Jakarta (ANTARA News) - Perolehan "landing right" (hak labuh) satelit penyelenggara televisi berbayar Astro dinilai menyalahi aturan karena keberadaannya di Indonesia belum memenuhi azas resiprokal. "Pemberian hak labuh oleh Ditjen Postel kepada Astro bermasalah, karena Malaysia belum membuka layanan jasa satelit Indonesia ke rumah-rumah (direct to home) di negeri itu," kata anggota Komisi I DPR RI Effendy Choirie, di Jakarta, Senin. Diketahui, pada Minggu (10/11) Ditjen Postel mengeluarkan keterangan tertulis bahwa pengguna satelit PT Broadband Multimedia Tbk, induk perusahaan PT Direct Vision (penyelenggara Astro TV), bersama 37 perusahaan lainnya telah memperoleh izin stasiun radio (ISR) setelah satelit yang dipakai mendapatkan hak labuh di Indonesia. Effendy melanjutkan resiprokal yang terjadi antara satelit Indonesia dengan Malaysia hanyalah terjadi pada satelit Palapa yang memberikan jasa layanan ke sejumlah perusahaan di Malaysia, dan bukannya memberikan konten siaran ke rumah-rumah. Untuk itu, lanjutnya, dalam waktu dekat DPR akan memanggil Menkominfo Mohammad Nuh untuk melakukan rapat dengar pendapat. Ketua Umum Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) Tonda Priyanto menilai satelit Measat asal Malaysia yang digunakan Astro untuk penyiarannya di tanah air belum memiliki ketentuan reprosikal dengan Indonesia. Tonda menjelaskan, hak labuh untuk satelit yang beroperasi di suatu negara harus dilihat dari konteks penggunaannya di mana masing-masing negara memiliki karakteristik yang berbeda. Namun, lanjut dia, hubungan imbal balik pemanfaatan satelit suatu negara bisa berupa akses langsung ke rumah atau direct to home (DTH). Menurut Effendy Choirie, selain belum memenuhi azas resiprokal, PT Direct Vision juga diduga memiliki saham asing lebih dari 20 persen, padahal berdasarkan UU Penyiaran Tahun 2002, kepemilikan saham asing di perusahaan penyiaran tidak lebih dari batas tersebut.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007