Yogyakarta (ANTARA News) - Indonesia harus meningkatkan daya saing produksinya untuk menghadapi ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) pada 2010, kata pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Lilies Setiartiti.

"Peningkatan daya saing tersebut dilakukan dengan cara memperbaiki aspek internal seperti birokrasi yang tidak efisien," kata dosen Fakultas Ekonomi UMY itu di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, birokrasi yang tidak efisien dengan banyaknya meja perizinan dan berbagai pungutan liar di atas meja itu akan menciptakan bisnis yang juga tidak efisien.

"Banyak meja-meja itulah yang akan membuat proses dagang menjadi lama dan berbelit-belit, dan pungutan liar di birokrasi meningkatkan biaya produksi," katanya.

Ia mengatakan, tujuan ACFTA selain meningkatkan kerja sama dalam bidang perdagangan dan liberalisasi ekonomi, juga mencari area baru atau pasar baru bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya.

"Indonesia tidak perlu terburu-buru untuk mencari negara lain sebagai pasar bagi produksinya. Namun, perbaiki dulu kemampuan internal agar mampu bersaing dengan barang barang China yang membanjiri Indonesia,"katanya.

Menurut dia, Indonesia jangan sampai hanya menjadi tempat sampah atau pasar bagi barang-barang China dan empat negara ASEAN lainnya.

"Apalagi ada beberapa produk yang termasuk dalam `early harvest` program seperti produk hortikultura dan daging yang akan segera dihapuskan tarifnya sampai nol persen," katanya.

Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah dan pelaku bisnis diharapkan bisa bermain cerdik dalam perdagangan bebas itu. Misalnya, untuk mengurangi laju barang-barang China yang masuk Indonesia khususnya makanan dan daging, pemerintah bisa menggunakan alibi kondisi sosial religius masyarakat Indonesia sebagai rem.

"Pemerintah bisa menggunakan alibi Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam sehingga produk-produk China khususnya daging, makanan, dan minuman harus dijamin kehalalannya melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI)," katanya.

Jika tidak halal berarti barang tersebut tidak bisa masuk Indonesia. Pemerintah juga bisa menggunakan alibi barang-barang itu harus memenuhi kualifikasi standar nasional Indonesia (SNI).

"Cara tersebut tidak melanggar etika kesepakatan, karena produk halal dan standarisasi produk adalah kebutuhan konsumen," katanya.

Selain cara itu, ada lagi hal yang juga penting yakni bargaining politik Indonesia terhadap China dan empat negara ASEAN lainnya. Meskipun perdagangan bebas adalah kerja ekonomi, untuk mencapai kesepakatan ada lobi-lobi politik yang luar biasa di dalamnya.

"Oleh karena itu, saya berharap pemerintah dan DPR bisa terus meningkatkan daya tawar Indonesia dan memastikan bahwa perdagangan bebas bisa berjalan dengan `fair`," katanya.

Mulai awal 2010 melalui ACFTA, Indonesia akan menjejakkan kaki di arena perdagangan bebas di regional lima negara pendiri ASEAN dan China. Lima negara pendiri ASEAN itu adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010