Jakarta (ANTARA News) - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengharapkan pemerintah sebaiknya tidak hanya terfokus mempersiapkan perdagangan bebas Asean-China (AC-FTA), tapi juga FTA lainnya yang jauh lebih prospektif dan jelas-jelas lebih menguntungkan Indonesia.

Ketua Bidang Perdagangan Luar Negeri HIPMI Harry Warganegara, dalam siaran persnya, Selasa, mengatakan FTA di luar AC-FTA lebih menjanjikan sebab perdaganganya akan lebih saling melengkapi (complementary economies) dan berbagi peluang (share opportunities) dibandingkan dengan China yang dipastikan akan terjadi duel atau head to head produk antar negara.

"Ketimbang hanya fokus ke China, jauh lebih baik pemerintah mengeksplorasi FTA dengan negara atau kawasan lainnya yang jelas-jelas sifatnya saling melengkapi dan saling mendukung. FTA itu akan berjalan adil atau fair trade," kata Harry.

Menurut dia, jenis produk China yang akan masuk ke pasar Indonesia rata-rata sudah ada di Tanah Air. Itu sebabnya, HIPMI memperkirakan akan terjadi head to head (saling berhadapan) dengan produk di Tanah Air mulai dari alas kaki sampai kendaraan bermotor.

"Dan, dipastikan produk China ini akan lebih murah. Sedangkan Indonesia masih berhadapan dengan ongkos produksi yang sangat mahal sebab infrastruktur masih sangat buruk," katanya.

HIPMI berharap agar pemerintah melakukan eksplorasi FTA-FTA lainnya seperti FTA Australia-Selandia Baru, FTA Asean-Jepang, FTA Asean Amerika Serikat, FTA Asena-India, dan FTA Asean-Uni Eropa. Harry menambahkan FTA-FTA alternatif ini jauh lebih menguntungkan sebab bakal terjadi perdagangan yang saling melengkapi bukan saling mematikan.

Jangan Coba-Coba
HIPMI berharap agar FTA ASEAN China benar-benar dipersiapkan secara matang bila hendak diterapkan. Eksekutif disarankan jangan melakukan eksperimen atau coba-coba sebab menyangkut hajat hidup orang banyak nasib jutaan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM).

"Jangan sampai negara sudah kehilangan pendapatan Rp15 triliun dari bea masuk, ditambah lagi banyak industri kita bubar dan potential loss sekitar Rp200 triliun," tambah Harry. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010