Jakarta (ANTARA News) - Banyak faktor di dalam negeri yang membuat Indonesia belum siap menghadapi penerapan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) mulai 1 Januari 2010.

Deputi Menko Perekomian Bidang Perindustrian dan Perdagangan, Edy Putra Irawadi, di Jakarta, Sabtu, mengatakan, penurunan bea masuk hingga nol persen dari sekitar lima persen yang dikhawatirkan para pelaku bisnis .

Dengan adanya bea masuk saja, para pengusaha dalam negeri sudah merasa khawatir terhadap murahnya barang impor tersebut, apalagi jika bea masuknya nol persen

"Masih banyak faktor cukup signifikan lainnya yang membuat Indonesia belum siap menghadapi era pasar bebas dengan China," kata Edy Putra Irawadi pada diskusi "Ketika Produk China Menyerbu Indonesia" di Jakarta.

Edy menjelaskan faktor lain tersebut di antaranya, banyak oknum yang meminta pengecualian dan pelayanan khusus yang membuat pemerintah mengalami kesulitan.

Ia mencontohkan, jika tarif bea masuk terlalu tinggi , maka oknum pengusaha meminta pengecualian agar produk-produknya yang diimpornya diberikan tarif khusus yang lebih murah.

Faktor lainnya, kata dia, teknologi yang digunakan pada industri di Indonesia masih jauh tertinggal sehingga produk Indonesia sulit bersaing dengan produk impor.

Tekstil kalah
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia(API) Ernovian G Ismy mengatakan, sektor industri tekstil kalah bersaing dengan produk impor khususnya dari China, bukan sepenuhnya karena ketidaksiapan pelaku bisnis.

Menurut Ernovian Ismy , pemerintah juga belum siap seluruhnya sehingga produk tekstil Indonesia kalah bersaing dengan produk tekstil impor.

Ernovian mencontohkan, persoalan infrastruktur yang menyebabkan biaya tinggi pada distribusi bahan baku dan ekspor produk, suku bunga bank yang tinggi, kurs rupiah terhadap dolar yang tidak stabil, dan birokrasi yang tidak efisien.

"Kondisi tersebut menyebabkan faktor produksi menjadi mahal sehingga harga jual produk menjadi tidak kompetitif," katanya.

Ernovian menggambarkan nilai ekspor produk tekstil terus menurun dalam 10 tahun terakhirini dan telah defisit sejak empat tahun terakhir.

Setelah diterapkannya ACFTA, menurut dia, defisit nilai ekspor produksi tekstil akan semakin tinggi.

"Jika kondisi seperti ini dibiarkan terus-menerus maka sektor industri tekstil akan mati," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009