yang dilakukan. Apalagi peristiwa ini didasarkan pada kisah nyata yang terjadi pada 2007, walau unsur fiksi ditambahkan sebagai daya tarik cerita.

Diceritakan dalam film tersebut, pemerintah Korea Selatan notabene menjadi sekutu Amerika Serikat dan Taliban juga tidak menyukai misionaris sebab keyakinan agama yang menurut mereka tak bisa ditoleransi. Upaya membebaskan 23 misionaris oleh Korea Selatan di satu sisi jadi tugas kemanusiaan, tapi di sisi lain kepentingan politik bermain di antaranya.

Karena jalan negosiasi yang ditempuh Jae-ho gagal berkali-kali, dia pun diperintahkan untuk kembali ke Korea Selatan sementara menteri luar negeri yang pada akhirnya turun tangan. Namun di detik-detik terakhir, Jae-ho tetap bersikeras untuk menyelamatkan tawanan Korea Selatan yang tersisa dengan jalan terakhir, yaitu negosiasi langsung dan tatap muka dengan pemimpin Taliban.

Ini menjadi cara terakhir yang paling nekat karena mempertaruhkan antara hidup dan mati, terutama bagi Jae-ho yang berhadapan langsung dengan pemimpin Taliban. Dia harus mampu bersiasat dan meyakinkan Taliban untuk membebaskan tawanan Korea Selatan yang tersisa.

Baca juga: Diadaptasi dari pentas musikal, film Korea "Hero" tayang di Indonesia

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2023